kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Budi Waseso, Dirut Perum Bulog: "Harus ada data valid sebelum impor beras"


Selasa, 26 Juni 2018 / 17:46 WIB
Budi Waseso, Dirut Perum Bulog:


Reporter: Lamgiat Siringoringo, Lidya Yuniartha | Editor: Mesti Sinaga

Budi Waseso jadi  nakhoda baru Bulog. Sebagai pensiunan polisi, harapannya, Buwas, begitu mantan jenderal bintang tiga ini biasa disapa, bisa tegas dalam mengurus masalah pangan di dalam negeri terutama perberasan.

Pekerjaan besar yang sudah menunggu adalah menjamin ketersedian dan menjaga harga beras tetap stabil menjelang Lebaran. Maklum, Hari Raya Idul Fitri sudah di depan mata. Tapi, harga beras masih mahal saja di tingkat pengecer.

Sebagai gebrakan awal, Buwas memang cukup menjanjikan. Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) ini dengan tegas menolak menjalankan penugasan impor beras sebanyak 500.000 ton dari Kementerian Perdagangan.

Selain itu, apa lagi rencana Buwas selama memimpin Bulog? Kepada wartawan KONTAN Lydia Yuniartha Panjaitan dan Lamgiat Siringoringo, dia membeberkan strateginya.  

Berikut nukilannya:

KONTAN: Apa yang akan menjadi visi Anda selama menjabat dirut Bulog?
BUWAS:
Sekarang, kan, visi Bulog adalah menjamin ketersediaan beras, lalu kualitas dan harganya yang terjangkau. Kami harus bisa mencapai ke situ. Maka, pekerjaan yang sesuai dengan bidang-bidangnya dikerjakan maksimal supaya satu visi dan tujuan bersama.

KONTAN: Saat masih memimpin BNN, Anda dikenal tegas dan berani. Apakah Anda masih menerapkan strategi semacam itu di Bulog?
BUWAS:
Banyak strategi. Saya melihatnya begini, kalau ada satu permasalahan, saya akan memikirkan bagaimana strategi untuk menghadapi permasalahan ini. Pekerjaan harus sesuai dengan bidang masing-masing direksi. Saya banyak dibantu sama direksi, cuma yang memutuskan tetap saya.

KONTAN: Termasuk, tegas menolak permintaan impor 500.000 ton beras dari Kementerian Perdagangan?
BUWAS:
Iya. Mengapa saya menolak? Karena datanya dari mana. Saya, kan, juga harus mempertanggungjawabkan ke petani.

Nanti kalau timbul pertanyaan dari petani, sekarang lagi surplus, lagi panen, mengapa impor, siapa yang kena? Impor merugikan petani. Makanya, harus ada data yang valid, mengapa harus impor.

KONTAN: Jadi, menurut Anda, sekarang data pertanian atau beras kita memang masih abu-abu, ya?
BUWAS:
Saya bilang, sekarang harus ada hitungan dan data yang benar. Jadi, jangan kira-kira. Kalau kita kira-kira, berbahaya. Jika pasokan beras berlebihan di Indonesia, yang dirugikan siapa? Ya, masyarakat petani. Kami tidak boleh berpihak ke satu pihak, kami harus berpihak ke dua-duanya.

Umpama, biar harga beras stabil di Rp 9.000 per kilogram, ya, kami harus jaga harga itu. Sebab, konsumen untung dengan harga segitu, tidak mahal  dan mendapatkan barang yang berkualitas.

Tapi, bagaimana supaya bisa harga beras tetap Rp 9.000 per kilogram? Kami harus menyerap beras dengan standar juga, yakni dengan birokrasi yang tidak panjang.

Kenapa harga beras mahal? Karena birokrasi yang panjang. Makin panjang birokrasi, makin menimbulkan biaya, akhirnya harga makin mahal. Nah, strateginya, harus potong birokrasi yang panjang itu. Tetapi, tidak boleh merugikan petani.

Umpamanya, harga gabah yang diinginkan petani Rp 4.000 per kilogram. Ya, sudah segitu harganya. Kami akan olah sendiri, kami kemas lalu jual sesuai harga harapan masyarakat sebesar Rp 9.000 per kilogram. Itu fungsi Bulog, yakni menstabilkan harga, menjamin ketersediaan, menjaga kualitas.

KONTAN: Untuk itu, perlu perbaikan data pangan?
BUWAS:
Iya, ini yang harus diperbaiki, terutama data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Impor harus ada data resmi dan akurat soal beras.

Data ini berangkat dari luas lahan pertanian di Indonesia, kemudian angka produksinya, mulai kelurahan, kecamatan, hingga provinsi.

Dengan demikian, kami bisa tahu hasil pertanian berapa banyak dibanding jumlah penduduk yang mengonsumsi beras. Jadi ada hitungan pasti, bisa dikalkulasi. Jadi, Bulog bisa menyiapkan sebagai stok.

Kami bisa menghitung, kapan musim panen, kapan musim tanam, dan kapan ada bencana atau musibah lainnya. Sehingga, kami bisa mengkalkulasi, kapan harus impor atau tidak.

Jadi, impor bukan berdasarkan perkiraan, ini tidak boleh. Kalau nanti impor dan ternyata stok banyak, maka akan ada efek negatifnya, karena beras ada masa pakainya. Di kala sudah membeli namun tidak terpakai, terus mau diapakan. Ini, kan, bisa dianggap kerugian.

KONTAN: Memang, Bulog bisa menolak impor yang ditugaskan pemerintah?
BUWAS:
Secara kewenangan, memang kami sebagai pelaksana. Namun sebagai pelaksana, kan, boleh saja bisa tidak melakukan dengan alasan yang jelas. Misalnya, kami bisa menunda perintah itu dengan melakukan evaluasi terlebih dahulu.

Kalau ternyata memang harus impor, ya, tidak apa-apa. Artinya, kami bisa membuat kontrak dengan negara asal. Bisa kami bayar dulu tapi titip dulu, ya, berasnya. Tunggu, nanti Indonesia yang bilang kapan akan dikirim. Dengan begitu, Indonesia bisa diuntungkan.

KONTAN: Berapa total stok beras di Bulog sekarang?
BUWAS:
Hingga 17 Mei lalu, stok beras di Bulog mencapai 1.295.333 ton. Ini termasuk beras impor sebelumnya sebanyak 482.000 ton. Sisanya hasil serapan dari dalam negeri.

KONTAN: Apakah stok tersebut cukup sampai Lebaran dan tidak perlu impor?
BUWAS:
Masih cukup. Kan, kami tiap hari juga masih menyerap beras. Per hari menyerap beras bisa mencapai 17.000 sampai 22.000 ton.

KONTAN: Dalam rapat dengan Komisi IV DPR, Rabu (23/5) lalu, Anda mengatakan, ada kartel yang memainkan harga beras dan sudah mengetahui para pelakunya. Apa rencana Anda untuk menghadapi kartel beras?
BUWAS:
Saya sudah yakin sekali, kartel memang ada dan saya sudah mengetahui siapa saja. Sayang, Bulog tidak ada kewenangan eksekusi. Tapi, saya sudah memberitahukan soal kartel ini ke Satgas Pangan agar bisa ditindaklanjuti.

KONTAN: Apa saja yang Anda minta ke Satgas?
BUWAS:
Aparat penegak hukum harus bekerja sesuai bidangnya. Satgas Pangan juga harus bekerja sesuai bidangnya. Saya harus dibantu, negara ini juga harus dibantu oleh aparat-aparat yang berkualitas dan bertanggungjawab. Sekarang sudah kasatmata, kok. Tapi, ada yang bilang, kartel beras tidak ada? Ada kok, banyak. Di mana? Pokoknya ada banyak. Saya mengetahuinya.

KONTAN: Kalau Satgas Pangan tidak bergerak?
BUWAS:
Ya, berarti tidak serius menangani pangan.

KONTAN: Tadi, Anda katakan, harus potong birokrasi penyerapan beras yang panjang agar harga beras bisa lebih murah. Caranya?
BUWAS:
Kami akan kerjasama dengan TNI dan Polri. Saya akan memotong birokrasi yang panjang termasuk rantai distribusi. Sebab, masing-masing pihak mencari keuntungan.

Akhirnya, sampai ke pembeli, beras jadi mahal. Jadi, yang kami inginkan harga beras murah tidak terjadi. Makanya, saya ingin memangkas itu.

Sekarang, toko ritel Bulog belum banyak. Saya ingin toko Bulog ada di pasar-pasar tradisional. Cuma, yang paling gampang mewujudkan itu adalah dengan melibatkan TNI dan Polri.

Mereka kan, ada di tingkat kecamatan lewat Polsek dan Koramil. Kami titip saja beras di sana. Yang jualan masih tetap kami, hanya tempatnya di Polsek dan Koramil. Aman, tidak bisa dipakai main-main. Masyarakat juga tahu lokasi Polsek dan Koramil.

Nanti, kami umumkan, masyarakat yang mau membeli beras dengan harga sekian, silakan datang ke Polsek atau Koramil. Itu maksud saya, mempermudah saja sebenarnya.

KONTAN: Menjelang Lebaran, bagaimana caranya agar harga beras tetap terjaga?
BUWAS:
Begini, harga bisa stabil bila ketersediaan barang  sesuai dengan kebutuhan. Kalau tidak sesuai, pasti harga akan bergejolak.

Nah, untuk Lebaran tahun ini, apa saja yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, harus siap sedia. Untuk kecepatan pasokannya, juga harus kami pikirkan.

Karena itu, penyediaan, penyimpanan barang-barang tersebut harus dekat dengan sasaran atau kebutuhan masyarakat. Itu salah satu strategi kami, sehingga harganya bisa stabil. Maka, tempat penyimpanan barang kebutuhan pokok harus memenuhi standar, supaya kualitasnya juga tetap bagus.

KONTAN: Rencana Bulog menjual beras dalam kemasan kecil juga strategi dalam menjaga harga tetap stabil?
BUWAS:
Saya hanya berpikir begini, beras kok, bisa langka? Karena kebutuhan pokok, enggak ada yang tidak makan nasi di Indonesia. Kebanyakan pasti makan nasi.

Tapi, kopi yang bukan kebutuhan pokok malah bisa didapat di mana-mana. Mudah mendapatkan kopi.

Sementara nasi yang kebutuhan pokok kok, tidak bisa didapat di mana-mana? Salah satu pemikiran, kami harus buat beras ada di mana-mana, dengan jangkauan pembelian yang mudah dan murah.

Umpamanya, saya kuli bangunan. Saya hanya punya uang Rp 9.000 per kilogram tapi harga beras Rp 10.000. Saya tidak bisa beli beras, dong? Kan, beli beras minimal harus sekilo.

Nah, kalau ada beras renceng dalam kemasan kecil yang harganya Rp 2.500, maka dengan uang Rp 9.000 saya tentu masih bisa makan nasi. Sisa uangnya buat beli lauk.

Itu pemikiran sederhananya. Nasi, kan, kebutuhan pokok. Sedang kopi pilihan, bisa ngopi atau enggak. Karena makanan pokok, nasi tidak boleh seperti itu.

KONTAN: Kapan beras renceng dijual ke umum?
BUWAS:
Saya usahakan bisa dijual ke publik pada minggu-minggu ini. Harganya nanti Rp 2.500 untuk isi 200 gram.       

Biodata

Riwayat pendidikan:
■     Akademi Kepolisian Tahun 1984

Riwayat pekerjaan:
■     Kepala Bidang Propam Polda Jawa Tengah
■     Kepala Pusat Pengamanan Internal Mabes Polri    
■     Kapolda Gorontalo                                             
■     Widyaiswara Utama Sespim Polri                                      
■     Kepala Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Polri                                            
■     Kepala Bareskrim Mabes Polri                         
■     Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN)                                             
■     Direktur Utama Perum Bulog 

** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 28 Mei- 3 Juni 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Harus Ada Data Valid Sebelum Impor Beras"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×