Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Badan Pusat Statistik pada awal Juli 2019 lalu merilis data yang membuat masyarakat dan kalangan pelaku usaha prihatin. Yakni, jumlah penumpang angkutan udara domestik merosot tajam pada lima bulan pertama tahun ini. Total jumlah penumpang angkutan udara domestik selama Januari hingga Mei 2019 mencapai 29,4 juta orang, terkoreksi 21,3% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mampu mencapai 37,4 juta orang.
Lonjakan harga tiket pesawat udara sejak akhir tahun lalu merupakan penyebab utama kontraksi tersebut. Dan ini masih menjadi permasalahan yang belum bisa diselesaikan hingga saat ini, meskipun sejumlah upaya sudah mulai dilakukan untuk menekan harga.
Besarnya pengaruh harga terhadap tingkat penggunaan pesawat udara sebagai moda transportasi oleh masyarakat Indonesia ini sangat wajar. Pasalnya, sebagian besar pengguna pesawat terbang di Indonesia adalah kalangan kelas menengah (khususnya menengah ke bawah) yang masih memilih tarif sebagai pertimbangan paling utama dalam menentukan moda transportasi dalam bepergian. Kalangan ini baru memperhatikan faktor-faktor lain, seperti tingkat kenyamanan, dan bahkan keamanan, setelah faktor tarif.
Ini sebabnya, struktur konsumen pesawat udara di Indonesia sangat didominasi oleh pengguna penerbangan berbiaya rendah atau low cost carrier (LCC). Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan (ASTINDO) mengungkapkan bahwa mahalnya harga tiket bahkan berakibat pada penurunan penjualan tiket saat peak season seperti saat Lebaran tahun ini hingga 20%, lebih dalam dibanding penurunan pada musim sepi (low season), dan penurunan penjualan terbesar berasal dari LCC.
Sebagian masyarakat yang ingin bepergian, khususnya antar pulau, harus mengurungkan niatnya. Sebagian lagi beralih memilih moda transportasi lain, baik darat dan laut, meskipun menempuh waktu perjalanan yang lebih lama. Sebagai contoh, pada Januari hingga Mei 2019, tercatat kenaikan jumlah pengguna angkutan laut sebesar 8,8%.
Kenaikan terbesar terjadi pada Pelabuhan Belawan Medan yang meningkat 251,9% secara tahunan menjadi 68.000 orang. Pada periode yang sama, penumpang udara tujuan Medan memang merosot paling tajam hingga lebih dari 540.000 orang atau 34% dibanding periode yang sama tahun 2018.
Kenaikan harga tiket pesawat tidak hanya berdampak langsung sektor transportasi dan komunikasi, namun juga pada sejumlah sektor lain yang berhubungan erat dengan mobilitas manusia dan barang, khususnya pariwisata dan bahkan ritel. Sektor transportasi dan komunikasi tumbuh 4,91% pada kuartal pertama 2019, lebih lambat dibanding triwulan yang sama tahun lalu yang mencapai 4,96%.
Demikian pula halnya dengan sektor pariwisata yang justru diharapkan sebagai sektor utama pendorong pertumbuhan ekonomi masa depan. Sektor hotel dan restoran, misalnya, mengalami perlambatan dari 5,54% pada kuartal pertama 2018 menjadi 5,42% pada kuartal pertama 2019. Rata-rata tingkat hunian hotel berbintang selama lima bulan pertama tahun ini turun dibanding tahun lalu.
Pada Mei 2019, misalnya, tingkat hunian hotel berbintang hanya sebesar 43,53%, atau anjlok 10,33% dibandingkan Mei 2018 yang mencapai 53,86%. Penurunan terbesar bahkan juga terjadi pada daerah-daerah tujuan wisata utama seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) yang hanya mencapai 33,34% atau turun 20,72% dibanding bulan yang sama tahun lalu.
Yang lebih memprihatinkan, saat industri pariwisata nasional terpukul oleh kenaikan tiket pesawat domestik, industri pariwisata di luar negeri khususnya di negara-negara tetangga yang justru ketiban manfaatnya. Hal ini lantaran saat harga tiket penerbangan domestik terlalu tinggi, konsumen yang ingin berlibur bisa beralih ke luar negeri. Imbasnya, sektor pariwisata domestik akan dirugikan.
Diperkirakan penjualan tiket penerbangan internasional meningkat 5% hingga 10% dari kondisi normal di low season. Artinya, uang masyarakat yang seharusnya bisa dihabiskan di dalam negeri dan menggerakkan perekonomian domestik malah dihabiskan di negeri orang. Bagi maskapai pun dampaknya negatif karena berkurangnya jumlah penumpang akan berujung pada pembatalan sejumlah penerbangan.
Data Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah pelawat ke luar negeri (outbound) pada kuartal pertama tahun ini meningkat 10% dibanding periode yang sama tahun lalu, padahal jumlah pelawat ke dalam negeri (inbound) selama periode yang sama tumbuh hanya 1%. Peningkatan 10% jumlah pelawat ke luar negeri pada kuartal pertama 2019 ini juga lebih tinggi dibanding pertumbuhan pada kuartal yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 7% secara year on year (yoy).
Di samping itu, efek bola salju dari harga tiket pesawat ini juga akan dirasakan sampai pada jasa pengiriman barang. Menurut ASTINDO, sebagian perusahaan pengiriman skala kecil sudah gulung tikar akibat kenaikan tarif kargo pesawat berdampak pada peningkatan biaya pengiriman barang. Sementara perusahaan kargo menengah dan besar tentu ikut terkena imbasnya sehingga banyak dari mereka masih menunggu kondisi yang lebih kondusif, tidak terlalu ekspansif pada tahun ini. Akibatnya tingkat investasi swasta secara nasional ikut terganggu karena pelaku usaha disektor logistik dan kargo menahan diri.
Belum lagi dampak turunannya pada industri pariwisata di lapangan. Sektor otomotif berupa penyediaan bus pariwisata dan mobil pribadi tentu ikut terkena dampaknya. Ditambah sektor usaha hotel dan restoran serta perdagangan ritel di lokasi-lokasi pariwisata ikut menyusut mengingat kunjungan pariwisata berkurang.
Tingginya harga tiket pesawat udara perlu menjadi perhatian yang sangat serius, mengingat rentetan dampaknya terhadap konsumsi masyarakat, daya saing usaha, dan perekonomian nasional secara makro, apalagi di tengah meningkatnya tekanan ekonomi global seperti saat ini. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan kolaborasi Kementerian Perhubungan dengan kementerian/lembaga terkait lainnya, BUMN dan pihak swasta terkait.
Semua komponen biaya yang mempengaruhi harga tiket perlu dievaluasi dan dicari jalan keluarnya, mulai dari biaya bahan bakar avtur, biaya pelayanan bandara, biaya perawatan, hingga mengevaluasi rute-rute yang kurang efisien. Dari sisi keuangan, utang perusahaan penerbangan yang sangat tinggi perlu pula dilakukan restrukturisasi. Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal atau non fiskal kepada agen perjalanan, hotel, dan restoran di daerah wisata agar terdorong memberikan nilai tambah seperti diskon layanan.♦
Mohammad Faisal
Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE) Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News