Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Saat ini Indonesia dihadapkan pada masalah struktural ekonomi dengan segala karakteristik dan dinamika sosialnya. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat dalam beberapa tahun terakhir, bahkan sebelum adanya pandemi Covid-19 menjadi kekhawatiran bersama. Meski penurunan ini terjadi karena faktor eksternal, tetapi banyak indikator ekonomi nasional yang menjadi masalah yang harus diselesaikan.
Beberapa masalah struktural ini di antaranya defisit transaksi berjalan yang terus melebar, ketimpangan yang masih tinggi, begitu juga dengan penciptaan lapangan kerja yang terbatas dan tak berkualitas. Menurut pandangan penulis, salah satu penyebab masalah struktural ini terutama akibat struktur pelaku ekonomi yang tak berimbang. Bahkan, yang mayoritas mendapatkan perlakuan minoritas.
Mengutip data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemkop UKM) (2018), yang terjadi saat ini ternyata 99,99% unit bisnis di Indonesia merupakan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hanya 0,01% unit bisnis yang berskala besar. Namun, ketika nyaris semua pelaku ekonomi terkonsentrasi di sektor UMKM, mereka juga tidak mendapat fasilitas kredit yang memadai.
Melansir laporan Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit untuk UMKM tidak pernah mencapai angka 20% dari total kredit perbankan. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/2015 tentang UMKM, yang menunjukkan komitmen dunia perbankan untuk mengalokasikan kredit dan pembiayaannya minimal 20% kepada UMKM tidak pernah terlaksana. Pada September 2020 lalu misalnya, dari Rp 5.602 triliun kredit yang dikucurkan bank umum, sekitar 18% saja yang ditujukan bagi UMKM. Padahal, menurut Kemkop UKM (2018), sektor UMKM menyerap tenaga kerja 97% serta berkontribusi terhadap PDB nasional lebih dari 60%.
Daya saing rendah
Fenomena yang tak berimbang ini terjadi sudah bertahun-tahun. Hasilnya, potensi peningkatan ekonomi dari sektor ini belum digarap dengan baik dan maksimal. Daya saing produk-produk UMKM Indonesia menjadi sangat rendah. Tercermin dari rendahnya keterlibatan sektor UKM Indonesia dalam rantai nilai global.
Mengutip Wignaraja (2013), hanya 6,3% dari total UKM yang ada di Indonesia yang mampu terlibat dalam rantai perdagangan di wilayah ASEAN. Sementara negara-negara dalam satu kawasan mampu lebih tinggi, seperti Filipina (20,1%), Vietnam (21,4%), Thailand (29,6%), dan Malaysia (46,2%).
Di sisi lain, berdasarkan kontribusinya terhadap ekspor nasional, UKM Indonesia hanya berperan sekitar 16%, jauh tertinggal dari Malaysia (19%), Thailand (29%), Korea (31%) apalagi dari Jepang yang mencatatkan angka kontribusi terhadap ekspor nasional hingga 54%, mengutip Yoshino dan Wignaraja (2015).
IndoLemahnya daya saing produk-produk UMKM Indonesia tidak terlepas dari kurangnya dukungan dalam mendorong terciptanya inovasi - inovasi baru. Padahal, berbagai skema dan dukungan sangat diperlukan sebagai insentif lahirnya produk-produk inovatif dan berdaya saing.
Persoalan yang dihadapi UMKM di Indonesia tidak berhenti sampai di situ. Pasalnya, sulit bagi UMKM untuk mampu meningkatkan skala ekonominya dan naik kelas. Dari usaha mikro naik menjadi usaha kecil, usaha kecil naik menjadi usaha menengah, dan seterusnya. Padahal, merujuk hasil simulasi tim staf khusus presiden bidang ekonomi (2020), jika 10% saja dari total UMKM yang ada naik kelas, hal tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional tembus 7%, bahkan berpeluang mencapai 9% (yoy).
Salah satu kendala yang dihadapi pelaku UMKM untuk dapat naik kelas adalah karena belum adanya ekosistem usaha berupa pola kemitraan yang memadai. Aturan-aturan yang ada saat ini belum mampu memberikan dukungan.
Tak mengherankan apabila baru sekitar 7% Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang menjalin kemitraan dengan unit usaha lain seperti yang tercatat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dengan aturan yang belum memadai ini, banyak praktik penyimpangan pada pola-pola kemitraan yang terjadi. Tentu saja, pelaku UMKM terutama usaha mikro dan kecil lah yang dirugikan.
Hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur tenggat pembayaran atas kegiatan kerjasama melalui pola kemitraan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2013 hanya menjelaskan pola-pola kemitraan saja. Mulai dari inti-plasma, subkontrak, waralaba, bagi hasil, hingga penyumberluaran atau outsourching.
Sementara hal-hal yang mengatur keterlambatan pembayaran belum ada ketentuan yang rigid dan tegas. Hal ini menambah risiko bagi UMKM. Padahal, bagi UMK, cashflow menjadi sangat penting dalam menjaga keberlanjutan kegiatan usahanya.
Tak hanya di situ, kegiatan kemitraan antara Pemasok UMKM dengan Perkulakan, Hypermarket, Department Store, Supermarket, dan Pengelola Jaringan Minimarket juga masih diwarnai pelanggaran. Pelaku UMKM Koperasi Mutiara Timur di Makassar mengaku mengalami keterlambatan pembayaran yang dilakukan Perkulakan dan Ritel Modern sampai tiga bulan.
Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 70/M-DAG/PER/12/2013 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern menyatakan bahwa Pembayaran kepada Pemasok Usaha Kecil dilakukan secara tunai, atau dengan alasan teknis tertentu dapat dilakukan dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah seluruh dokumen penagihan diterima. Namun, dalam aturan ini tak ada konsekuensi tegas apabila terjadi keterlambatan pembayaran.
Belajar dari Korea-Jepang
Nyata benar, memang belum terdapat pemahaman bersama yang kuat mengenai peran dan potensi UMKM dalam meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Berbagai aspek yang melingkupi UMKM (sosial, teknis, administratif dan lain sebagainya) juga perlu dibenahi untuk menciptakan perekonomian inklusif yang dapat mengoptimalkan potensi UMKM Indonesia.
Indonesia perlu belajar dari Korea dalam memobilisasi berbagai skema dan program untuk mendorong lahirnya produk UMKM inovatif dan berdaya saing hingga kancah internasional. Pemerintah Korea giat mencari UMKM yang sukses menghasilkan inovasi produk yang belum ada di pasar serta memiliki kelebihan dibandingkan produk sebelumnya. Misalnya, produk yang dihasilkan dapat mengurangi penggunaan energi, mengurangi emisi atau memiliki performa yang lebih unggul.
Dalam hal kemitraan, Indonesia perlu belajar dari Jepang yang telah lama memiliki UU promosi sub-kontrak (Sub-Contracting Promotion Act). Beleid ini bertujuan mencegah keterlambatan pembayaran atas proses subkontrak dan untuk memastikan kemitraan berlaku adil dan melindungi pihak subkontrak.
Penulis : Firdha Anisa Najiya
Ekonom SigmaPhi Policy Research and Data Analysis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News