Reporter: Hendrika Yunapritta | Editor: Tri Adi
Suasana nyaris tidak pernah sepi di Umbul Ponggok, Klaten, Jawa Tengah. Saat matahari baru menampakkan sinar, deretan kendaraan sudah terparkir rapi di pintu masuk umbul. “Dulu enggak seperti ini. Sepi sekali, karena sedikit orang yang tahu ada umbul ini. Gara-gara Internet, sekarang jadi ramai sekali,” tutur Mbah Jito, penduduk setempat yang buka warung di tepi umbul, dengan ramah.
Benar. Kolam ini sejatinya merupakan mata air Desa Ponggok. Sebelum menjadi tujuan wisata, umbul ini dikelilingi pepohonan. Jarang sekali orang dari luar desa yang mampir ke situ. Mengutip Mbah Jito, paling-paling yang datang hanya mereka yang mau foto pre wedding atau membuat film.
Sekarang, ceritanya beda. Dari mulanya semata sumber air, Umbul Ponggok jadi sumber kehidupan masyarakat setempat. Dalam setahun, tujuan wisata yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tirta Mandiri ini, menangguk omzet Rp 14 miliar. Uang itu didapat dari penjualan tiket masuk, penyewaan alat, serta tujuan wisata lain dekat Umbul. Selain menikmati aliran uang langsung dari wisatawan, seperti Mbah Jito, banyak warga desa menanam modal di BUMDes. Mereka memperoleh bagi hasil investasi 7%–15% per bulan.
Kisah sukses seperti BUMDes Tirta Mandiri dan Umbul Ponggok, sudah pasti bukan satu-satunya. Sedikit ke arah selatan, ada Desa Nglanggeran di Gunung Kidul yang sejak lama menggarap wisata gunung purba di daerah mereka. Awalnya pun, wisata itu dirintis dan dikembangkan oleh pemuda setempat, hingga belakangan menjadi tujuan para turis yang melanglang ke Selatan Jogja.
Peluang gairah jalan-jalan turis lokal maupun asing, dengan cepat ditangkap. Kalau kita amati, tak terhitung lagi berapa desa wisata serta destinasi baru yang Instagramable di Pulau Jawa. Selama 2017–2018, Google mencatat sepuluh tujuan wisata yang paling sering ditelusuri di mesin pencari adalah Jakarta, Bandung, Jogja, Malang, Semarang, Bogor, Badung Bali, Lembang, dan Medan. Nah, bisa dipastikan di daerah-daerah tersebut, ada banyak tujuan wisata, tidak lagi sebatas kebun binatang, kolam renang, atau taman bermain. Bahkan, sekedar spot foto dengan pemandangan, bakal menuai panen turis jika tampak spektakuler di Internet.
Nafsu wisata tidak boleh diremehkan. Sejak lama, Indonesia menyadari potensi ini, namun karena banyak hal, selalu kalah pamor dengan tetangga. Belakangan, selain kedatangan turis asing kian bertambah, jumlah wisatawan domestik meningkat. Tahun 2009, Kementerian Pariwisata mencatat ada 229 juta turis domestik, dan tahun lalu angkanya 277 juta. Target belanja turis lokal tahun ini, Rp 270 triliun, belum lagi devisa dari pelancong asing.
Gurih pasar wisata menarik banyak pebisnis. Paling gampang dari bisnis hotel, terbaru adalah kedatangan agregator hotel dari India, Oyo Hotels dengan investasi US$ 100 juta. Pelopor agregator hotel ini, nantinya harus bersaing dengan Airy Rooms, Nida, dan Red Dot yang lebih dulu eksis di Indonesia.
Nah, pelaku bisnis seperti Oyo Hotels dan para kompetitornya itu, sejatinya membantu menyediakan akomodasi standard yang layak, terutama untuk kota-kota kecil yang tak didatangi jaringan hotel besar. Dengan begitu, keinginan kita untuk menonjolkan pilihan wisata baru, selain Bali, bisa terwujud.
Tapi, akomodasi hanyalah satu aspek dari penerimaan turis. Banyak faktor pendukung mesti dibenahi dan butuh campur tangan yang berwenang. Misalnya pungutan liar yang masih marak di beberapa daerah tujuan wisata, termasuk kebiasaan pengelola tak memberikan tiket yang sudah dibayar. Bahkan, hal nampak sepele tapi kerap gagal dipenuhi : toilet umum yang bersih di destinasi wisata.•
Hendrika Yunapritta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News