kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bisnis Bank dan Kredit Berisiko


Rabu, 05 Februari 2020 / 10:43 WIB
Bisnis Bank dan Kredit Berisiko
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Selain risiko operasional, pasar, dan likuiditas, masalah utama perbankan di Indonesia pada 2020 ini masih seputar mengelola risiko kredit. Beberapa waktu lalu, di sebuah situs berita keuangan dan investasi, Bank Negara Indonesia (BNI) menghadapi kredit berisiko atau  loan at risk (LAR) sebesar Rp 49 triliun per Desember 2019.

Rasio LAR tersebut terdiri atas kredit dalam perhatian khusus atau special mention loan (SML) dan kredit macet yang mencapai 9,4%. Data yang sempat viral di beberapa grup Whatsapps itu perlu dilihat secara objektif.

Mengutip data beberapa bank yang tersebar di media massa, persentase LAR di BNI sebesar 9,4%, LAR di Bank BUMN yang fokus pada kredit UMKM 9,8% atau Rp 84 triliun, per Desember 2019. Di Bank BUMN lainnya, LAR per Desember 9,6% atau sebesar Rp 76,2 triliun. Secara umum, LAR di tiga bank BUMN masih di kisaran 9%, sehingga masih pada dinamika lingkungan peer group-nya.

Untuk melihat lebih komprehensif, perlu pembahasan lebih dalam lagi melihat data LAR itu. Apakah angka tersebut berada dalam risk tolerance dan sesuai dengan risk appetite BNI, atau tidak? Sehingga dapat ditarik kesimpulan yang lebih kuat lagi.

Toleransi risiko tersebut dapat dilihat melalui Rencana Bisnis Bank (RBB) yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika berada dalam kisaran risk tolerance dan selaras dengan risk appetite yang tertuang di dalam RBB, risiko kredit tersebut dipersepsikan tidak terlalu mengkhawatirkan karena bank telah memperkirakan untuk dapat diterima dan dicadangkan kerugiannya, bila kemudian benar-benar terjadi.

Bagi mayoritas bank di Indonesia, kredit merupakan aktivitas utama yang men-generate revenue sebagai sumber earning bank. Kredit merupakan aktiva produktif utama bank, sehingga bank dituntut untuk membuatnya sehat dan berkualitas. Kualitas kredit sebagai aktivitas produktif bank telah diatur oleh OJK dengan membaginya ke dalam tingkatan status kol 1 sampai kol 5. Masing-masing status dibuatkan cadangan. Jika sudah dicadangkan, kerugian pada aktiva produktif tersebut telah diantisipasi sehingga tidak menggangu secara signifikan terhadap kelangsungan hidup bank.

Persoalan utamanya tentu tidak sekadar pada pencadangan. Tapi bagaimana bank memiliki sistem penanganan pada setiap tingkatan kualitas kredit. Sehingga bank dapat mengurangi risiko di setiap status kredit, sebelum dilakukan restrukturisasi. Ibarat mobil, sekalipun memiliki shock breaker yang baik, sang pengemudi dianjurkan untuk tetap memilih jalan yang rata dan sedapat mungkin menghindari jalan yang berlubang.

Risiko kredit

Apalagi tahun ini kredit bermasalah masih menjadi isu penting bagi bank. Dengan target OJK pertumbuhan kredit perbankan 11% pada 2020, tahun lalu cuma 6,4%, bank dituntut untuk lebih sadar dengan lingkungan ekonomi dan bisnis yang sedang terjadi, potensi risiko sekaligus potensi return secara makro maupun secara mikro, yakni pada nasabah existing dan calon nasabah.

Adanya wabah virus korona perlu menjadi perhatian. Wabah virus ini dapat mengurangi demand China terhadap komoditas dan produk lainnya dari Indonesia.

Efek virus itu bagi perbankan tentu bisa berakibat kepada target penyaluran kredit tahun ini. Bagi debitur existing perlu dilakukan analisa potensi penurunan kualitas kredit, khususnya debitur pengekspor komoditas ke China. Dikuatirkan proyeksi penyaluran kredit perbankan secara nasional akan mengarah ke bawah.

Dengan keadaan makro seperti itu, loan organization system pada setiap bank menjadi sangat penting. Sejauh mana bank mengamati potensi risiko sekaligus return yang ada di lingkungannya. Selain itu, bank juga tidak boleh lengah mengamati potensi risiko sekaligus return pada nasabahnya.

Persoalannya apakah bank mengetahui dengan cepat status kreditnya. Apakah sistem risk monitoring bank berjalan efektif atau tidak. Di sinilah penerapan prinsip governance, risk, and compliance (GRC) harus jalan di setiap bank, guna mencegah kredit tidak semakin buruk. Perlu ada proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian yang handal atas potensi risiko kredit perbankan untuk pengendalian risiko kredit yang proaktif bukan reaktif atau after the fact.

Dalam perspektif risk and return bank dapat menghadapi tiga zona situasi. Zona I persentase kenaikan return melebihi persentase kenaikan risk. Bila bank berada pada situasi ini risk appetite dan keputusan bisnis dapat bersifat risk taker (misalnya dalam bentuk penyaluran kredit yang lebih proaktif dan ekspansif).

Namun berbeda halnya jika bank berada di zona II dan zona III. Pada zona II persentase kenaikan return dinilai setara dengan persentase kenaikan risk. Bank seyogyanya mengambil sikap wait and see atau turn around strategy dalam kebijakan kredit. Dus, bank disarankan tidak cepat-cepat menyalurkan kredit secara ekspansif. Sebaiknya fokus pada upaya kaji ulang dan perbaikan internal sistem perkreditan sambil menunggu situasi bisnis yang lebih kondusif.

Sedangkan pada zona III persentase kenaikan risiko justru melampaui persentase kenaikan return. Zona III merupakan zona bahaya dan harus dihindari karena berisiko bagi bank. Risk appetite yang sesuai pada zona ini adalah risk averse atau risk avoidance.

Kemampuan suatu bank untuk mendeteksi dan mengetahui zona kondisi bisnis yang sedang dihadapi pada dasarnya merupakan kemampuan untuk mengetahui secara mendalam dirinya sendiri (know your bank), mengenal konsumennya secara mendalam (know your customers) dan memahami lingkungan bisnisnya secara makro maupun mikro (know your business environment).

Pengetahuan three knows ini tidak lain dan tidak bukan adalah bussiness intelligence bagi bank. Di era industri 4.0 sekarang, informasi three knows hanya bisa diperoleh bank melalui sistem big data. Sebagai contoh, bank dapat mengetahui profil nasabah, lengkap dengan aktivitasnya, melalui sistem big data melalui data geo tagging dan analisa data.

Jangan sampai bank di luar negeri lebih mengetahui profil bisnis dan nasabah di Indonesia daripada bank lokal karena lebih dulu dan mampu memanfaatkan segala informasi melalui big data. Kekhawatiran ini bisa saja terjadi bahkan bisa saja terjadi. Maka, virus kredit bermasalah harus dihadapi bank kita dengan vaksin GRC yang didukung big data sebagai kekuatan business intelligence!

Penulis : Jerry Marmen

Staf Pengajar ABFI Institute Perbanas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×