Reporter: Barly Haliem | Editor: Tri Adi
Bukan rahasia lagi yang namanya suap dan sogokan menjadi hal lazim di negeri ini. Bahkan uang pelicin, boleh dibilang, menjadi bahasa transaksi kelancaran urusan di kelurahan hingga level kementerian.
Lumrah pula kita dengar, izin usaha lebih lancar jika ada sogokan. Mau menang tender, "jatah preman" jangan pula dilupakan. Saking lazimnya, sampai-sampai kita terperangkap fatamorgana bahwa uang amplop bagian dari budaya kita.
Tak mengherankan pula jika serial operasi tangkap tangan yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiada berkesudahan ibarat episode opera sabun. Pekan lalu Bos A ditangkap karena menyogok bupati izin proyek properti. Tak lama berselang, giliran Tuan B dicokok KPK karena menyumpal politisi untuk urusan limbah sawit.
Dus, bisakah kita menyelesaikan urusan tanpa uang pelicin di negeri ini? Entahlah. Namun pengalaman seorang kolega bisa kita simak.
Hatta, berbulan-bulan lamanya dia berjibaku dengan institusi pengadilan, regulator pasar modal, serta sejumlah instansi di bidang hukum. Tekadnya bulat sejak awal tidak mau mengeluarkan uang pelicin, kendati berhadapan dengan beberapa institusi yang acap masuk peringkat lima besar lembaga terkorup versi Transparency International Indonesia. Selain aturan kantor pusatnya melarang suap, "Saya sendiri penasaran, apa bisa mengatasi masalah ini tanpa suap?" kata dia.
Semua normal pada awalnya. Tapi sewaktu makin sering bersenggolan dengan birokrasi, kian besar pula godaannya; ada tawaran jalur pintas asalkan menyediakan mahar.
Saat nyaris tergoda, salah satu koleganya mengajak dia untuk mengadukan urusannya ke Kelompok Kerja (Pokja) 4. Ini adalah satu dari empat pokja di bawah Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Kebijakan Ekonomi, yang membidangi penanganan dan penyelesaian kasus. Satgas itu sendiri merupakan rangkaian dari belasan Paket Deregulasi yang dirilis pemerintah, tahun 2015.
Ajaib. Proses penanganannya cepat, taktis, dan sistematis. Berbagai pejabat dan instansi terkait juga dipanggil untuk menuntaskan urusannya. Alhasil, "Urusan saya beres, tanpa uang sepeser pun!" kata dia.
Boleh saja kita menilainya subjektif karena diuntungkan hasil kerja Pokja IV. Apalagi perkaranya menyangkut investasi asing bernilai triliunan, sehingga wajar pula pemerintah memberinya karpet merah.
Namun jika melihat rekam jejaknya, kinerja Pokja IV ini relatif lumayan. Dua tahun beroperasi, pokja ini menerima 300 laporan dari berbagai macam kasus. Dari jumlah itu, 10 laporan ditolak, 127 kasus sudah tuntas 105 masih dalam proses. Dengan kata lain, tingkat penyelesaiannya mencapai 42,3%.
Kisah ini relevan dengan situasi sekarang. Ternyata masih ada ruang di negara ini mengurai urusan kusut birokrasi dengan jalan bersih. Manakala uang pelicin bak dewa segala kelancaran dan kemudahan, ternyata masih bisa, kok, menyelesaikan masalah tanpa suap! •
Barly Haliem Noe
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News