kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Beringin dan quo vadis partai politik


Senin, 27 November 2017 / 13:08 WIB
Beringin dan quo vadis partai politik


| Editor: Tri Adi

Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, resmi ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menjadi tersangka korupsi proyek E-KTP. Ia menjadi ketua umum partai politik keempat yang menggunakan rompi kuning KPK menyusul Anas Urbaningrum (Partai Demokrat), Luthfi Hasan Ishaaq (Partai Keadilan Sejahtera), dan Suryadharma Ali (Partai Persatuan Pembangunan). KPK menahan Setya meskipun masih harus menunggu putusan pra-pengadilan.

Di saat publik menanti hasil pra-peradilan, tiba-tiba munculah surat permohonan bermaterai yang ditulis Setya Novanto berisi keinginannya agar ia tidak diminta mundur dari jabatan ketua umum partai berlambang pohon beringin ini. Setya memohon waktu kepada partai untuk membuktikan diri bahwa ia tidak bersalah. Partai Golkar merespon positif dengan menunjuk Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, menjadi pelaksana tugas (plt) sampai ada putusan resmi sidang praperadilan.

Putusan partai untuk mendukung Setya ini memicu polarisasi opini di tubuh partai. Sebagian pihak, khususnya pengurus pusat, menyetujui usulan Setya Novanto. Mereka berupaya meyakinkan para kader di daerah agar tidak mendesak pusat memaksakan terjadinya musyawarah luar biasa untuk memilih ketua umum yang baru sebelum hasil putusan sidang pra-peradilan dirilis. Masyarakat kemudian bereaksi dan mempertanyakan komitmen partai beringin ini dalam memberikan dukungan dalam memberantas korupsi.

Fenomena ini menarik dicermati karena telah memantik pertanyaan elementer dari masyarakat. Mengapa partai politik dapat menunjukkan putusan-putusan yang terkesan membela kadernya yang sedang tersangkut kasus hukum? Bukankah partai sebenarnya memiliki visi, misi, Anggaran Dasar, dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang seharusnya berorientasi untuk kepentingan rakyat? Bagaimana ilmu perilaku menjelaskan hal ini?

Ilmu psikologi sosial menjelaskan fenomena di atas dengan istilah groupthink. Belum ada padanan kata yang setara dalam Bahasa Indonesia untuk menerjemahkan kata ini. Groupthink adalah situasi dimana kelompok membuat sebuah keputusan yang tidak masuk akal dan bahkan cenderung irasional untuk menolak opini tandingan dari publik atau kelompok oposisi kendati mereka sudah memiliki bukti nyata yang jelas.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 oleh Irving Janis, seorang psikolog sosial dari Universitas Yale, saat membedah buruknya politik negeri Amerika Serikat dalam peristiwa gagalnya Invasi Teluk Babi (The Bay of Pig Fiasco) pada tahun 1961. Saat itu, Amerika Serikat memutuskan tetap menginvansi Kuba kendati CIA tidak memiliki cukup informasi yang sahih. Hasilnya, invansi gagal total dan peristiwa ini tercatat menjadi bagian dari sejarah kelam pemerintahan Presiden John F. Kennedy.

Secara teoritis, groupthink pada partai politik terjadi karena setidaknya lima alasan utama. Pertama, situasi antar-kader parpol yang sangat kohesif. Kedua, keengganan parpol dalam menerima dan mengolah informasi yang berasal dari luar kelompok. Ketiga, lemahnya kualitas kepemimpinan ketua umum, sehingga tidak ada norma maupun prosedur baku untuk mengambil keputusan. Keempat, homogennya ideologi para kader parpol. Kelima, kuatnya ancaman dan tekanan dari pihak luar.

Kelima hal inilah yang selama ini berpadu-padan menghasilkan kondisi partai politik yang eksklusif dan antikritik. Kohesivitas kelompok membuat seluruh anggota mempercayai bahwa sikap kelompoknya adalah yang paling benar. Sehingga, ketika terjadi masalah internal, langkah pertama yang diambil adalah penyelamatan partai dan kader meskipun dengan output keputusan yang irasional.

Quo vadis parpol

Efeknya, parpol melakukan selective attention, yakni hanya menerima informasi yang mendukung dengan pemikiran mereka, dan menolak informasi yang kontra. Pada kasus-kasus khusus, parpol biasanya juga menunjukkan tindakan untuk mempersuasi pihak lain untuk mengikuti sikap yang mereka ambil. Jika gagal, mereka akan cenderung memberikan label stereotip negatif pada kelompok yang kontra dengan keputusan mereka.

Parpol-parpol yang masih kerap menujukkan pola-pola perilaku groupthink harus bersiap menghadapi defisit kepercayaan publik. Terlebih, kasus ditangkapnya ketua umum partai beringin memperkuat citra negatif terhadap partai politik. Mari kita bayangkan, empat ketua umum dari empat partai politik besar nasional ditangkap KPK karena kasus korupsi. Hal ini merupakan representasi nyata bahwa eksistensi partai politik masih merupakan ironi pahit.

Ironi karena partai politik sebenarnya memiliki peran penting dalam membawa aspirasi masyarakat. Tapi justru mendapat kepercayaan publik amat rendah.

Hasil survei kepercayaan publik yang dilakukan oleh Polling Center Indonesia pada tahun 2017 merilis bahwa partai politik menduduki peringkat buncit dari 14 lembaga yang diukur. Data ini semakin urgent untuk para parpol mengingat sebentar lagi mereka memasuki tahun 2018 sebagai tahun politik.

Selain itu, munculnya calon independen non-partai di sejumlah pemilihan kepala daerah juga semakin menegaskan bahwa quo vadis partai politik di Indonesia semakin kabur dan penuh onak. Parpol-parpol lama, khususnya yang dikelola dengan sistem kepemimpinan oligarki terbilang masih memiliki cukup banyak pekerjaan rumah dalam meyakinkan publik sebagai lembaga yang transformatif, aspiratif, dan dapat dipercaya. Dalam perspektif bisnis, parpol-parpol yang oligarki tersebut merupakan representasi dari organisasi dengan business model canvas yang usang.

Maka, munculnya partai-partai baru berisi politisi-politisi muda yang lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengikuti Pemilu 2019 adalah tantangan nyata untuk parpol-parpol lama. Dalam perspektif kewirausahaan atau entrepreneurship, para politisi muda ini menawarkan sebuah partai dengan business model canvas yang lebih segar, up to date, dan dapat memenuhi kebutuhan aspirasi politik masyarakat terutama generasi milenial yang menjadi generasi masa depan, sebagai konsumen politik.

Jika parpol lama tidak berinovasi dan masih tetap menunjukkan pola-pola perilaku yang groupthink, bukan tidak mungkin pada tahun 2019 nanti akan menjadi momen The Bay of Pig Fiasco untuk mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×