Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Beberapa stimulus ekonomi, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan pasar properti sudah dikeluarkan. Adapun paket kebijakan yang menjadi jurus ampuh pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan properti adalah relaksasi loan to value (LTV) Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dari 10% menjadi 5% yang efektif berlaku pada tanggal 2 Desember 2019.
Selain itu, sejak pertengahan tahun 2019, Menteri Keuangan juga telah menurunkan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) terhitung dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor PMK 92/PMK.03/2019. Batas bawah PPnBM di tingkatkan dari Rp 20 miliar menjadi Rp 30 miliar dengan tujuan mendongkrak pasar properti kelas menengah ke atas.
Namun, hingga kuartal I tahun 2020 belum ada tanda-tanda pasar properti di Indonesia membaik. Hasil riset Colliers menunjukkan bahwa pertumbuhan harga apartemen di Central Business District (CBD) Jakarta pada kuartal IV 2019 tumbuh stagnan dari kuartal ke kuartal, sedangkan secara year on year (yoy) hanya tumbuh sebesar 0,8%. Adapun Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) Bank Indonesia (BI) mencatat penurunan pertumbuhan yang hanya sebesar 1,77%, lebih rendah dibandingkan dengan 1,80% pada kuartal III 2019. Perlambatan juga ditunjukkan pada pasar properti komersial. Pasar properti komersial di Indonesia tercatat mengalami perlambatan signifikan, yaitu dari 3,12% (yoy) pada kuartal III menjadi hanya 0,04% (yoy) pada kuartal IV 2019.
Kondisi ini juga diperparah dengan tertekannya kondisi ekonomi Indonesia selama akhir semester 2019. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2019 hanya sebesar 5,02% lebih rendah dari pencapaian di tahun 2018 yaitu sebesar 5,17%. Mempertimbangkan bahwa sektor properti memiliki linkage terhadap 10 sektor lainnya, maka perlambatan ekonomi secara nasional juga secara langsung akan berdampak terhadap perlambatan sektor properti.
Hantaman badai korona
Pasar global merespon dengan sangat reaktif terhadap merebaknya virus Korona (Covid-19). Bursa saham di sejumlah negara Asia kompak turun sebesar 2%-5% di akhir Februari 2020. Begitu juga posisi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) yang tertekan menyentuh level Rp 16.600 per tanggal 23 Maret 2020. Pelemahan rupiah ini menjadi ketiga yang terbesar di antara mata uang Asia lainnya. Bahkan, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah beberapa kali menerapkan trading halt karena anjloknya pasar saham lebih dari 5%. Lantas apakah katalis ini juga akan berdampak pada sektor properti?.
Banyak prediksi bahwa sebagian besar perekonomian global akan mengalami resesi yang cukup besar, bahkan diprediksi lebih parah dari krisis ekonomi 2008. Kunci dari masalah ini adalah ketidakpastian. Pada kondisi saat ini, sulit untuk bisa menakar dampak jangka panjang dari Covid-19. Oleh sebab itu, penting untuk berfokus pada dampak jangka pendek yang mungkin terjadi akibat penyebaran Covid-19 terhadap pasar properti.
Terkait dengan sektor perkantoran, Gubernur Jakarta telah mengeluarkan surat imbauan agar perusahaan yang berada di DKI Jakarta dapat menghentikan kegiatan operasional sementara. Hal ini ditujukan agar kebijakan social distancing dapat berjalan dengan efektif. Dengan keadaan seperti ini, banyak perusahaan yang kesulitan menjalankan bisnisnya sehingga meningkatkan risiko kesulitan membayar sewa. Di sisi lain, kenaikan harga sewa menjadi semakin tertekan akibat menurunnya tingkat permintaan baru di sektor perkantoran.
Adapun risiko paling tinggi akibat kondisi ini adalah para pemilik office space yang kebanyakan menjalankan sewa jangka pendek kepada para tenant. Terkait kondisi seperti ini, menjadi relevan untuk mengulas beberapa kondisi masa lalu yang diakibatkan wabah SARS hampir dua dekade sebelumnya. Ketika itu pasar perkantoran di Hong Kong menurun secara drastis sebesar -17% (yoy) yang diikuti dengan negara lain yang terinfeksi SARS.
Terjangan badai Covid-19 juga menghantam sub-sektor properti komersial seperti hotel yang terganggu penyelenggaraan MICE telah resmi dilarang hingga waktu yang belum ditentukan. Diprediksi sektor perhotelan dan pariwisata akan terpukul sangat keras mengingat pembatasan pariwisata asing ke Indonesia. Penurunan tingkat okupansi hotel dapat menyentuh level 20%-40% dalam beberapa bulan ke depan. Mempertimbangkan bahwa sektor perhotelan dan pariwisata merupakan sektor yang memiliki beban karyawan yang besar, maka dampak multipliers-nya akan besar pula.
Di sektor ritel, kebijakan social distancing memaksa sebagian besar pusat ritel dan shopping center di Jabodetabek membatasi jam kerja operasionalnya. Bahkan, beberapa peritel dan shopping centre memilih untuk menutup secara penuh aktivitasnya. Kondisi ini secara langsung akan berpengaruh terhadap pendapatan tenant sehingga akan mempersulit kemampuan cash-flow perusahaan untuk membayar sewa. Secara jangka pendek, konsumsi domestik khususnya untuk barang-barang sekunder juga akan menurun karena masyarakat meminimalisir kegiatan belanja di luar. Di sisi lain, dalam kondisi ini pedagang online dan supermarket yang menyediakan jasa pengiriman jarak jauh akan mendulang benefit karena tingkat permintaan dengan online shopping akan melonjak.
Terhadap sektor properti residensial, volatilitas terkait dengan penurunan harga sepertinya tidak akan sebesar sektor lainnya. Namun yang menjadi kekhawatiran adalah menurunnya paritas daya beli (purchasing power parity) terhadap kewajiban pembayaran KPR pada kondisi ekonomi seperti ini. Menteri Keuangan Indonesia bahkan menyebutkan skenario terburuk dari pandemi Covid-19, adalah tertekannya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya tumbuh sebesar 2,5%-0%.
Jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga KPR sebesar 10%-13%, gap antara pertumbuhan ekonomi dan suku bunga KPR terlalu tinggi sehingga meningkatkan risiko gagal bayar secara signifikan. Oleh sebab itu, penting untuk sesegera mungkin menurunkan tingkat suku bunga KPR di perbankan dan memberikan stimulus untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Selain itu, yang perlu di antisipasi adalah sektor konstruksi yang menjadi penopang utama sektor properti. Beberapa progres proyek, khususnya yang menggunakan material atau bahan baku yang berasal dari negara-negara terdampak Covid-19 memiliki potensi terpengaruh progres pembangunannya. Dengan sentimen negatif yang terus menerus terkapitalisasi atas dampak Covid-19, membuat investor dan end buyer cenderung menahan investasi di sektor properti dan lebih memilih untuk mendepositokan dananya sebagai upaya preventif di tengah ketidakpastian ekonomi.
Jelas bahwa kita tidak ingin mendengar peringatan seperti kata pilot "brace for impact", namun penting untuk mengantisipasi semua kemungkinan karena kondisi awan semakin gelap.
Penulis : Harizul Akbar Nazwar
Penilai & Analis Properti Bersertifikat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News