Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Pandemi virus korona (Covid-19) merupakan disrupsi terbesar yang mungkin dialami oleh dunia hingga saat ini. International Labour Organization (ILO) atau organisasi pekerja internasional bahkan memprediksi ada sekitar hampir 25 juta lapangan kerja yang hilang akibat pandemi ini. Benar, bahwa tidak ada satu negara pun yang siap menghadapi pandemi ini, termasuk Indonesia. Kondisi ini memberikan ruang bagi pergeseran peran tiap-tiap eksistensi yang selama ini telah kokoh berdiri.
Di tengah kepanikan, ketidakpastian, dan ketidakmenentuan dalam hari-hari yang akan menjelang, pertanyaan yang kerap timbul selalu mengenai peran pemerintah dan masyarakat dalam menyikapi kelimbungan ini. Salah satu perdebatan adalah perlukan penerapan darurat sipil?
Dalam kondisi seperti sekarang, opsi darurat sipil ini perlu dipertimbangkan untuk diambil, bahkan dalam tahapan tertentu memang harus diambil. Hal ini diperlukan untuk mencegah kebingungan dan kontroversi di tengah situasi yang tidak menentu seperti sekarang. Implikasinya, hanya akan ada satu sosok yang masyarakat akan melabuhkan harapan ataupun harus melampiaskan kekesalan, yakni presiden selaku panglima tertinggi. Siapkah presiden?
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 23 Tahun 1959, pemerintah dapat menerapkan keadaan bahaya jika, salah satunya, hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara, yakni pandemi korona ini dapat ditafsirkan ke dalam hal tersebut.
Dari sisi sosial politik, penerapan darurat sipil ini akan memberikan keleluasaan bagi pemerintah dalam mengatasi aktivitas-aktivitas fisik yang berpotensi memperluas penyebaran korona. Apalagi, masih banyak masyarakat yang lebih memperdulikan sanksi sosial jika tidak datang ke acara pernikahan, kedukaan, dan kegiatan-kegiatan keagamaan. Bahkan, masih banyak masyarakat yang coba mempertentangkan antara ketaatan dan iman kepada yang kuasa dengan imbauan pemerintah untuk membatasi kegiatan. Bagi orang-orang seperti ini, lebih baik tinggal di rumah "Bapa di Surga", daripada tinggal diam di rumah sendiri. Padahal, dampak virus ini tidak hanya mempengaruhi hidup masing-masing individu, tapi kelangsungan bangsa ini.
Di sisi lain, penerapan darurat sipil akan memberikan landasan bagi pemerintah untuk mengatasi pemberitaan-pemberitaan di berbagai media, baik media sosial maupun konvensional yang selama ini dikeluhkan memperparah misinformasi dan kepanikan sehingga dapat ditekan.
Di sisi perekonomian, keberadaan darurat sipil akan memicu keberlakukan klausa keadaan kahar (force majeure) yang ada di tiap-tiap perjanjian kontraktual sehingga dunia usaha dapat mengambil langkah yang lebih fleksibel dalam menentukan sikap dalam menghadapi wanprestasi.
Hal ini perlu diperhatikan mengingat dengan adanya virus korona ini ritme kerja akan terganggu dan aktivitas produksi maupun distribusi pastinya terdampak pula. Dalam tahap ini, dunia usaha tidak berjalan dalam keadaan business as usual.
Dengan penerapan darurat sipil, keadaan wanprestasi dapat dimaklumi, sehingga kebijakan-kebijakan parsial yang selama ini hanya ditujukan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dapat lebih meluas dampaknya. Perlu diingat, virus korona tidak hanya berdampak pada UMKM tapi pada industri skala besar dengan berbagai varian dampaknya.
Darurat sipil adalah langkah paling efisien dalam menyikapi kondisi seperti sekarang, daripada membuat berbagai peraturan yang sporadis dan tersegmentasi. Kita tidak pernah tahu, dengan peraturan yang terpenggal-penggal dalam menghadapi virus korona ini, bidang apa yang akan terlewat dan menjadi korban.
Kita perlu jujur dengan keadaan. Jika memang keadaan saat ini adalah darurat dan seluruh dunia mengakuinya, kenapa kita harus terus menerus menutupinya? Paling tidak, keadaan darurat sipil akan memberikan kesempatan kepada pemerintah dan dunia swasta untuk menempuh jalannya masing-masing dalam menyikapi pergolakan ini.
Membutuhkan solusi ekstrem
Jika kita sepakat bahwa virus korona adalah keadaan yang mendesak untuk segera diselesaikan, maka tidak ada salahnya untuk memberlakukan darurat sipil saat ini. Sebagaimana pepatah Latin, Extremis Malis Extrema Remedia, kondisi yang ekstrem membutuhkan solusi yang ekstrem pula. Dalam keadaan yang buruk seperti sekarang, tindakan yang mungkin ditolak dalam keadaan lain adalah pilihan terbaik.
Di tengah situasi seperti sekarang, semua mata tertuju pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jajarannya. Harapan yang ditaruh pada pundak pemerintah menjadi lebih berat dari masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu, hanya adil apabila di tengah tuntutan yang sangat berat ini kepada pemerintah juga diberikan kewenangan yang untuk sementara lebih besar.
Penerapan darurat sipil ini akan memberikan tidak hanya kewenangan yang diperlukan kepada pemerintah untuk mengatasi pandemi virus korona ini, namun juga afirmasi tentang keadaan yang sedang terjadi sehingga semua orang dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan usaha dan hidupnya masing-masing.
Status darurat sipil bukan sekedar memberikan kewenangan kepada pemerintah, namun membangun kesadaran bagi setiap warga bangsa untuk memberikan kontribusinya masing-masing. Hal ini lebih signifikan membangun kewaspadaan daripada dengan tindakan-tindakan akrobatik dengan dalih efek kejut.
Pemberlakuan darurat sipil memang mengundang banyak prasangka, terlebih dengan pengalaman 75 tahun Indonesia merdeka, ketika para pemangku kekuasaan kerap membuahkan kekecewaan ketika dipercaya oleh rakyat.
Namun apakah kita akan kerap bersandar pada masa lalu untuk menatap masa depan?
Penulis : Michael Hadylaya
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi Jakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News