Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Organisasi Pangan dan Pertanian atau Food and Agriculture Organization (FAO) memperingatkan akan terjadi kelangkaan dan darurat pangan di tengah pandemi virus Korona (Covid-19). Pembatasan sosial dan skema penguncian (lockdown) yang diterapkan di banyak negara akan memengaruhi produksi pertanian global. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mampu secara cepat mengantisipasi sinyal FAO ini untuk menjaga ketersediaan bahan pangan dan menyelamatkan petani lokal.
Meski pemerintah sudah memastikan stok sejumlah bahan pangan seperti beras, gula, daging, minyak goreng dan bawang putih mencukupi kebutuhan, faktor distribusi dan daya beli warga sangat memengaruhi aksesibilitasnya. Ketidaklancaran transportasi akibat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 sudah mulai menunjukkan dampaknya. Kenaikan harga bahan pangan di sejumlah daerah masih tergolong relatif kecil, namun pemerintah harus mewaspadai permainan para mafia pangan yang kerap menumpuk bahan kebutuhan dasar ini guna menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen dan produsen pangan.
Di tengah pandemi Covid-19 ini, disrupsi yang dihadapi petani akan kian kencang dan rantai pasok pangan akan mengalami gangguan yang serius yang pada gilirannya meningkatkan kepanikan sosial dan darurat pangan di tengah warga. Pemerintah patut menyusun langkah-langkah konkrit untuk mencegah darurat pangan dan percepatan memutus mata rantai penyebaran virus korona Covid-19.
Sebab, jika penyebaran semakin meluas tidak saja korban Covid-19 bertambah, tetapi juga proses produksi pangan nasional dapat terganggu yang berimplikasi turunnya stok pangan dalam negeri. Mengingat sebagian besar negara maju masih mengalami paparan virus ini, diduga mereka akan menerapkan pengetatan pemeriksaan barang di pintu masuk dan keluar. Kondisi ini sangat berpotensi menyebabkan penurunan masuknya bahan pangan impor ke Indonesia.
Di sisi lain, wabah virus Covid-19 yang sudah berdampak terhadap pengurangan jam kerja di kantor, termasuk di sekolah dan universitas telah memengaruhi kinerja pekerja di sektor pengolahan pangan dan pertanian. Pengunjung yang menurun di kantin, restoran, mal dan penerapan PSBB telah berpengaruh signifikan terhadap penurunan penjualan bahan pangan.
Fenomena disrupsi pasar ini bermuara pada sebagian produsen pangan menghadapi ironi. Di satu sisi, gangguan produksi pangan tidak terhindarkan. Sekadar menyebut contoh, para peternak ayam rakyat telah memangkas produksi sekedar untuk penyesuaian pada penurunan permintaan.
Harga ayam di tingkat peternak yang anjlok telah mendorong produsen ayam pedaging memotong sekitar 50% produksinya seiring permintaan yang melandai. Kerugian yang dialami oleh peternak ayam rakyat menjadi sebuah keniscayaan.
Di sisi lain sebagian masyarakat berbondong-bondong mencari produk pangan di saat stay at home seperti sekarang. Situasi ini menggambarkan ada masalah di soal kelancaran distribusi. Konsumen kurang memperoleh pasokan pangan di pusat-pusat perdagangan pangan yang saat ini kerap defisit pengunjung.
Mekanisme pasokan pangan patut mendapat perhatian dari pemerintah kabupaten/kota untuk menjamin harga yang terjangkau di tingkat konsumen dan memberi kesejahteraan kepada produsen pangan. Kelancaran pasokan logistik sektor pangan menjadi anak kunci keberhasilan untuk terhindar dari krisis kebutuhan dasar ini. Jika terganggu, produk pertanian tidak terserap sementara harga di tingkat konsumen naik secara tidak wajar.
Langkah solusi
Jika seandainya seluruh provinsi di Pulau Jawa yang merupakan sentra produsen pangan menerapkan PSBB, mekanisme distribusi pangan ke provinsi lain patut menjadi perhatian. Setiap provinsi, termasuk sentra produsen pangan akan memprioritaskan kebutuhan daerah masing-masing. Situasi ini menimbulkan tantangan bagi provinsi lainnya yang bukan produsen pangan. Langkah solusinya paling tidak dua hal berikut menjadi pertimbangan untuk dilakukan.
Pertama, menata ulang peta distribusi pangan. Dalam waktu dekat ini pemerintah harus memperbarui peta distribusi dan kerentanan ketahanan pangan guna memastikan skema bantuan pangan yang diberikan. Saat ini sangat dibutuhkan peta distribusi pangan yang rinci, meliputi sentra produksi, indikator tingkat kerentanan ketahanan pangan, dan kelancaran pasokan terkait infrastruktur jalan dan transportasi. Pada saat PSBB dilakukan, persoalan yang muncul terkait distribusi pangan bisa diantisipasi dengan baik. Dengan demikian peta distribusi sangat membantu untuk memastikan tersedianya pasokan pangan dengan harga yang wajar, khususnya pada masa PSBB.
Pemerintah perlu gerak cepat membuat strategi yang lebih matang terkait dinamika kantong-kantong produksi pangan di setiap kabupaten/kota dan memetakan tingkat kerentanan ketahanan pangan, khususnya distribusi dan logistik. Hal ini sangat membantu jika di Indonesia Timur, seperti Papua yang tingkat kerentanan ketahanan pangan tergolong tinggi menerapkan PSBB.
Satu hal lain yang tidak kalah sangat penting di masa pembatasan sosial ini adalah pemberian jaring pengaman sosial harus segera dilakukan. Hal ini guna mencegah ada kelompok masyarakat yang sampai merasa frustrasi.
Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan karena tidak punya uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Anggaran yang tersedia sekitar Rp 110 triliun yang sudah dialokasikan untuk jaring pengaman sosial segera didistribusikan kepada kelompok sasaran untuk meredam kepanikan karena pembatasan keluar rumah.
Kedua, manajemen cadangan pangan darurat. Sampai saat ini Indonesia belum mempunyai skema cadangan pangan darurat (CPD). Di tengah darurat Covid-19 saat ini, sesungguhnya bahan makanan harus tersedia dengan jumlah dan mutu yang baik serta harga terjangkau. Namanya darurat, makanannya harus memiliki gizi khusus untuk mengembalikan pemulihan korban.
Bantuan berupa mi instan, beras, telur, dan minyak goreng adalah makanan yang dikonsumsi di saat situasi normal. Namun, bagaimana membuat pangan darurat dan ketersedian bahan bakunya belum ada lembaga khusus yang mengelolanya. Dengan berbagai kondisi kritis dengan karakter bahan pangan yang mudah rusak, masa kedaluwarsa dan jaminan mutu harus dipastikan bahwa makanan darurat masih bisa dikonsumsi secara aman.
Ke depan, lembaga yang menangani bantuan pangan darurat sudah harus ada di negeri ini. Tidak perlu membuat lembaga baru yang rumit, tetapi cukup dengan memanfaatkan lembaga yang sudah ada saat ini dan pengelolaannya berkelanjutan supaya tidak terkesan seperti pemadam kebakaran.
Penulis : Posman Sibuea
Guru Besar Ilmu Pangan Unika Santo Thomas Medan, Sumatra Utara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News