Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Hari Kasih Sayang atau Valentines Day dirayakan setiap tanggal 14 Februari. Meskipun bukan budaya lokal, sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya dari generasi milenial menjadikan momen ini sebagai salah satu media mengungkapkan persahabatan dan kasih sayang dengan memberi kado berisi cokelat.
Bila Hari Natal tidak afdol tanpa lilin, maka Hari Valentine juga terasa hambar tanpa cokelat. Tanaman cokelat yang hingga saat ini disebut "makanan dari Tuhan" (Theobroma cacao) memang bukan tanaman asli Indonesia, tetapi berasal dari hutan tropis di Amerika Tengah dan Selatan. Pertanyaannya, kapan cokelat menjadi elemen penting dalam perayaan Valentine ? Pertanyaan ini belum terjawab secara baik hingga sekarang. Namun, sejumlah ahli menyebut hubungan keduanya diselubungi mitos cokelat yang memiliki khasiat aphrodisiac, yakni mampu memperbaiki suasana hati untuk saling mengasihi.
Belum ada penelitian ilmiah yang mendalam untuk membuktikan atau membantah mitos tersebut. Yang jelas, minuman yang dibawa penakluk Aztec Hernando Cortez ke Spanyol ini penggemarnya semakin meluas di dunia, termasuk di Indonesia. Mengapa bisa demikian?
Hal tersebut tentu tak lepas dari komponen penyusun cokelat, yakni sumber pangan yang kaya lemak (30%), dan karbohidrat (60%), protein, sejumlah mineral, berbagai jenis flavonoid seperti: epikatekin, epigalokatekin, dan prosianidin, serta komponen bioaktif lainnya yang berfungsi sebagai antioksidan.
Biji kakao yang sudah mengalami proses pemeraman dan pengeringan siap digiling untuk memperoleh bubur cokelat (chocolate liquor). Selanjutnya diolah untuk membentuk tekstur dan menghidupkan aroma cokelat olahan yang nikmat.
Produknya tak hanya lezat, tapi juga amat bermanfaat bagi kesehatan. Cokelat mengandung antioksidan yang menangkap radikal bebas (free radical scavengers) untuk menghindari penyakit jantung dan kanker.
Sejumlah ahli kesehatan berpendapat bahwa mengonsumsi cokelat tidak menimbulkan kecanduan, namun menyebabkan kerinduan untuk mengonsumsinya kembali karena cita rasanya yang lezat dengan tekstur yang meleleh secara perlahan di mulut. Sensasi rasa ini disebut chocolate craving. Rasa rindu cokelat diduga karena senyawa feniletilamin yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan penyerapan triptofan oleh otak. Pada gilirannya mendongkrak pembentukan senyawa 5-hidroksi-triptofan yang mampu membentuk dopamine. Hasil terakhir inilah yang menjadi substansi pencetus perasaan senang dan nikmat serta perbaikan suasana hati.
Lalu, apa hubungannya dengan Hari Valentine? Barangkali merupakan sesuatu yang kebetulan jika setiap Hari Valentine tiba, cokelat mendadak menjadi komoditas yang laris manis di pasaran.
Mungkin juga karena rasanya yang disukai banyak orang, bentuknya yang menarik, dan berkesan romantis, sehingga layak dijadikan hadiah Valentine bagi orang terkasih. Namun, apabila dilihat dari sudut pandang zat feniletilamin yang terkandung di dalamnya, bisa jadi hal tersebut sama sekali bukan suatu kebetulan, melainkan fakta ilmiah.
Mau berkorban
Jika Anda memberi hadiah cokelat yang istimewa (original) atau bukan cokelat tiruan (kw) alias bermutu kelas dua atau tiga pada orang yang dikasihi di Hari Valentine ini, mereka pasti tersanjung membayangkan nikmatnya mengudap cokelat yang meleleh di mulut. Satu hal lain yang amat penting, sambil menikmati enaknya cokelat, kita patut mengenang sosok St Valentinus sebab demi kasih sayang, ia mau berkorban dan menjadi martir.
Sekitar abad ke-3, kaisar Claudius II mengeluarkan larangan perkawinan bagi pria usia muda demi kepentingan perang karena dianggap lebih perkasa sebagai tentara. Namun, St Valentinus menentangnya sebab larangan itu adalah bentuk pelanggaran hak dan keadilan. Lantas, ia menikahkan pasangan-pasangan muda yang sudah saling mencinta di gereja.
Kaisar Claudius marah atas tindakan St Valentinus dan memerintahkan untuk menangkap dan dihukum mati. Dalam penjara ia lalu berkenalan dengan putri seorang penjaga penjara yang penyakitan. St Valentinus dalam pelayanan medis yang dilakukan, ia menunjukkan persahabatan kepada sang putri. Sebelum dihukum mati, ia mengirim selembar kartu yang bertuliskan "Dari yang tulus cintanya, Valentine".
Perlawanan St Valentinus terhadap perintah kaisar patut dimaknai saat ini sebagai salah satu cara membangun persahabatan dan pemihakan kepada kaum lemah di tengah kehidupan yang makin dikepung kekerasan politik. Berbagai catatan atas peristiwa kekerasan acap dipertontonkan demonstran dan elite politik Tanah Air. Kampanye negatif berbau SARA jelang Pilkada 2020 menjadi sisi kelabu bagi bangsa Indonesia yang sesungguhnya dibangun dan dibingkai dalam format kemanusiaan yang adil dan beradab.
Praktik korupsi dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, selain bukan budaya bangsa Indonesia juga telah memperburuk masa depan bangsa. Berbagai peristiwa itu telah memberi rasa takut kepada investor asing datang ke Indonesia. Di tengah krisis keuangan global, kita patut menggalang kerjasama di segala bidang guna memperbaiki kehidupan ekonomi kerakyatan. Kita prihatin atas penderitaan sebagian warga yang harus mengonsumsi nasi aking karena tak mampu membeli beras dan makanan bergizi lainnya.
Kehidupan wong cilik (orang dengan ekonomi lemah) semakin sulit akibat makin buruknya perekonomian yang menetaskan arus deras urbanisasi. Di desa sebagai petani, mereka mengalami proses pemiskinan. Desa bermetamorfosa menjadi sumber kelaparan. Namun di kota, kaum urban tak punya keterampilan dan hanya mengandalkan untung-untungan untuk memperoleh pekerjaan.
Bagi rakyat kecil, janji-janji partai politik saat kampanye pilpres, pileg dan pilkada hanyalah pembohongan publik. Di sisi lain, pemerintah belum mampu secara signifikan memutar roda pembangunan ekonomi untuk membebaskan rakyat kecil dari beragam penderitaan dan kemiskinan.
Hakikat perayaan valentine di tengah proses pemiskinan bangsa menuntut pemerintah bergaya hidup sebagai sahabat untuk memanusiakan manusia. Orde penindasan yang membuat komitmen kemanusiaan kita tergerus sudah harus berlalu karena hanya melahirkan suatu sikap yang memikirkan diri sendiri dan kelompok. Sikap individualistis ini jelas menggerus indeks kesejahteraan rakyat. Kesadaran bahwa kita hidup bersama dengan orang lain akan melahirkan suatu sikap adil dan peduli terhadap sesama.
Namun, keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan uang, sehingga sulit terwujud di negeri ini. Keadilan mengalami erosi roh keberpihakan karena sebagian orang bisa membelinya. Keadilan menjadi milik penguasa dan si pemilik uang. Kenyataan ini terekam dalam berbagai pengalaman dalam kehidupan keseharian kita di republik tercinta ini.
Penulis : Posman SIbuea
Guru Besar Tekonologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News