Reporter: Ragil Nugroho | Editor: Mesti Sinaga
KONTAN.CO.ID - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi 2018 berpotensi tumbuh di atas 5,15%. Angka ini lebih tinggi dari pertumbuhan 2017 sebesar 5,07%, tapi di bawah target yang pemerintah patok yakni 5,4%.
Pada 2019 yang identik dengan tahun politik, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%. Meski, banyak pihak yang meragukan angka tersebut bisa terwujud.
Kok? Apakah tantangan tahun ini lebih berat? Lalu, apa saja peluang yang bisa kita manfaatkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi? Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memaparkan analisisnya ke wartawan Tabloid KONTAN Ragil Nugroho, Kamis (4/1). Berikut nukilannya:
KONTAN: Bagaimana kondisi makroekonomi Indonesia sepanjang 2018 lalu?
DAVID: Secara umum, kalau berpegang pada ucapan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,15%, maka sudah ada perbaikan tahun-tahun sebelumnya.
Khususnya, tahun 2015 ketika ekonomi cuma tumbuh 4,9%. Namun tetap saja, tahun 2018 belum mampu menyentuh angka pertumbuhan potensial kita.
Kemudian, penerimaan negara sudah baik, meski kontribusi pajak belum signifikan. Dari sisi belanja pemerintah pusat, sudah ada pemerataan distribusi alias tidak terkonsentrasi pada akhir triwulan seperti sebelumnya. Tetapi untuk belanja daerah, belum ada perbaikan.
Salah satu poin yang ramai menjadi pemberitaan sepanjang 2018 adalah nilai tukar rupiah yang amblas terhadap dollar Amerika Serikat (AS), hingga mencapai 12%.
Sempat menembus level Rp 15.000 per dollar AS, padahal keseimbangan barunya hanya Rp 14.500.
KONTAN: Memang, berapa angka potensial pertumbuhan ekonomi kita tahun lalu?
DAVID: Bukan rahasia lagi, ekonomi kita bergantung pada sektor konsumsi. Kalau konsumsi tumbuh 5%, ini sudah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi 3,5%.
Ditambah dari investasi dan ekspor, maka potensi kita bisa 5,5% sampai 6%. Dulu, pas booming komoditas, kita bisa tumbuh di atas 6%, karena harganya lagi meroket. Sedangkan sekarang, harga komoditas sedang turun.
Termasuk di semester I-2019, harga komoditas masih lemah. Di satu sisi menguntungkan karena harga minyak juga di level rendah sehingga inflasi rendah.
Tapi untuk net ekspor terdampak, jadi rendah sejak kuartal III tahun lalu. Ini terus berlanjut hingga triwulan IV tahun ini. Net ekspor masih memberikan sumbangan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
KONTAN: Kalau begitu, kondisi perekonomian kita pada 2019 sama saja, dong?
KONTAN: Kalau begitu, kondisi perekonomian kita pada 2019 sama saja, dong?
DAVID: Iya, saya melihat tidak akan begitu banyak perubahan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Untuk pertumbuhan ekonomi, masih di kisaran 5%.
Lalu, inflasi masih terjaga di kisaran 3,5% sampai 4%. Sementara nilai tukar rupiah secara fundamental di kisaran Rp 14.900 hingga Rp 15.000.
Kondisi internal dan eksternal yang sama menjadi faktor utama. Dari eksternal, ada perang dagang antara AS dan China, meski akhir tahun lalu memasuki gencatan senjata.
Ini positif karena pasar jadi risk-on setelah sebelumnya risk-off. Artinya, investor mulai kembali mendekati aset-aset portofolio negara berkembang.
Di dalam negeri, konsumsi seperti biasa masih memberi sumbangan positif. Selama daya beli masih baik, maka belanja masyarakat juga akan stabil. Tapi saran saya, pemerintah harus mengupayakan agar tidak sering menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Alasannya, kenaikan harga BBM memiliki announcement effect. Yakni, kenaikan harga-harga barang lain sesaat setelah BBM diumumkan naik. Bahkan, kenaikan ini terjadi juga ke barang-barang yang sebenarnya komposisi BBM-nya kecil.
Ketika BBM turun, sayangnya tidak diikuti penurunan harga barang. Kalau terlalu sering menaikkan harga BBM, maka konsumsi dan daya beli masyarakat akan terganggu.
Untuk foreign direct investment (FDI) atau penanaman modal asing (PMA) juga masih belum maksimal, harus ada upaya lebih pemerintah.
KONTAN: Dengan kondisi yang sama, kebijakan fiskal dan moneter pemerintah di 2019 bakal seperti apa?
DAVID: Pemerintah tetap akan mempertahankan kebijakan yang prudent, baik untuk fiskal maupun moneter. Secara fiskal, APBN sudah dikelola dengan baik dan hati-hati.
Memang, penerimaan pajak masih harus digenjot. Tetapi untuk belanja, sudah lebih efektif. Sedangkan untuk moneter, nampaknya Bank Indonesia (BI) tidak akan terlalu sering menaikkan suku bunga acuannya seperti tahun lalu. Meski lagi-lagi, harus menimbang kondisi global.
KONTAN: Pemerintah harus melakukan apa untuk menjawab berbagai tantangan yang menyelimuti 2019?
DAVID: Pertama, pemerintah harus mencari alternatif komoditas ekspor. Maklum, harga-harga komoditas lagi loyo. Mulai minyak kelapa sawit, batubara, hingga karet.
Padahal di tahun 2010 hingga 2014, nilai komoditas tersebut cukup bagus dan menjadi salah satu yang diandalkan untuk pertumbuhan sektor ekonomi kita.
Kedua, terkait masalah sumber daya manusia (SDM) dan lapangan kerja. Saya melihat, dengan globalisasi dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka persaingan tenaga kerja semakin keras.
Apalagi, jika dikaitkan dengan FDI. Biasanya, pihak yang memberikan investasi menginginkan tenaga kerja ahli. J
ika FDI terjadi dan sumber daya manusia belum siap, maka Indonesia harus bersiap kedatangan tenaga kerja ahli dari luar negeri untuk menggantikan tenaga kerja lokal.
Selain itu, dengan peningkatan kualitas tenaga kerja, diharapkan kelak Indonesia tidak hanya mengekspor komoditas mentah seperti sawit dan karet.
Contoh, Pegatron, perusahaan perakit iPhone yang memindahkan salah satu lini produksi dari China ke Batam, dengan nilai investasi mencapai US$ 1 miliar bagi Indonesia.
Ketiga, harus bisa meningkatkan kualitas produk dalam negeri demi memanfaatkan perang dagang AS dengan China.
Maklum, mereka pasti mencari alternatif barang kebutuhan dengan harga lebih murah. Kita punya peluang, namun, ya, itu tadi, produk kita secara umum belum dipandang layak.
Terlebih, pasar internasional banyak membutuhkan produk-produk manufaktur. Sayang, kita belum mampu memenuhinya.
KONTAN: Tapi, apakah masih ada peluang untuk ekonomi negara kita tumbuh lebih baik dari tahun lalu?
KONTAN: Tapi, apakah masih ada peluang untuk ekonomi negara kita tumbuh lebih baik dari tahun lalu?
DAVID: Paling besar, saya justru melihat, perang dagang kedua negara superpower itu bisa menjadi peluang.
Ini bisa berlangsung hingga tahun 2024 mendatang, sehingga harus segera dimanfaatkan dengan memetakan negara dan industri apa saja yang akan melakukan relokasi investasinya.
Kita perlu identifikasi perubahan supply chain untuk memanfaatkannya. Karena kemungkinan, investor di China akan merelokasi investasinya, dan Indonesia bisa jadi sasaran baru setelah negara ASEAN lain.
Periode 1990-an, kita pernah kalah sama Vietnam dan Malaysia ketika Jepang mengubah pola investasinya.
KONTAN: Pemerintah mesti melakukan apa untuk menangkap peluang itu?
DAVID: Pemerintah perlu mengoreksi dan mengoptimalkan sejumlah regulasi serta kebijakan terkait investasi untuk menghadapi kondisi tersebut.
Upaya identifikasi terkait mana perusahaan China yang akan melakukan perubahan investasi. Salah satu caranya adalah, dengan melihat kondisi bank-bank di sana, lalu kita bisa hubungi serta membangun hubungan dengan mereka.
Sehingga, kalau ke sana, kita sudah tahu nanti paket investasinya apa saja yang akan ditawarkan. Tentu, setelah dilihat sektor industri apa dan dari negara mana yang kiranya akan melakukan relokasi industri tersebut. Jadi, lakukan pemetaan dulu.
Selain itu, saya juga melihat, kita masih belum maksimal dalam hal promosi produk asli Indonesia. Istilahnya, kita masih menggunakan defensive marketing, belum offensive marketing.
Artinya, kita belum agresif mendatangi konsumen, masih seputar menunggu. Konkretnya, peran Konsulat Jenderal (Konjen) kita di negara-negara asing harus dimaksimalkan. Mereka harus jadi agen terdepan untuk mempromosikan produk dan segala potensi kita.
KONTAN: Memang, sektor apa saja selain konsumsi yang akan menopang pertumbuhan ekonomi tahun ini?
DAVID: Sektor yang akan tumbuh dengan baik antara lain pertanian, transportasi, dan pariwisata. Khusus transportasi dan pariwisata, karena marak pembangunan infrastruktur belakangan.
Sedang salah satu sektor yang masih melempem nampaknya properti. Alasannya, selain masih ada kemungkinan kenaikan suku bunga plus daya beli yang belum akan terlalu melonjak drastis.
KONTAN: Salah satu yang menonjol beberapa tahun terakhir adalah defisit neraca transaksi berjalan. Bagaimana Anda melihat ini?
DAVID: Defisit juga jadi salah satu biang kerok nilai tukar rupiah terperosok. Tidak ada cara lain yang lebih efektif selain melakukan upaya struktural untuk meningkatkan ekspor.
Kita harus mulai mengalihkan ekspor dari komoditas ke produk manufaktur, selain andalkan pariwisata dan jasa.
Masalahnya, tidak mudah menggenjot manufaktur. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Kalau pemerintah belum melakukan perbaikan, prediksi saya, defisit di akhir 2019 sekitar 2,5% dari produk domestik bruto (PDB) atau masih ada ruang lebih baik dibandingkan dengan proyeksi akhir 2018 di angka 2,8%.
Kalau impor, memang harus dilihat dulu. Jika memang dibutuhkan, maka tetap dipertahankan. Cuma, kalau yang bisa diupayakan di dalam negeri, tentu sebaiknya jangan impor.
KONTAN: Kendala mengembangkan manufaktur?
DAVID: Pertama, kendala birokrasi di Indonesia. Birokrasi yang berbelit-belit juga dampak masih gemuknya struktur birokrat. Mulai jumlah kementerian yang banyak hingga struktur ke daerah juga sesak.
Banyak birokrat artinya banyak meja yang harus dilewati dalam perizinan khususnya di daerah.
Kalau siklus bisnis adalah enam bulan sementara mengurus izin di Indonesia tiga bulan, maka waktu yang tersisa tiga bulan tidaklah cukup.
Karena itu, masih banyak pengusaha yang enggan berusaha di sini. Apalagi, birokrasi pusat dan daerah belum memiliki kesamaan visi, ini yang runyam.
Kedua, sulit mencari lahan yang bagus. Padahal, banyak lahan kosong tidak produktif dan tanah gersang di Indonesia. Sebut saja, di Sumatra, Jawa, serta di Nusa Tenggara.
Ketiga, biaya sewa mahal padahal kemampuan industri dalam negeri belum siap.
KONTAN: Tahun 2019 juga merupakan tahun politik. Bagaimana dampak pemilihan umum (Pemilu) terhadap pertumbuhan ekonomi?
DAVID: Hitungan saya, biasanya pemilu memberikan kontribusi signifikan terhadap konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.
Kontribusinya berkisar 0,1% hingga 0,2% terhadap pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi, pemilu kali ini diselenggarakan secara serentak, pemilihan presiden dan parlemen.
KONTAN: Kalau investor sendiri, bagaimana mereka menilai pemilu 2019?
DAVID: Sebenarnya, investor sudah cukup percaya dengan masalah keamanan di Indonesia. Tinggal yang menjadi pekerjaan rumah adalah perubahan kebijakan dan regulasi.
Ini yang membuat investor wait and see. Bukan hanya pergantian pemerintahan, tetapi juga pergantian menteri biasanya akan mengubah kebijakan. Ini pentingnya pemerintah membuat blue print ekonomi dalam jangka panjang.
Jadi, investor memiliki kepastian dan tidak bergantung pada siapa pun yang jadi pembantu presiden.
Kita ambil contoh masalah kelautan yang empat tahun terakhir dipegang Menteri Susi Pudjiastuti. Beberapa kebijakannya yang berbeda dari pendahulunya dianggap positif namun ada juga yang tidak suka.
Artinya, besar kemungkinan kalau ia diganti maka kebijakan kelautan akan ikut berganti.
KONTAN: Pembangunan infrastruktur di era Pemerintahan Jokowi, kan, marak. Ini berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi?
DAVID: Pastinya. Meski memang, butuh waktu untuk bisa mempengaruhi ekonomi secara langsung. Dampak instan yang saya lihat adalah kemunculan potensi pariwisata di daerah-daerah yang baru terhubung infrastruktur.
Lokasinya sudah ada, namun dengan pembangunan infrastruktur membuat menjadi mudah diakses.
Dampak lain infrastruktur adalah pertumbuhan sektor jasa logistik. Tidak bisa dipungkiri, selama ini logistik kita masih tertinggal.
Dengan pembangunan infrastruktur yang tepat guna, diharapkan mampu menggenjot jasa logistik kita.
Booming-nya pembangunan infrastruktur juga harus dimanfaatkan sebagai alat promosi ke negara lain. Tapi sayang, beberapa pembangunan infrastruktur di daerah masih terkesan seremonial.
Di media juga kita lihat ada yang baru diresmikan tapi sudah bermasalah.
◆ Biodata
Riwayat pendidikan:
■ Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia
Riwayat pekerjaan:
■ Ekonom Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI)
■ Senior Economist Danareksa Research Institute
■ Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
■ Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Extension
■ Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, Jakarta
■ Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA).
** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di rubrik Dialog Tabloid KONTAN edisi 7 - 13 Januari 2019. Untuk mengaksesnya silakan klik link berikut: Tidak Akan Banyak Perubahan di 2019
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News