Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Aroma tak sedap kembali menyengat dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kali ini berasal dari PT Waskita Karya Tbk (WSKT). Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan tiga tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi terkait proyek fiktif di WSKT.
Tiga tersangka itu adalah Desi Arryani, mantan Kepala Divisi III Waskita Karya yang juga eks Direktur Utama PT Jasa Marga Tbk (JSMR). Kemudian Jarot Subana, mantan Kepala Bagian Pengendalian pada Divisi III PT Waskita Karya yang kini menjabat Dirut PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP). Selanjutnya Fakih Usman, mantan Kepala Proyek dan Kepala Bagian Pengendalian pada Divisi III Waskita Karya.
Penetapan tiga tersangka baru ini adalah hasil pengembangan setelah KPK menetapkan dua orang tersangka dalam kasus ini, yaitu eks Kepala Divisi II Waskita Karya Fathor Rachman dan eks Kepala Bagian Keuangan dan Risiko Divisi II Waskita Karya Yuly Ariandi Siregar.
Kelima tersangka diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan menggarap proyek fiktif yang terjadi di Divisi II Waskita Karya antara tahun 2009-2015. Total kerugian yang timbul mencapai Rp 202 miliar.
Kasus dugaan rasuah di Waskita Karya semakin memperlihatkan sisi lain BUMN yang rapuh dan rentan terhadap pembobolan. Pada awal bulan ini, Menteri BUMN Erick Thohir mengungkap setidaknya ada 53 kasus korupsi yang terjadi di perusahaan pelat merah.
Kasus paling fenomenal dan membetot perhatian publik adalah dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya. Mengacu laporan hasil pemeriksaan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Nomor 35 tertanggal 19 Maret 2020, nilai kerugian negara dari kasus Jiwasraya mencapai Rp 16,81 triliun.
Berkaca pada rentetan kasus korupsi ini, reformasi di BUMN sangat mutlak dan mendesak. Tentu ada yang salah dari pengelolaan BUMN selama ini. Pembenahan perlu dimulai dari sisi hulu, proses perekrutan pegawai harus bebas KKN.
Kemudian, poin penting lainnya adalah saat penunjukan petinggi BUMN. Di proses ini, pemerintah harus transparan dan menghindari konflik kepentingan saat menunjuk direksi BUMN. Elemen masyarakat sipil juga perlu terlibat mengawasi tata kelola perusahaan pelat merah.
Perlu diresapi, BUMN adalah perusahaan negara, yang notabene milik rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, pemerintahan yang berkuasa hanya menerima amanat dari rakyat untuk mengelola BUMN.
Penulis : Sandy Baskoro
Redaktur Pelaksana
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News