kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Belajar dari Italia


Senin, 08 Oktober 2018 / 13:24 WIB
Belajar dari Italia


Reporter: Cipta Wahyana | Editor: Tri Adi

Orang bijak mengatakan, saat-saat sulit memberikan kesempatan kita untuk belajar banyak hal. Persis, sikap inilah yang harus kita ambil menghadapi krisis mata uang rupiah yang tengah terjadi akhir-akhir ini. Tentu saja, kita sambil tetap berupaya mencari bauran langkah terbaik agar tren pelemahan nilai tukar rupiah tidak berlanjut.  

Pekan lalu, banyak pelaku pasar finansial maupun pebisnis di tanah air cemas melihat pergerakan liar nilai tukar rupiah. Pasalnya, menembus level psikologis Rp 15.000 per dolar AS, ternyata, tak lantas membuat pelemahan rupiah terhenti. Dengan cepat, rupiah justru terus terpuruk hingga melewati Rp 15.100 per dollar AS.

Usut punya usut, seperti dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, episentrum gempa rupiah pekan ini ternyata bukan berasal dari Amerika Serikat (AS) seperti sebelumnya, melainkan dari Italia. Sedikit mengingatkan, sejak awal tahun lalu, normalisasi kebijakan moneter Amerika menjadi pemicu utama pelemahan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Singkat kata, pengetatan kebijakan moneter AS yang ditempuh The Fed (bank sentral AS) dengan menaikkan bunga acuan telah membuat miliaran dollar dana-dana panas pulang kampung ke Amerika. Maklum, di saat bunga tinggi, memegang aset dalam dollar kian menarik. Di saat yang sama, kondisi ekonomi Amerika juga menujukkan pemulihan yang meyakinkan.

Kebijakan Amerika itu membuat mata uang negara berkemban--bahkan beberapa negara maju--terpukul hebat. Kondisi ini diperparah dengan sentimen negatif yang muncul akibat perang dagang antara AS dan China.

Lantas, apa yang terjadi di Italia? Rupanya, krisis perbankan yang sempat pecah di Negeri Pizza itu pada 2016  lalu belum sepenuhnya sembuh. Masih ada bom waktu yang tertinggal yang bisa meletus setiap saat. Kali ini, tindakan sembrono pemerintahan koaliasi Italia yang menjadi pemicunya. Demi janji kampanye populisnya, pemerintahan baru Italia nekad mengajukan anggaran dengan angka defisit 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) kepada komisi Uni Eropa Jumat pekan lalu (28/8). Bujet ini jelas-jelas melawan arahan Uni Eropa yang menginginkan Italia memangkas defisit anggaran menjadi 2% hingga 2021 mendatang.

Tindakan grasa-grusu pemerintah Italia itu kontan menggerus kepercayaan investor di pasar keuangan. Maklum, saat ini, kondisi ekonomi Italia sebenarnya masih sakit dan membutuhkan pemerintahan yang prudent. Asal tahu saja, saat ini, rasio angka kredit bermasalah di Italia masih berada di angka 10%. Di luar itu, rasio utang publik negara itu juga telah berada di angka 130% dari PDB.    

Pelaku pasar pun "menghukum" Italia. Harga surat berharga negara berjatuhan dan imbal hasil (yield) terbang tinggi. Ujungnya, bisa ditebak, mata uang euro pun langsung terpuruk. Ini sangat bisa dimaklumi lantaran Italia adalah salah satu dari tiga kaki utama yang menopang Uni Eropa. Jika Italia kembali memasuki krisis, ekonomi Jerman dan Prancis tak akan kuat menopang Uni Eropa.

Nah, kekhawatiran akan krisis di Italia dan Uni Eropa ini muncul menjadi pemicu baru pelemahan mata uang global, termasuk rupiah, terhadap dollar AS pada pekan lalu.

Dari kasus gonjang-ganjing Italia, kita belajar bahwa tetap menjaga kepercayaan pelaku pasar menjadi sangat penting di tengah kondisi krisis. Dengan kata lain, pemerintah harus ekstrahati-hati dalam menempuh berbagai upaya untuk mengatasi krisis rupiah belakangan ini. Sebab, jika kepercayaan pelaku pasar sampai tercederai, mereka tak akan ragu-ragu menghukum kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×