kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45915,35   16,58   1.84%
  • EMAS1.325.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Data Kemiskinan dan Kemiskinan Data


Selasa, 14 Juli 2020 / 11:04 WIB
Data Kemiskinan dan Kemiskinan Data


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Video Presiden Jokowi marah dalam rapat kabinet paripurna viral. Video yang pertama kali tayang di kanal Youtube Sekretariat Presiden (28/6/2020) telah menuai perdebatan publik. Berbagai isu pun merebak, akan ada pergantian kursi menteri atau reshuffle kabinet, salah satunya menyasar kursi Menteri Sosial. Ia ditengarai tidak becus mengawal program bantuan sosial (bansos) pemerintah, salah satu program penting dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19.

Bansos merupakan instrumen vital dalam penanggulangan krisis. Ia bagian dari social safety net, yang disiapkan negara untuk membantu masyarakat yang terdampak. Di mana pagebluk ini, tidak hanya menyebabkan krisis kesehatan, tapi dalam skala luas, memicu terjadi krisis sosial dan ekonomi.

Sebagian besar aktivitas ekonomi dipaksa lockdown, karena pemerintah membatasi aktivitas fisik atau physical distancing untuk meredam penularan virus SARS-CoV-2. Akibatnya, terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penurunan pendapatan masyarakat serta kemiskinan.

Bank Dunia memprediksi akan terjadi penambahan 71 juta -100 juta orang miskin pada 2020, angka kemiskinan ekstrem (extreme poverty rate) naik dari 8,23% pada 2019, menjadi 8,82% pada 2020. Ini peningkatan kemiskinan global terburuk, setelah global financial crisis pada 1998.

Di Indonesia, lembaga think thank, SMERU Research Institute dalam publikasi terbarunya berjudul "The Impact of Covid-19 Outbreak on Poverty: An Estimation for Indonesia" memprediksi akan ada penambahan 8,5 juta penduduk miskin akibat dari pandemi ini. Ini proyeksi terburuk, jika wabah tidak bisa dikendalikan dalam jangka pendek.

Menghadapi persoalan ini, satu-satunya jalan agar masyarakat bisa bertahan hidup adalah menyalurkan bansos, terutama bagi masyarakat yang terkena dampak terparah dari krisis ini. Pemerintah telah mengalokasikan program bansos untuk penanganan dampak Covid-19 dalam APBN 2020, totalnya sebesar Rp 78,9 triliun.

Masalahnya, sudah lebih tiga bulan setelah pemerintah menetapkan status bencana nasional non alam dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yang selanjutnya diikuti oleh perubahan kebijakan anggaran, realisasi penyaluran bansos masih minim. Sengkarut persoalan pun terjadi di lapangan. Salah satunya, terjadi kesemrawutan data penerima bantuan, yang target utamanya rumah tangga miskin.

Membenahi sengkarut data

Ini persoalan klasik yang berulang terjadi dalam penanganan kemiskinan di Tanah Air. Data kemiskinan tak pernah valid. Padahal, sudah banyak kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang terlibat dalam akuisisi data kemiskinan, tapi tetap saja tak kunjung berhasil membangun sistem database kemiskinan.

Badan Pusat Statistik (BPS) sebenarnya setiap tahun merilis angka kemiskinan. Tapi, data tersebut hanya data makro dalam bentuk agregat, paling rendah levelnya adalah kabupaten/kota. Basisnya adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pengukurannya menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic need), dengan menggunakan modul konsumsi.

Selain itu, BPS juga melakukan pendataan penduduk miskin untuk penargetan Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada 2005 (Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk), yang dimutakhirkan pada 2008 melalui Pendataan Program Perlindungan Sosial. Terakhir data ini dimutakhirkan pada 2015 dan menjadi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang dikelola oleh Kementerian Sosial. Berbeda dengan Susenas, pendataan ini dilakukan secara mikro pada level rumah tangga. Selain BPS, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga melakukan pendataan penduduk miskin dengan pendekatan dan indikator berbeda dengan BPS.

Pada pemerintah SBY-Boediono dibentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), salah satu tujuannya adalah melakukan pemutakhiran data kemiskinan. Sampai saat ini, TNP2K masih ada dan berada di bawah koordinasi Wakil Presiden. Beberapa pemerintah daerah juga melakukan pendataan penduduk miskin, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

Meski demikian, kita masih mengalami kemiskinan data mengenai informasi penduduk miskin. Faktanya, bisa kita lihat dari penyaluran bansos, yang banyak tidak tepat sasaran pada masa pandemi ini. Bahkan, saking semrawutnya database kemiskinan, ada pejabat eselon I di sebuah kementerian, masuk dalam data penerima bansos. Jadi, sangat wajar Presiden naik pitam menghadapi persoalan ini.

Kemiskinan data sudah menjadi penyakit akut dalam kebijakan pembangunan di Indonesia. Banyak kebijakan publik yang dirancang tidak berbasis data yang akurat. Tak salah, tingkat akurasi ketepatan program pun sering salah sasaran. Padahal, dalam krisis pandemi Covid-19, keberadaan data merupakan kunci keberhasilan dalam penanganannya. Bahkan, belajar dari Wuhan, kunci mereka keluar dari wabah adalah menggunakan big data.

Oleh karena itu, mengatasi persoalan kemiskinan data ini, Presiden Jokowi harus segera mengambil inisiatif perbaikan. Cara-cara lama terbukti tak efektif mengatasi masalah. Harus ada terobosan baru yang lebih optimal. Apalagi, kemajuan teknologi dan informasi yang canggih, sistem big data bisa digunakan dalam membangun database kemiskinan yang valid di Indonesia.

Pemerintah bisa menggerakkan desa dan kelurahan dalam membangun database. Semua wilayah di Nusantara sudah memiliki pemerintahan desa dan perangkat aparatur di kelurahan. Dari sana, sistem big data kemiskinan dapat dikembangkan dengan berbasis aplikasi. Mereka bisa secara real time memperbarui data penduduk miskin di tingkat desa/kelurahan.

Kita meyakini, mendekatkan pendataan pada level pemerintahan terendah bisa menjadi solusi mengatasi kesemrawutan data kemiskinan. Program pendataan ini dapat dimasukan dalam formulasi dana desa dan kelurahan, agar sumber pembiayaannya jelas dan terukur serta diukur sebagai kinerja pemerintah desa atau perangkat aparatur kelurahan.

Ia menjadi insentif bagi desa dan kelurahan yang mampu memperbarui data kemiskinan dengan baik. Bila ini bisa dilakukan, persoalan bansos ini tidak akan terjadi. Sehingga, penanganan dampak krisis lebih optimal. Presiden tidak perlu lagi memarahi pembantunya.

Penulis : Wiko Saputro

Pengamat Kebijakan Publik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×