kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.965.000   -21.000   -1,06%
  • USD/IDR 16.835   40,00   0,24%
  • IDX 6.679   65,44   0,99%
  • KOMPAS100 965   12,40   1,30%
  • LQ45 750   8,15   1,10%
  • ISSI 212   1,80   0,86%
  • IDX30 390   4,00   1,04%
  • IDXHIDIV20 468   2,84   0,61%
  • IDX80 109   1,41   1,31%
  • IDXV30 115   1,81   1,60%
  • IDXQ30 128   1,06   0,84%

Catatan dari terpilihnya kembali Xi Jinping


Senin, 26 Maret 2018 / 10:06 WIB
Catatan dari terpilihnya kembali Xi Jinping


| Editor: Tri Adi

Xi Jinping akhirnya terpilih kembali sebagai Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada sesi pertama Kongres Rakyat Nasional (KRN) ke-13 yang berlangsung pada 17 Maret 2018 yang lalu. Yang menarik untuk dicermati adalah, Xi terpilih kembali setelah beberapa hari sebelumnya KRN atau semacam parlemen dari negeri Tiongkok menyetujui untuk mengamandemen pasal konstitusi negara tersebut yang membatasi masa jabatan presiden. Ini artinya, Xi dimungkinkan untuk dipilih kembali melalui KRN sebagai presiden pada tahun 2023.

Berbagai spekulasi pun beredar seputar terpilihnya kembali Xi menyusul dihapuskannya masa jabatan presiden negara itu. Antara lain adalah tentang kekhawatiran bahwa Tiongkok akan kembali ke masa otoritarian seperti yang terjadi di masa kepemimpinan Mao Zedong yang berlangsung dari 1949 sampai 1976).

Hal ini sangat menjadi perhatian para pengamat, terutama di negara Barat. Sebab bagaimanapun juga, saat ini Tiongkok dianggap sebagai kekuatan yang mampu menyaingi keperkasaan Amerika Serikat (AS) dalam percaturan di bidang ekonomi dan politik global.

Xi Jinping sendiri saat ini merangkap beberapa jabatan. Antara lain Sekjen Partai Komunis Tiongkok (PKT), Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan Ketua Komite Militer Pusat. Sebelum tahun 1982, jabatan sekjen disebut ketua.' Perubahan ini dilakukan sebagai upaya untuk menghindari terulangnya kembali pola kepemimpinan era Mao yang dinilai telah menjurus ke kultus individu serta mereduksi pola kepemimpinan kolektif di tubuh partai komunis.

Uniknya, di tengah upaya menghidupkan kepemimpinan kolektif, pada tahun 1993 jabatan Sekjen PKT, Presiden RRT, dan Ketua Komite Militer Pusat justru dipusatkan pada satu orang, yaitu Jiang Zemin. Sejak saat itu, walau tidak ada peraturan tertulis, ketiga jabatan itu selalu dirangkap oleh satu orang. Pada tataran tertentu, hal ini bisa ditafsirkan sebagai upaya menciptakan kepemimpinan yang kuat, sehingga mampu menciptakan suatu proses pembuatan keputusan secara cepat dan efektif.

Merujuk pada peristiwa Tiananmen tahun 1989, Sekjen PKT saat itu Zhao Ziyang cenderung berdialog dengan demonstran mahasiswa. Sedangkan pejabat teras PKT lainnya, termasuk orang paling berpengaruh di Tiongkok saat itu Deng Xiaoping yang menjabat Ketua Komite Militer Pusat, cenderung bersikap lebih tegas. Demonstrasi pun berlangsung berlarut-larut sebelum akhirnya dibubarkan paksa. Di samping itu, pemusatan jabatan di satu orang juga bisa diinterpretasikan bahwa Tiongkok memerlukan soliditas kepemimpinan baru, menyusul menurunnya pengaruh Deng Xiaoping, terutama karena alasan kesehatan hingga wafat pada 1997.

Strategi Indonesia

Lantas, mengapa saat ini Tiongkok mengamandemen pasal konstitusi yang membatasi jabatan presiden? Jawabnya bisa beragam, akan tetapi, salah satu pertimbangannya bisa jadi untuk memastikan kesinambungan kebijakan yang telah dilakukan oleh Xi Jinping. Salah satunya yang paling terkenal adalah one belt one road (OBOR).

OBOR diperkenalkan oleh Xi Jinping pada tahun 2013 pada kunjungannya ke Kazakhstan dan Indonesia. Diinspirasi oleh jalur perdagangan tradisional Tiongkok Silk Road

(Jalur Sutera) yang dikenal sejak 2.000 tahun lalu, Tiongkok berambisi untuk membangun suatu sabuk perekonomian yang menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tengah, Rusia, wilayah Baltik, Teluk Persia, Laut Tengah, Asia Barat, Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Samudera Hindia. Dengan OBOR, Tiongkok berambisi membangun jaringan antar wilayah-wilayah itu dalam berbagai bidang. Antara lain komunikasi, jaringan transportasi, perdagangan bebas hambatan, serta peredaran uang.

Melihat ambisi Tiongkok pada OBOR dan posisi vitalnya pada konstelasi global, sudah selayaknya pemimpin Indonesia, terutama yang terpilih pasca Pemilu 2019, merumuskan strategi untuk menyikapi OBOR. Di satu sisi, OBOR merupakan peluang untuk menggaet investasi dari Tiongkok, terutama dalam bidang industri dan infrastruktur.

Menurut catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sepanjang tahun 2017 investasi Tiongkok di Indonesia menempati posisi kedua terbesar dengan nilai US$1,07 miliar (KONTAN, 16 Oktober 2017).

Akan tetapi, di sisi lain, Indonesia juga perlu merumuskan strategi untuk memperkuat industri dalam negeri agar tidak hanya menjadi pasar dari barang impor semata. Beberapa waktu belakangan ini misalnya, sebagian kalangan khawatir jika kebijakan pembangunan yang fokus pada infrastruktur tanpa penguatan industri dalam negeri hanya akan mempermudah arus barang masuk dari luar, seperti dari Tiongkok, dan bukan sebaliknya. Belum lagi merebaknya isu membanjirnya tenaga kerja asal Tiongkok.

Selain ekonomi, isu lain yang perlu diperhatikan dalam kerangka hubungan Indonesia-Tiongkok adalah masalah Laut China Selatan (LCS). Kawasan tersebut hingga kini merupakan wilayah sengketa antara Tiongkok dengan Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia. Karena Tiongkok menggunakan klaim wilayah tersebut berdasarkan sembilan garis putus-putus (nine dashed line). Garis-garis itu sedikit menyinggung wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna Utara. Akan tetapi, hingga kini Indonesia tetap tidak berstatus sebagai negara klaiman. Lantaran pada prinsipnya, Indonesia tidak mengakui klaim sembilan garis putus-putus Tiongkok yang tidak mempunyai dasar hukum internasional.

Tidak ayal, isu Laut China Selatan sempat menghangat dalam hubungan Indonesia-Tiongkok ketika kapal perang Indonesia menangkap kapal nelayan Tiongkok yang dianggap melakukan pelanggaran wilayah pada 2016. Bahkan, pada tahun 2017, mencuat isu penggantian nama perairan Indonesia di Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara oleh pemerintah Indonesia, dan ini suatu yang sangat ditentang oleh Tiongkok.

Di luar kedua hal tersebut, isu yang perlu menjadi perhatian untuk beberapa tahun ke depan adalah faktor geopolitik yang berkaitan dengan perebutan pengaruh antara Tiongkok dan Amerika Serikat di tataran global. Pada konteks ini, Indonesia mau tidak mau menyadari posisinya dalam konsepsi ruang, batas imajiner antar negara, konsepsi kekuatan politik, dan konsepsi keamanan negara yang terkait dengan posisinya dalam konstelasi internasional. Di titik inilah, menjadi krusial bagi Indonesia untuk mengantisipasi dinamika hubungan Tiongkok-AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM) Negotiation Mastery

[X]
×