kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Catatan revisi Undang-Undang Pelayaran


Rabu, 07 Agustus 2019 / 16:34 WIB
Catatan revisi Undang-Undang Pelayaran


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran kembali akan direvisi. Dahulu, sekitar tahun 2011, pemerintah juga menggulirkan wacana yang sama, namun hingga munculnya rencana revisi kedua keinginan pemerintah itu tidak jelas nasibnya.

Bila gagasan pertama tali kendali sepenuhnya dipegang oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemhub), maka pada perubahan kedua kali ini ritme permainan berada dalam tangan para senator yang berhimpun di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para senator ini sudah bergerak cukup jauh dengan niat mereka.

Sebuah draf untuk mengubah UU Pelayaran telah mereka siapkan dengan judul lengkap "Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ... Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran". Nomor memang dikosongkan menunggu proses pembahasan tuntas di DPR. Sesuai aturan main yang berlaku, RUU yang diusulkan oleh DPD memang akan dibahas oleh DPR sebagai lembaga yang berwenang membuat UU. baik berasal dari DPD maupun DPR, semua RUU yang diajukan oleh kedua kamar parlemen tersebut dikenal dengan RUU inisiatif.

Penulis beruntung mendapat softcopy naskah RUU Pelayaran 2008 dari sekretariat DPD. Agak sedikit di luar ekspektasi publik, paling tidak ekspektasi penulis, draf yang ada hanya memuat dua pasal perubahan, yaitu Pasal 8 dan Pasal 276. Ketika mengetahui dari media bahwa DPD berkeinginan merevisi UU ini, penulis sebenarnya berharap lembaga tersebut akan mengubah total beleid tentang pelayaran ini. Salah satu alasannya karena peraturan perundangan ini memuat banyak isu dalam satu kompilasi, padahal bisa dibuat UU tersendiri agar lebih memudahkan pengelolaan sektor tersebut.

Dalam kesempatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar oleh DPD beberapa waktu lalu, penulis menyampaikan hal yang sama. Sayang, draf ini sudah terlanjur jadi. Tetapi DPD sebetulnya masih mengharapkan masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan revisi yang akan dilakukan. Hanya saja perlu digarisbawahi, apapun masukan tambahan ini sepertinya tidak akan banyak mempengaruhi sifat perubahan yang diajukan DPD yang parsial dan terbatas.

Pasal-pasal yang ingin direvisi o DPD, yakni pasal 8 dan pasal 276 yang memuat ketentuan tentang Angkutan Laut Dalam Negeri dan Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard). Semangat parsial dan terbatas dapat dilihat dari usulan yang ada. Pasal 8 ayat 1 berbunyi "Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia".

Pada ayat 2, "Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antar pelabuhan di wilayah perairan Indonesia". Dalam revisinya, DPD mengusulkan ayat 1 menjadi "Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional atau asing". Di samping itu, DPD mengusulkan penambahan ayat 3 yang berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan angkutan laut nasional atau asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah".

Sementara itu, Pasal 276 yang terdiri dari tiga ayat diusulkan agar ayat 3 diubah. Pasal ini berbunyi "Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. Usulan DPD untuk ayat ini: "Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang keamanan laut".

Selain dua pasal tadi, DPD juga mengusulkan agar Pasal 1 angka 61 diubah menjadi "Setiap Orang adalah orang perseorangan, badan hukum, dan/atau korporasi". Adapun bunyi awal poin ini adalah "Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi".
 

Dua catatan penting

Dalam beberapa kesempatan DPD mengungkapkan, revisi UU Pelayaran ini dilakukan karena dinilai tidak efektif dalam menyelesaikan masalah di bidang pelayaran. Salah satu masalah dalam pelayaran adalah tumpang tindih regulasi, khususnya terkait lembaga penegakan hukum pelayaran, yakni Syahbandar. Lembaga ini melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran tapi di sisi lain ketentuan ini bertentangan dengan sebagian wewenang Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Pada UU Pelayaran yang berlaku sekarang juga dinilai kurang efektif dalam mendorong perekonomian daerah. Padahal, pelayaran merupakan salah satu sektor utama ekonomi di sebagian daerah.

Ada beberapa hal yang bisa dicatat dari revisi UU Pelayaran yang dilakukan DPD. Pertama, ada upaya melonggarkan penerapan azas cabotage dengan memberikan peluang kepada pelayaran asing untuk melayani pelayaran penumpang/barang antarpulau maupun antar pelabuhan dalam negeri. Saat pemerintah berkeinginan merevisi UU Pelayaran pada 2011, prinsip inilah yang ingin diubah. Barangkali karena tahu spirit ini merupakan hal yang sakral akhirnya gagasan merevisi peraturan perundangan pada tahun itu menguap begitu saja. Revisi yang diajukan DPD seperti membuka kembali luka lama.

Azas cabotage yang berarti pengangkutan komoditas melalui laut hanya oleh kapal-kapal domestik. Selain Indonesia, negara lain juga menerapkan azas ini, termasuk Amerika Serikat (AS). Sebelum dijahit menyatu dengan UU 17/2008, azas cabotage telah hadir lebih dahulu melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kedua, terjadi ketidakcermatan memahami isu penegakan hukum di laut. Sepertinya DPD memahami isu ini lebih dari perspektif keselamatan dan pidana/keamanan semata. Sejatinya, masalah penegakan hukum di laut mencakup dimensi yang lebih luas dari kedua hal itu. Artinya, sebagai instansi penegak hukum di laut, penjaga pantai atau coast guard pada sebuah negara (sayang hingga saat ini Indonesia belum memiliki coast guard) dalam bekerja tidak hanya mengurusi kelaikan kapal dan aspek keamanan, malah, yang jauh lebih penting dari itu adalah  maritime search and rescue. Lihat saja bagaimana, misalnya, coast guard AS dan Jepang, hampir 90% misinya adalah pencarian dan pertolongan di laut.

Apapun, UU Pelayaran memang perlu direvisi. Bahkan, bila melihat sejarah pembahasannya, aturan tersebut perlu dirombak total; kalau perlu dibuatkan UU khusus untuk sektor atau bidang yang bisa dilepas dari UU Pelayaran saat ini, salah satunya adalah UU Penjagaan Pantai. Coba bayangkan, dari 500 lebih daftar inventarisasi masalah (DIM) ketika dibahas di DPR pada 2008, UU ini pada akhirnya muncul dengan hanya 355 pasal.♦

Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×