kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Benarkah harga premium kemahalan?


Selasa, 14 November 2017 / 11:38 WIB
Benarkah harga premium kemahalan?


| Editor: Tri Adi

Pada 31 Oktober 2017, sahabat saya Fahmy Radhi menulis di Harian KONTAN tentang Rakyat Menanggung Mahalnya Harga Premium. Kesimpulan tulisan tersebut, premium (bensin RON 88) yang dijual Pertamina kemahalan. Kesimpulan diambil berdasarkan harga jual bensin RON 89 dari PT Vivo dan perhitungan yang mengacu pada formula harga Bensin RON 88 yang dilakukan Harian KONTAN pada 28 Oktober 2017.

Berdasarkan hasil hitungan tersebut, harga premium Pertamina dinilai kemahalan Rp 693,4 untuk setiap liter. Sehingga jika mengacu pada konsumsi bahan bakar minyak (BBM) saat ini yang disebut mencapai 1,74 juta barel per hari, kemahalan harga BBM yang harus ditanggung rakyat disebutkan bisa mencapai Rp 70,01 triliun per tahun.

Dengan asumsi harga minyak US$ 50 per barel dan nilai tukar Rp 13.560 per US$, harga dasar (HD) bensin RON 88 disebutkan Rp 4.264,15 per liter (US$ 50/159) x Rp 13.560). Jika ditambah margin dan biaya, PPN, dan PBBKB, harga jual premium per liter yang dinilai wajar adalah Rp 5.756,60 atau lebih rendah Rp 693,40 dari harga jual premium Pertamina (Rp 6.450 – Rp 5.756,60).

Tulisan ini dibuat bukan dalam konteks menyanggah (menyalahkan), tetapi karena ada beberapa perbedaan pandangan dalam melihat permasalahan ini. Dalam konteks dialektika akademis, hal seperti ini sangat lumrah.

Saya melihat ada beberapa hal yang belum dimasukkan (mungkin terlupakan), baik dalam mengambil kesimpulan atas perbandingan harga Pertamina vs PT Vivo maupun di dalam menghitung harga dasar BBM (khususnya bensin RON 88) tersebut.

Dalam teori pasar, yang dilakukan PT Vivo yang menjual lebih murah, dapat merupakan bagian dari strategi untuk masuk pasar melalui penetration pricing. Strategi ini umum untuk bisnis yang ingin memasuki pasar baru dan dengan pangsa pasar yang masih relatif kecil.

Pada kondisi ekstrim, bahkan perusahaan bersedia merugi terlebih dahulu agar dapat masuk ke dalam pasar.  Sehingga harga yang lebih murah tersebut tidak dapat serta merta menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa PT Vivo lebih efisien dibanding Pertamina. Bisa iya dan tidak.

Apakah yang dilakukan PT Vivo merupakan bagian dari strategi untuk masuk pasar atau tidak, yang tahu pasti adalah PT Vivo dan waktu yang kemudian akan menjawab.


Vivo sebagai pembanding

Strategi yang sama, sebelumnya juga dilakukan pesaing Pertamina yang telah ada saat ini. Tetapi jika kita lihat publikasi BPH Migas, harga jual untuk beberapa jenis BBM periode 1-15 November 2017 dari pesaing Pertamina tercatat lebih tinggi.

Struktur biaya pengadaan BBM PT Vivo yang saat ini masih sebatas beroperasi di Cilangkap Jakarta Timur, tentu tidak pas jika dibandingkan secara langsung dengan struktur biaya Pertamina yang harus mendistribusikan BBM ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah terpencil dan perbatasan yang volume konsumsinya tidak cukup ekonomis dari sudut pandang hitung-hitungan bisnis.

Saya menilai, perhitungan yang menemukan harga dasar BBM RON 88 sebesar Rp 4.624,16 tersebut karena terdapat variabel yang belum masuk pertimbangan. Perhitungan tersebut mengasumsikan bahwa seluruh minyak mentah yang masuk proses pengilangan akan menjadi BBM, satu barel minyak mentah menjadi satu barel BBM. Ini tercermin dari angka pembagi sebesar 159 liter (1 barel).

Meski tidak sama persis, pengilangan minyak mentah memiliki kemiripan dengan penggilingan padi. Dalam proses penggilingan padi tidak semua gabah (padi kering) yang digiling akan menjadi beras, satu ton gabah tidak berarti menghasilkan sat ton beras. Karena proses tersebut menghasilkan residu berupa sekam (15%-20 %), bekatul (8%-12 %), dan menir/beras yang hancur (sekitar 5 %).   

Pada proses pengilangan minyak, juga tidak semua minyak mentah yang diproses akan menjadi BBM. Departemen Energi Amerika (EIA) menyebutkan, untuk tahun 2016 bensin yang dihasilkan dari kilang di Amerika adalah sekitar 48 % dari minyak mentah yang diolah.

Sementara 52 % sisanya produk lain dan residu. Produk lain yang dihasilkan meliputi LPG, minyak diesel, jet fuel, minyak bakar, tinta, aspal, deodorant, ammonia, dan produk petrokimia yang lain.

Karena hasil produk yang beragam tersebut, terdapat indikator yang disebut indeks efisiensi kilang. Indeks ini mengukur rasio produk terhadap minyak mentah yang diproses jika nilainya disetarakan dengan BBM. Informasi yang ada menyebutkan indeks efisiensi kilang di dunia saat ini berkisar 70% – 90 %. Artinya, nilai produk setara BBM yang dapat dihasilkan oleh kilang yang ada saat ini adalah 70%-90 % dari nilai minyak mentah yang diolah. Besaran indeks efisiensi kilang ditentukan oleh sejumlah faktor, diantaranya teknologi kilang, umur kilang, dan kualitas minyak mentah yang diolah.  

Jika efisiensi kilang Indonesia diasumsikan 85 %, maka pembagi yang digunakan untuk menghitung harga dasar BBM adalah 85 % x 159 liter = 135,15 liter. Dengan asumsi yang sama, maka harga dasar bensin RON 88 adalah (US$ 50 x Rp 13.560)/135,15 liter = Rp 5.016,64 per liter. Dengan formula yang sama, maka harga jual bensin RON 88 yang seharusnya adalah Rp 5.016,64 + (Rp 5.016,64 x 20 %) + (Rp 5.016,64 x 10 %) + (Rp 5.016,64 x 5 %) = Rp 5.016,64 + Rp 1.003,33 + Rp 501,66 + Rp 250,83 = Rp 6.772,48 per liter.

Hasil perhitungan tersebut tidak jauh berbeda dari hasil perhitungan dengan menggunakan formula (kalkulator) harga BBM BPH Migas (www.bphmigas.go.id/perhitungan-harga-bbm. Dengan asumsi yang sama, harga BBM RON 88 berdasarkan formula BPH Migas adalah Harga Dasar + Biaya Tambahan Distribusi + PPN + PBBKB = Rp 6.052,70 + Rp 121,10 + Rp 605,30 + Rp 302,60 = Rp 7.081,70 per liter.

Berdasarkan hasil tersebut, justru diketahui bahwa harga jual premium Pertamina yang ditetapkan Pemerintah sebesar Rp 6.450 kemurahan Rp 631,70 untuk setiap liter. Dengan asumsi total konsumsi BBM yang sama, kemurahan atau subsidi yang diberikan Pertamina kepada rakyat dalam satu tahun ada Rp 63,78 triliun.

Berdasarkan hasil perhitungan yang berbeda tersebut dan mengingat BBM merupakan komoditas yang menguasai hajat hidup masyarakat luas, para pihak perlu lebih proporsional dalam menyampaikan informasi. Meskipun, dalam hal ini saya yakin niat sahabat saya tersebut sangat baik, agar rakyat diperlakukan adil, tidak diberikan harga BBM di atas yang seharusnya.

Demikian pula dengan pemerintah yang menyambut positif masuknya Vivo yang menjual BBM murah karena memang sejalan dengan visi menyediakan energi murah untuk rakyat. Namun demikian, kita perlu tetap harus proporsional dalam melihat dan merespon apa yang terjadi. Jika tidak, yang akan terjadi kemungkinan hanya dua hal, keuangan negara (APBN) atau keuangan korporasi (BUMN) yang akan dikorbankan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×