kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Butuh investor berorientasi ekspor


Senin, 25 Juni 2018 / 16:08 WIB
Butuh investor berorientasi ekspor


Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Tri Adi

Usai sudah ‘pesta’ libur panjang Lebaran.  Kini kita saatnya kembali, bekerja,bekerja dan bekerja. Tantangan sudah menghadang. Saat kita ‘libur’, Bank  Sentral Amerika Serikat (The Fed) membuat kebijakan, menaikkan suku bunga 0,25% menjadi 1,75-2%.  

The Fed juga melempar sinyal: bahwa penaikan bunga acuan lanjutan bakal dilakukan dua kali lagi di sisa 2018 ini.  Bagi pembuat kebijakan tak ada waktu lena lagi. Strategi antisipasi mengikuti perkembangan global harus segera dilakukan.

Bank Indonesia (BI) sepertinya tak ingin telat dengan langsung bergerak.  Dalam peryataan resmi, Selasa (19/6) lalu,  Gubernur BI  Perry Warjiyo menyatakan: ada peluang kenaikan suku bunga acuan, BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7DRRR)  dalam rapat Dewan Gubernur BI tanggal 27-28 Juni mendatang.  Pasca menaikkan  BI 7DRRR sebanyak dua kali, masing- masing 25 bps pada 17 Mei dan 30 Mei lalu menjadi 4,75%, besar kemungkinan BI akan mengerek  suku bunga acuan lagi ke posisi 5%.

BI menyebut: kebijakan lanjutan yang ditempuh ini untuk mengantisipasi perkembangan baru The Fed.  Selain untuk menjaga stabilitas nilai rupiah, BI nampaknya juga ingin agar aset-aset keuangan Indonesia tetap atraktif di mata para pemilik modal. Pendek kata, upaya menaikkan suku bunga untuk mencegah larinya modal-modal asing dari pasar portofolio Indonesia. Toh, harus diakui, struktur ekonomi Indonesia memang masih dikuasai hot-hot money, baik di pasar saham maupun obligasi.

Kenaikan bunga acuan di AS dan negara-negara advanced country akan memacu pembalikan dana-dana panas dari emerging market, tak terkecuali Indonesia. Penaikan  suku bunga jadi langkah  untuk menahan laju capital outflow.

Hanya jurus ini belum cukup. Jika AS menaikkan suku bunga dua kali lagi, dengan asumsi saban kenaikan suku bunga menghabiskan cadangan devisa US$ 5 miliar, dua kali kenaikan bunga acuan sentral AS akan menandaskan  pasokan valas hingga US$ 10 miliar dari posisi cadangan devisa kita yang per Mei 2018 mencapai US$ 122, 914 miliar.

Saat kita membutuhkan banyak devisa, mendorong ekspor memang bisa jadi pilihan. Tapi, ini tak mudah. Perang dagang AS dengan China akan berdampak bagi ekonomi global, termasuk RI. Barang-barang China yang tak bisa masuk AS akan membanjiri pasar global. Bersaing dengan mereka, jelas sulit. Kalah  harga sekaligus kalah ongkos!

Menarik investasi  masuk ke Indonesia juga bisa menjadi alternatif. Hanya upaya ini menghadapi tantangan super berat. Butuh konsistensi pemerintah untuk menyedot kepercayaan investasi. Hingga saat ini,  mereka masih wait and see.  Apa yang mereka tunggu?  Di sektor migas, salah satunya: babak akhir negosiasi antara Freeport Mc Moran dengan Pemerintah Indonesia. Mereka khawatir Freeport ‘kalah’. Ini akan menjadikan investasi di sektor migas makin mini.  

Padahal, sektor migas membutuhkan investasi baru. Usia sumur minyak yang tua akan membuat impor migas kita terus bertambah.  Ini jelas membebani ekonomi. Kemampuan Pertamina melakukan investasi juga terbatas. Mengingat, BUMN ini harus menjalankan fungsi sosialnya dengan tak boleh menaikkan harga minyak.     

Demi mendapatkan devisa, harus ada amunisi jangka pendek. Sekuritasasi atau divestasi aset BUMN juga bisa menjadi pilihan. Hanya ini solusi sesaat lantaran aset-aset BUMN kita mayoritas berorientasi pasar lokal. Dalam jangka pendek, memang bisa menghasilkan dollar.  Tapi jangka panjang justru menambah beban kebutuhan valas. Mereka harus transfer keuntungan ke luar negeri. Yang benar-benar dibutuhkan adalah investasi yang berorientasi pasar ekspor. Mereka lah yang harus dapat karpet merah.•

Titis Nurdiana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×