kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Beli Putus Tebu Versus Sistem Bagi Hasil


Rabu, 12 Agustus 2020 / 11:14 WIB
Beli Putus Tebu Versus Sistem Bagi Hasil
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Musim suka cita bagi petani tebu telah tiba: musim giling. Sejak akhir Mei lalu, petani mulai menebang tebu dan menyetorkan ke pabrik gula. Inilah musim menuai hasil jerih payah berbulan-bulan sejak tanam hingga tebu memasuki usia masak. Masalahnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, petani dihantui harga gula yang rendah. Obral impor dengan dalih pandemi membuat impor gula datang tidak terkendali. Kala tiba menjelang musim giling, gula impor di pasar bagaikan racun bagi petani dan pabrik gula (PG).

Untungnya, saat ini petani punya pilihan: menggiling tebu ke PG dengan sistem bagi hasil atau menjual tebu dengan sistem putus. Sebelum ada sistem beli putus, relasi petani-PG diikat lewat sistem bagi hasil. Karena tak punya lahan, PG bergantung pada tebu petani. Karena tak punya pabrik, petani menggiling tebu untuk diolah jadi gula di PG. PG mendapat 34% gula sebagai upah giling, 66% sisanya milik petani. Petani juga mendapat tetes 3 kg/kuintal tebu. Besar-kecilnya gula yang diterima petani ditentukan oleh bobot tebu dan rendemen. Kian besar bobot tebu dan rendemen, kian besar gula yang diterima petani. Demikian pula sebaliknya. Ini sebagian besar terjadi di PG BUMN.

Masalahnya, relasi petani-PG masih diwarnai distrust. Di satu sisi, petani tidak mempercayai rendemen hasil pengukuran di PG. Distrust ini berurat akar dari pengukuran yang tidak transparan. Rendemen diukur secara kolektif, bukan individual. Ini disinsentif buat petani yang kualitas tebunya bagus. Di sisi lain, PG juga tidak sepenuhnya percaya terhadap kualitas tebu petani yang disetorkan ke PG. Petani hanya mengejar bobot tebu, tapi abai kualitas yang tercermin pada rendemen. Tebu yang disetor juga terkadang kotor.

Diakui atau tidak, sebagian akar masalah industri gula di negeri ini berurat akar di PG BUMN di Jawa: banyak PG yang absolete, berusia tua, dan berkapasitas giling kecil (di bawah 3.000 ton tebu per hari). Saat ini jumlah PG 62 buah, 68% pabrik tua berumur di atas 90 tahun, dan 80% terdapat di Pulau Jawa. Akibat mesin tua, kinerja PG BUMN tidak maksimal. Mesin bocor, nira tebu banyak yang tidak terproses menjadi gula. Secara teoritis mestinya kita mampu mencapai rendemen 14%-15% apabila prinsip efisiensi dilakukan dengan baik. Tapi karena PG BUMN sudah tua, rendemen yang diraih 6%-8%, jauh di bawah pencapaian rendemen di era tahun 1930-an: 11%-13%.

Ujung dari inefisiensi ini mewujud dalam bentuk biaya produksi gula yang mahal. Besar biaya produksi gula di PG-PG BUMN, terutama yang tidak efisien, hampir dua kali lipat dari biaya produksi PG swasta, terutama di Lampung. Biaya produksi gula di PG swasta relatif kompetitif karena teknologinya baru, kapasitas gilingnya besar, memiliki lahan sendiri, dan mengolah tebu menjadi aneka produk. Adapun pabrik gula swasta tidak hanya mengolah tebu menjadi gula, tetapi juga produk turunan lain berbasis tebu yang bernilai ekonomi tinggi, seperti etanol, listrik, dan kertas.

Dalam industri pergulaan, proses giling di hilir tidak bisa dilepaskan dari aspek di hulu (on farm). Inefisiensi di satu bagian, di PG misalnya, akan jadi beban bagi petani. Demikian pula sebaliknya. Dalam konteks inefisiensi PG BUMN, dampaknya sebagian besar ditanggung petani. Menurut kalkulasi, komposisi biaya dalam industri gula 60%-70% ada di kebun (Pakpahan, 2004). Artinya, share petani mencapai 60%-70%. Bila PG tak efisien dan merugi, konsekuensi sistem bagi hasil, 60%-70% inefisiensi dan kerugian dipikul petani. Demikian pula bila harga jual gula anjlok, petani yang paling terpukul.

Sistem beli putus

Agar petani tak lagi menanggung inefisiensi di PG, sistem beli putus tebu jadi solusi. Petani tak lagi mengolah tebu di PG dengan sistem bagi hasil, tapi menjual tebu ke PG. Harga tebu petani ditentukan dari perkiraan rendemen, perkiraan tetes, dan konstanta yang mencerminkan biaya produksi gula (Puslitbang Perkebunan, 2011). Sistem baru ini memiliki keunggulan: pengukuran rendemen transparan dan individual, harga tebu sesuai mutu, tak muncul masalah bagi hasil, petani tak terbebani inefisiensi pabrik, rantai pasok gula lebih pendek, dan PG bisa lebih fokus pada efisiensi pabrik dan diversifikasi produk.

Secara ekonomi sistem jual putus tebu jauh lebih menguntungkan. Contohnya, Nur Yusuf menjual 8.420 kg tebu ke PT Kebun Tebu Emas, PG di Lamongan, Jatim, 16 Juni 2020. Dengan rendemen 8,45% dan harga tebu Rp 792/kg, ia bisa mengantongi duit Rp 6.668.640. Sebaliknya, lelang di lingkungan PT Perkebunan Nusantara XI, 12 Juni 2020, dengan harga rerata Rp 10.660/kg gula dan Rp 1.600/liter tetes Nur Yusuf hanya meraih Rp 5.409.919 (Rp 5.005.759 dari bagi hasil gula dan Rp 404.160 bagi hasil tetes). Ada perbedaan sebesar Rp 1.258.721 atau 23,26%. Jumlah yang cukup besar buat petani.

Dengan sistem jual putus tebu, petani bisa mengantongi uang tunai saat itu juga. Sebaliknya, dalam sistem bagi hasil, petani harus menunggu lelang. Bisa saja lelang batal karena harga tak disepakati. Jika harga gula semakin rendah dan menjauhi biaya pokok produksi seperti saat ini, peluang petani merugi cukup besar. Risiko seperti ini tidak dialami petani yang menjual tebu dengan sistem jual putus. Masalahnya, tidak semua petani punya kebebasan memilih sistem bagi hasil atau jual putus tebu. Pemberlakuan sistem jual putus tebu masih menunggu aturan detail dari Kementerian Pertanian.

Meski punya kelebihan, sistem baru ini tak luput dari kelemahan. Pertama, relasi petani berubah dari kemitraan jadi transaksional. Petani hanya fokus di budidaya, dan PG mengurus pengolahan.Kedua, potensi kekacauan pengaturan jadwal tanam, manajemen tebang dan angkut. Ini terjadi karena proses produksi cenderung tak terintegrasi. Padahal, proses pengolahan di PG akan baik bila terjadi integrasi dengan jadwal tanam, tebang dan angkut. Ketiga, PG harus menyediakan dana tunai besar untuk membeli tebu petani. Ini masalah krusial bagi PG, terutama PG BUMN. Hanya PG bermodal kuat yang bisa eksis.

Jangka panjang, sistem ini rentan konteks persaingan usaha. Karena sistemnya terbuka, akan berlaku supply-demand. Terjadilah perang harga antar PG dalam mendapatkan tebu petani, terutama PG BUMN dan swasta. Petani diuntungkan. Tetapi ini membuat PG tertentu tak mendapatkan pasokan tebu secara memadai dari petani. Bakal terjadi seleksi alam: hanya PG bermodal kuat yang bertahan. Sisanya, harus menyingkir dari pasar. Ini akan merubah peta persaingan. Sebelum perang sengit terjadi dan jatuh korban, sebagai wasit sebaiknya pemerintah segera mengaturnya.

Penulis : Khudori

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×