kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Buruk muka, tarif pesawat dibelah


Jumat, 08 Februari 2019 / 09:38 WIB
Buruk muka, tarif pesawat dibelah


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Sepertinya harga tiket pesawat tak boleh murah di negeri ini. Harus mahal, dan hanya orang berkemampuan finansial yang boleh menggunakan pesawat sebagai moda transportasi. Bagi yang berkantong cekak jangan bermimpi membelah angkasa menuju kota tujuan.

Hal ini bukan cakap kosong. Beberapa bulan belakangan harga tiket pesawat naik dua kali lipat, bahkan lebih, hingga membuat banyak penumpang merevisi rencana perjalanan menumpang pesawat. Ada apa sebenarnya?

Empat tahun lalu, sebelum terjadi kecelakaan pesawat terbang Air Asia QZ 8501 di Selat Karimata akhir tahun 2014, bangsa Indonesia pernah dimanjakan oleh tiket penerbangan murah, oleh maskapai penerbangan dari Malaysia Air Asia. Namun pasca kecelakaan, Menteri Perhubungan (Menhub) ketika itu Ignasius Jonan menaikkan tarif batas bawah tiket penerbangan hingga 40%.

Menhub berargumen bahwa tarif murah atau biasa diistilahkan dengan low cost carrier (LCC) berpotensi mengabaikan faktor keselamatan penerbangan. Banyak biaya yang dikurangi sehingga kondisi pesawat tidak layak terbang, namun tetap dipaksakan demi memenuhi kebutuhan transportasi udara konsumen.

Meskipun saat itu harga tiket pesawat naik, harganya masih terjangkau masyarakat. Apalagi, sepanjang tahun terjadi peningkatan kebutuhan transportasi udara di tengah masyarakat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2017, setidaknya sekitar 28,5 juta jiwa penduduk Indonesia berstatus migran. Para migran atau perantau inilah yang biasanya menggunakan jasa pesawat terbang untuk sekedar menjenguk orang tua atau bahkan menjaga silaturahmi dengan keluarga di tanah kelahiran.

Seiring dengan itu, tanpa terbendung terjadi juga pertumbuhan maskapai penerbangan di tanah air, khususnya Lion Air. Jadi kloplah, tingginya permintaan jasa transportasi udara diiringi dengan pesatnya pertumbuhan maskapai penerbangan.

Rakyat pun bahagia karena tak perlu berpeluh menggunakan angkutan jalan raya. Berpergian naik pesawat tak lagi menjadi barang mewah. Bayangkan saja, tiket Medan menuju Jakarta pada saat itu hanya Rp 650.000.

Pesatnya pertumbuhan penumpang pesawat tak bisa dilepaskan dari perkembangan maskapai yang memang menginginkan rakyat Indonesia dengan mudah dan murah menggunakan pesawat kemana pun tujuannya.

Sampai-sampai slogan dari Lion Air berbunyi "We Make People Fly". Dari slogan itu saja menjadi tanda bahwa sesungguhnya harga tiket pesawat dapat didesain murah dan terjangkau publik.

Konsep tiket murah

Namun, di ujung tahun 2018, tiada hujan dan badai, pemerintah memberi izin melambungkan lagi harga tiket pesawat hingga membuat pengguna pesawat semaput. Ironis, di tengah kebutuhan transportasi menjelang tahun baru, harga tiket pesawat justru naik drastis. Bayangkan, tiket pesawat Medan menuju Jakarta mencapai Rp 1,9 juta.

Alasan selalu bisa dibuat, dan dikemas sebaik mungkin agar dipahami oleh khalayak. Pemerintah berargumen bahwa maskapai menjual harga tiket disesuaikan besarannya dengan peningkatan biaya pendukung seperti biaya navigasi, biaya bandara, avtur, dan kurs dollar Amerika Serikat (AS) yang fluktuatif.

Selain itu, alasan menurut Kementerian Perhubungan (Kemhub) kenaikan tarif tiket pesawat bertujuan agar persaingan di industri penerbangan menjadi lebih sehat. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, dengan tarif batas bawah yang berlaku sekarang, banyak maskapai yang berperang harga. Akibatnya, maskapai yang tidak mampu bersaing akan mati.

Apapun alasan pemerintah membiarkan maskapai menaikkan harga tiket pesawat, tetap saja tak memenuhi akal sehat filosofi tujuan pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni mewujudkan masyarakat yang adil makmur dan sejahtera.

Tugas pemerintah dalam mewujudkan tujuan negara, salah satunya adalah kemampuan menjamin keberadaan produk, baik barang maupun jasa yang menguasai hajat hidup rakyat agar dapat dinikmati oleh rakyat. Menjamin keberadaan tiket pesawat dengan harga yang terjangkau masyarakat tentu wajib dilakukan oleh pemerintah jika tak ingin disebut pengkhianat amanat rakyat.

Apalagi alasan kenaikan harga tiket pesawat belum dapat diterima akal sehat mengingat saat ini harga Avtur Pertamina menurun dan kurs mata uang dalam negeri yang sedang membaik. Seharusnya, harga tiket akan mengalami penurunan beberapa minggu sesudah Avtur turun. Pengecualian terjadi ketika kurs mata uang mengalami pelemahan.

Harga avtur yang dijual Pertamina sendiri memang sudah menurun sejak November tahun lalu hingga Januari 2019. Total penurunan bahkan mencapai 16%. Jadi, alasan kenaikan tiket harga pesawat seperti yang disebutkan oleh Kemhub berlawanan dengan fakta yang terjadi.

Di dunia ini, banyak negara yang membanderol murah harga tiket pesawat. Bukan hanya negara kaya, negara berkembang yang setaraf dengan Indonesia sangat memerhatikan kemampuan rakyatnya memenuhi kebutuhan transportasi udara. Hal itu dilakukan agar rakyatnya mendapat pelayanan transportasi terbaik dengan harga terjangkau.

Paling tidak beberapa negara tersebut, antara lain Spanyol membanderol harga tiket US$ 13,21 (Rp 171.730) per 100 kilometer (km), Australia rata-rata per 100 km adalah US$ 12,20 (Rp 158.600), Afrika Selatan menetapkan per 100 km sebesar US$ 11,63 (Rp 151.190), Malaysia memberi harga US$ 11,43 (Rp 148.590) per 100 km, dan India sampai memberikan harga per 100 km sebesar rata-rata US$ 10,36 (Rp 134.680).

Realitas tersebut seolah mengisyaratkan bahwa telah terjadi salah urus di dunia penerbangan Indonesia, sehingga berpuluh tahun mengelola penerbangan tak kunjung becus mengelola penerbangan nasional. Ketidakbecusan tersebut dapat dibuktikan dari pemain di industri penerbangan hanya dikuasai oleh dua grup besar, yaitu Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group. Sementara itu, maskapai penerbangan lain, seperti grup Sriwijaya Air sudah diambil alih Garuda Indonesia, maka jangan heran jika harga tiket pesawat hanya tinggal dikendalikan kedua maskapai tersebut.

Dari sekian banyak maskapai penerbangan yang gulung tikar, praktis tidak terjadi persaingan harga tiket pesawat. Padahal, konsep tiket murah (LCC) bukan cakap kosong. Konsep LCC adalah hasil dari strategi bisnis dan efisiensi pelayanan yang biasanya menguras kantong penumpang. Seperti, penghilangan makan gratis bagi penumpang, penghilangan ruang tunggu, penghapusan kelas bisnis, penyederhanaan bentuk tiket, pengurangan waktu parkir di Bandara, dan maksimalisasi jadwal terbang pesawat cukup signifikan mengurangi tarifnya.

Kenyataan ini seolah mengatakan bahwa buruk muka pemerintah mengelola dunia penerbangan, maka harga tiket pesawat selalu dibelah alias dinaikkan.•

Arfanda Siregar
Dosen Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×