Reporter: Agatha Claudia Pascal | Editor: Tri Adi
Rencana Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan tentang biaya isi ulang atau top up pada uang elektronik sangat merugikan konsumen. Meski tujuannya memasyarakatkan gerakan non tunai.
Menurut saya, pertama, kalau dikenakan biaya untuk isi ulang, biaya transaksi konsumen akan menjadi lebih mahal jika menggunakan uang elektronik. Kedua, sebenarnya bank bisa mengambil keuntungan dari transaksi spending konsumen, bukan dari top up.
Ketiga, kalaupun dikenakan biaya, tarif kantor bank itu sama, walau bisa saja biaya masing-masing bank berbeda. Jadi ini mengarah ke kartel kalau biayanya sama.
Mengenai biaya top up, sebenarnya bisa dinegosiasikan antara bank dan pengguna e-money. Misalnya, pengguna jalan tol, dengan transaksi nontunai sebenarnya pihak jalan tol diuntungkan. Terutama seperti biaya operasional mereka berkurang, karena tak perlu petugas.
Operator tol juga diuntungkan dengan pengurangan risiko uang tunai, seperti penggunaan uang palsu. Nah, biaya top up ini seakan operator dan bank ingin enaknya saja dengan membebankan seluruhnya kepada konsumen. Kalau seluruh beban dikenakan kepada konsumen, maka biaya yang perlu dikeluarkan untuk transaksi non tunai menjadi lebih mahal.
Biaya top up ini merupakan pendapatan baru untuk bank, tapi dari sisi konsumen, ini masuk kategori un-fair charging. Bagi bank, segala proses transaksi yang bisa dikenakan biaya, akan dikenakan biaya. Namun kalau kebetulan saya punya kartu e-money dan kebetulan saya adalah nasabah bank serta dapat dikenakan biaya, ini tidak fair. Saya di sini tidak bayar registrasi bulanan.
YLKI menilai, top up itu seharusnya tidak dikenakan biaya. Kalau spending konsumen sudah tinggi dalam penggunaan e-money, hal ini sudah cukup. Bank mendapatkan keuntungan dari spending konsumen e-money, bukan dari top up. Jadi kalau dengan top up juga dikenakan biaya, maka bank akan mendapatkan keuntungan ganda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News