| Editor: Markus Sumartomjon
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tindak perundungan kini tidak hanya terjadi di dunia offline, tetapi juga mulai banyak merambah ke dunia online. Sejumlah studi melaporkan, akibat perkembangan teknologi informasi dan akses anak-anak pada media sosial, telah memungkinkan peluang anak-anak menjadi korban cyber bullying menjadi lebih terbuka.
Cyber bullying adalah segala jenis perundungan dan penindasan yang terjadi di dunia maya. Bentuk tindakan perundungan yang populer di kalangan anak-anak di era milenial ini antara lain adalah: mengiring e-mail atau pesan tertulis, gambar, dan video yang bermaksud menghina korban, menyebarkan gosip dan rumor buruk di dunia maya untuk menjatuhkan nama baik korban, dan lain-lain (Antoniadou & Kokkinos, 2013).
Di tengah meluasnya ancaman Covid-19, yang memaksa anak-anak terlibat dalam penggunaan teknologi dan internet yang makin masif, kemungkinan dan intensitas terjadinya cyber bullying makin meningkat. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi ketika anak-anak tidak lagi pergi ke sekolah dan tatap muka secara fisik dengan teman-temannya.
Dunia maya, sekarang telah menjadi ruang yang memungkinkan terjadinya perjumpaan sosial antar-anak. Di sana bukan hanya terjadi interaksi yang menyenangkan, bersenda gurau di komunitas online, tapi tak jarang juga terjadi konflik dan aksi perundungan kepada anak satu ke anak yang lain.
Meski jumlahnya tidak terlalu banyak, harus diakui bahwa cyber bullying adalah salah satu bentuk varian baru intimidasi dan viktimisasi yang kerap terjadi di kalangan anak-anak. Anak-anak yang dinilai aneh atau termasuk kelompok the other, maka mereka rawan diperlakukan salah oleh sesama anak yang lain.
Perundungan yang terjadi di dunia maya, tidak berbeda dengan bentuk-bentuk tindak pelecehan sosial lain. Seperti pelecehan umum, penggunaan bahasa yang ofensif dan kasar, serta pelecehan yang menggunakan gambar yang menghina atau melecehkan.
Sejumlah peneliti menyebut cyber bulliying sesungguhnya adalah bentuk penindasan dan merupakan agresi modern, yang kerap terjadi di antaranya siswa sekolah. Cyber bulliying melibatkan penggunaan informasi yang cepat dan mudah diakses oleh teknologi, seperti ponsel, tablet, dan komputer atau laptop, serta platform online populer termasuk Facebook, Line, Instagram, YouTube, dan Twitter, juga e-mail sebagai alat intimidasi di dunia maya.
Saling memaki, mempermalukan teman, dan berkata-kata kasar adalah hal yang lazim terjadi di dunia maya.
Mishna, et Al. (2012) menyatakan, dalam aksi perundungan, dikenal tiga kategori keterlibatan dalam penindasan di dunia maya, yaitu: korban, penindas, dan penindas yang sekaligus juga korban. Studi Mishna et al yang mewawancarai 2.186 siswa menemukan lebih dari 30% dari siswa yang diteliti diidentifikasi pernah terlibat dalam cyber bullying, sebagai korban atau pelaku. Dan, satu dari empat siswa (25,7%) dilaporkan pernah terlibat dalam cyber bullying karena pernah di-bully atau menjadi korban perundungan tiga bulan sebelumnya.
Siswa yang rawan menjadi korban cyber bullying umumnya adalah siswa yang menggunakan komputer lebih dari satu jam sehari, dan siswa yang memberikan kata sandi mereka kepada temannya.
Studi yang dilakukan Mishna et al (2012) juga menemukan, di dunia maya anak perempuan cenderung lebih mungkin menjadi korban bullying dibanding anak laki-laki. Ini berbeda dengan penelitian tentang intimidasi tradisional, di mana lebih banyak laki-laki daripada perempuan yang berisiko sebagai korban bullying.
Di dunia maya, justru anak perempuan lebih rawan menjadi korban bullying karena akses mereka pada informasi dan internet yang makin pervasive.
Alasan anak melakukan bullying kepada temannya sebetulnya bermacam-macam.
Pertama, cyber bullying lebih berpeluang dilakukan. Sebab, cyber bullying mengambil keuntungan dari karakteristik teknologi informasi dan komunikasi yang tidak harus tatap muka dan diketahui identitasnya, semisal: situasi anonimitas, peserta yang tak terbatas, pengawasan orang dewasa yang terbatas.
Secara teoritis, elemen kunci untuk memahami terjadinya cyber bullying adalah berbagai hal yang bisa tersembunyi di ruang online.
Tanpa harus berhadapan secara fisik, seorang anak dengan mudah memanfaatkan media sosial untuk melakukan aksi perundungan, mempermalukan anak lain yang tidak mereka sukai. Meski awalnya sekadar bercanda, tidak mustahil guyonan yang berkembang kemudian bergeser memicu terjadinya konflik dan aksi perundungan yang makin intens.
Kedua, di luar soal anonimitas, faktor lain yang menjadi alasan seseorang melakukan cyber bullying adalah sebagai sarana melakukan aksi balas dendam.
Kemudian, reaksi terhadap kecemburuan, prasangka, dan intoleransi yang berlebihan terhadap orang-orang tertentu yang dinilai merupakan bagian dari the other, seperti kelompok disabilitas, orang yang berbeda agama, berbeda jenis kelamin, campuran dari rasa malu, kesombongan, rasa bersalah, dan kemarahan.
Ketiga, berbagai studi menemukan frustrasi, kekerasan kelompok, media kekerasan, dan pengasuhan yang otoriter adalah faktor yang memengaruhi terjadinya perilaku cyber bullying di kalangan para siswa.
Siswa yang menjadi korban bullying, dan kemudian mengalami depresi, bukan tidak mungkin mereka kemudian mencoba untuk bunuh diri (Winsper, Lereya, Zanarini, & Wolke, 2012).
Kontra produktif
Mencegah dan mengurangi risiko terjadinya cyber bullying harus diakui bukan hal yang mudah. Ketika anak-anak makin terbiasa dan memiliki waktu yang lebih lama berselancar di dunia maya, mau tidak mau peluang terjadi cyber bullying memang lebih terbuka.
Melarang anak bermain gadget dan melibatkan peran orangtua untuk mengawasi penggunaan gadget di kalangan anak-anak memang bisa menjadi jalan pintas untuk mengurangi risiko akan menjadi korban cyber bullying.
Tetapi, untuk memastikan agar anak tidak menjadi korban bentuk aksi perundungan yang lain, tentu yang dibutuhkan bukan sekadar dari aspek pengawasan teknologi informasi.
Kunci mencegah aksi perundungan, termasuk cyber bullying, adalah pada kesadaran dan ada tidaknya forum sosial yang memungkinkan anak-anak terlatih bijak menyelesaikan persoalannya secara elegan.
Konflik di antara anak, termasuk mem-bully adalah hal yang tidak terhindarkan. Persoalannya, bagaimana melatih anak untuk menyalurkan kerisauan dan sakit hatinya pada koridor yang bisa ditoleransi, dan tidak membiasakannya lewat tindakan bullying yang kontra-produktif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News