kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Bocornya data kami


Rabu, 07 Maret 2018 / 14:11 WIB
Bocornya data kami


| Editor: Tri Adi

Biasanya jika terjadi kebocoran, si empunya rumah akan mencari sumbernya. Bukan malah menyalahkan air hujan yang turun dari langit. Begitu seharusnya pemerintah menyikapi dugaan kebocoran data masyarakat. Sejatinya banyak pihak, termasuk saya beberapa kali memperingatkan tentang rawannya data masyarakat yang bebas berseliweran di mana-mana.

Maraknya penawaran produk yang mampir ke ponsel pribadi atau panggilan telepon dari sales asuransi, kredit tanpa agunan dan sebagainya merupakan indikasi bocornya data masyarakat. Tapi Itu belum seberapa. Saya pernah menulis di rubrik ini ketika para marketing kartu kredit terang-terangan mengaku memiliki data kita.

Semua data sudah lengkap: kartu kredit yang dimiliki, KTP dan nomor pokok wajib pajak. Ia hanya mengkonfirmasi beberapa hal, seperti alamat kantor, "Jika dikonfirmasi bank, bilang saja sudah ketemu di sebuah mal dekat kantor," kata si pemasar dari seberang telepon (Harian KONTAN, 22 November 2017).

Itu sebabnya, ketika pemerintah berencana mewajibkan registrasi telepon seluler prabayar, banyak pihak mewanti-wanti agar berhati-hati. Maklum, nomor ponsel adalah benteng terakhir keamanan data masyarakat di era digital. Ketika Anda bertransaksi online, pasti akan meminta one time password (OTP) alias notifikasi yang dikirim melalui SMS. Ketika proses registrasi ini berjalan, apakah penawaran produk stop? Tidak. Ada kemungkinan di sales memakai data orang lain karena berani menawarkan produk? Wallahualam.

UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan data pribadi antara lain Kartu Keluarga (KK), Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama lengkap jenis kelamin dan tanggal lahir. Maka, ketika ada pelanggan operator seluler menyatakan NIK dipakai lebih dari 50 nomor, indikasi kebocoran data itu semakin menguat.

Sementara pemerintah menyatakan, yang terjadi adalah penyalahgunaan NIK dan KK. Menurut pemerintah, penyalahgunaan identitas kependudukan dalam registrasi merupakan pelanggaran hukum. Padahal, penyebab penyalahgunaan itu akibat data masyarakat terlanjur tersebar. Kurang masuk akal seseorang nekat menyalahgunakan NIK dan KK miliknya sendiri.

Daripada debat kusir, pemerintah harus mencari formula agar data masyarakat aman, seperti UU Perlindungan Data Pribadi. Pemerintah juga harus mengamankan data nomor prabayar masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×