Reporter: Ardian Taufik Gesuri | Editor: Tri Adi
Berapa produksi dan berapa pula konsumsi beras? Apakah kita sudah swasembada? Bila benar surplus, ke mana barangnya?
Ya, sekian lama kita diombang-ambingkan oleh perbedaan sengit di antara lembaga yang berurusan dengan pangan. Kementerian Pertanian ngotot panenan padi surplus. Bulog bilang stok beras di gudangnya melimpah. Tapi, kenapa ketersediaannya di pasar masih minus dan harganya tak turun juga? Maka Kementerian Perdagangan bersikeras membuka keran impor beras.
Syukurlah polemik perbedaan data produksi makanan pokok penduduk Indonesia itu menemukan titik temu. Dalam rapat terbatas soal produksi beras yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla, Senin (22/10) lalu, tercapai satu angka pasti: produksi beras nasional pada tahun ini diproyeksikan 32,4 juta ton. Sementara konsumsi beras nasional 29,6 juta ton. Jadi, surplus 2,85 juta ton.
Ini jelas satu kemajuan berarti. Semua instansi harus mengacu ke data BPS yang diolah dengan metode Kerangka Sampel Area (KSA) itu. Apalagi BPS-lah lembaga statistik resmi yang punya otoritas dan kompeten menghitung produksi beras.
Angka produksi dan konsumsi ala BPS memang lebih rendah ketimbang data versi Kementerian Pertanian, yang katanya berasal dari BPS juga. Tapi setidaknya klaim Kementerian Pertanian pun ada benarnya: Indonesia swasembada beras. Maklum selama ini banyak kalangan meragukan kita surplus beras.
Cuma, dengan prognosis demikian, pemerintah merasa tidak aman bila hanya menggantungkan hasil panenan petani sendiri. Kelebihan 2,85 juta ton beras itu hanya seukuran konsumsi sebulanan. Sementara Bulog cuma mampu menyetok sekitar angka itu juga. Selebihnya, sekitar 90% beras nasional ada di gudang-gudang pengusaha swasta, pasar tradisional maupun modern, dan sebagian kecil tentu ada di lumbung petani. Artinya memang tidak bisa semata-mata menjaga ketersediaan beras setiap bulan dari hari ke hari pada stok Bulog dari hasil pembelian kepada petani.
Dan, dengan angka yang lebih pasti, kebutuhan untuk impor pun lebih terukur. Sebab keran impor yang dibuka lebar tanpa didasari data yang sahih bisa menguak peluang korupsi. Dus, impor hanya untuk menjaga kestabilan pasokan dan harga di pasar; meredam aksi spekulan alias mafia beras.
Tapi BPS pun harus tetap menegakkan profesionalisme dan kredibilitas, bebas dari campur tangan pihak lain. Sehingga akurasi dan validitas datanya terjaga.•
Ardian Taufik Gesuri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News