Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Tri Adi
Masyarakat Indonesia dalam dua tahun terakhir menikmati tarif listrik yang flat atau tidak berubah baik mengalami kenaikan atau penurunan. Kondisi ini jelas berbeda dengan lima tahun silam saat harga listrik bisa naik dan turun dalam periode tertentu, berdasarkan penghitungan harga bahan baku berdasar mekanisme pasar.
Ongkos kebijakan seperti ini jelas memberatkan baik bagi anggaran negara maupun PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pelaksana. Meskipun pemerintah memberikan kompensasi penugasan kepada PT PLN sebesar Rp 23,17 triliun sepanjang 2018 lalu, sehingga perusahaan listrik yang mendapat mandat memonopoli dari negara ini membukukan keuntungan Rp 11,57 triliun.
Tahun ini anggaran kompensasi tetap ada di bujet negara. Nilainya kurang lebih sebesar Rp 20,8 triliun hingga akhir kuartal III-2019. Sementara dengan hitungan kebijakan yang sama yakni melarang PLN mengubah tarif, maka bujet yang dibutuhkan Rp 22 triliun.
Cara pemerintah meninabobokan pengguna listrik ini jelas tidak menguntungkan, baik bagi PLN, kas negara, maupun pelaku usaha sektor ketenagalistrikan. Sebab selama tarif listrik di Indonesia "murah" karena ada kebijakan subsidi, maka sumber energi lain yang bersifat baru dan terbarukan, sulit berkembang. Masyarakat enggan menggunakan energi terbarukan karena secara ongkos jauh lebih mahal.
Misalnya energi terbarukan dari pembangkit listrik tenaga surya. Secara hitungan kasar investasi mendapatkan energi sebesar 10.000 watt dari energi panel surya, membutuhkan anggaran sebesar Rp 25 juta–Rp 35 juta, dengan asumsi luas panel surya 10 meter persegi.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah ini memaksa PLN melakukan penghematan di tingkat internal. Nah salah satu cara menghemat ini di antaranya dengan menekan para vendor termasuk penyedia listrik seperti dari perusahaan pembangkit listrik swasta, penyedia penyewaan genset, maupun pemasok bahan baku seperti batubara.
Sebagai perusahaan yang ditugasi monopoli oleh negara, PLN bisa dengan sewenang-wenang menetapkan harga listrik dari pengembang listrik swasta maupun kepada perusahaan penyedia jasa sewa genset dengan alasan efisiensi. Misalnya dengan perubahan mekanisme kontrak pembelian listrik take or pay, atau pembelian sesuai kapasitas pembangkit, menjadi delivery or pay sehingga merugikan pemasok. Jika ini terus berlangsung jelas akan membuat investor hengkang.♦
Syamsul Ashar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News