Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Sepekan setelah perhelatan akbar pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, nilai tukar rupiah masih melemah di ambang batas psikologis Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Kondisi pelemahan rupiah ini sering dikaitkan dengan dua faktor utama. Yaitu faktor internal terutama akibat defisit neraca transaksi berjalan serta pembelian valas yang dilakukan korporasi untuk membiayai aktifitas impor dan faktor eksternal, berkaitan dengan krisis global.
Sebenarnya, untuk bisa mengatasi kondisi ada cara lain seperti mengakumulasi devisa dari surplus neraca perdagangan yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Bila begitu, seharusnya kebijakan yang memfasilitasi peningkatan aktivitas perdagangan, seperti mengurangi hambatan perdagangan, dan efisiensi sektor transportasi dan logistik sebagai pendorong sektor ini menjadi prioritas utama.
Studi dari Ben-David (1991) menunjukkan ketika negara Eropa memutuskan menghapus hambatan perdagangan antar-anggotanya dengan mendirikan Uni Eropa, tingkat pertumbuhan negara tersebut meningkat signifikan Sejalan dengan itu, penelitian De Long dan Summers (1991) menemukan, negara yang relatif tertutup memiliki tingkat pertumbuhan 1,1% lebih rendah ketimbang negara yang lebih terbuka.
Sayang, kinerja perdagangan di Indonesia tidak begitu baik dalam beberapa tahun terakhir. Selama kuartal kedua tahun 2018, defisit neraca perdagangan di Indonesia meningkat menjadi US$ 8 miliar setara 3% produk domestik bruto (PDB). Itu defisit perdagangan tertinggi selama empat tahun terakhir.
Salah satu penyebab bisa jadi dari sisi kepelabuhan. Meski sebagai negara maritim, Indonesia ternyata tidak memiliki konektivitas sebesar negara tetangga. Sebagai ilustrasi, berdasarkanliner shipping connectivity index, indeks komposit yang dibuat berdasarkan lima komponen sektor transportasi maritim: jumlah kapal, kapasitas pembawa kontainer, ukuran kapal maksimum, jumlah layanan dan jumlah perusahaan yang menggunakan kapal kontainer di pelabuhan negara, Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara utama ASEAN, termasuk Vietnam.
Menarik untuk dicermati di sini adalah liberasi investasi Vietnam pada 2016. Penanaman modal asing mencapai puncaknya pada tahun tersebut dibarengi dengan volume perdagangan yang meningkat menjadi 185% dari PDB. Dalam waktu singkat, Vietnam menjadi salah satu eksportir pakaian terbesar di dunia dengan nilai US$ 40 miliar. Dan sepertiga ponsel Samsung dibuat di sana.
Infrastruktur dan kepabeaan
Untuk Indonesia, karena indeks konektivitas rendah, throughput (bongkar muat) pelabuhan di Indonesia juga lebih kecil. Total throughput pelabuhan Indonesia sekitar 14 juta twenty-foot equivalent unit (TEU) pada 2017 sedikit lebih tinggi dari Vietnam (12 juta TEU). Tapi jauh lebih rendah dari Malaysia (25 juta TEU) dan Singapura (34 juta TEU).
Dari gambaran di atas, ada beberapa sebab yang sifatnya given dan ada beberapa hal buah dari kebijakan. Selama berabad-abad, semenanjung Malaka adalah celah laut yang ramai menghubungkan benua Asia dengan Eropa, Afrika dan Timur Tengah, sehingga keberadaan pelabuhan Singapore dan Malaysia (Port Kelang, Johor dan Tanjung Pelepas) adalah keunggulan yang berasal dari aspek geografis. Dua negara ini menikmati posisinya sebagai tujuan perantara (transshipment). Ini ditunjukkan besarnya throughput di pelabuhan Malaysia dan Singapore meski barang dan jasa yang keluar dari dan masuk ke negara itu bisa jadi jauh lebih kecil.
Sekali lagi daya saing logistik menjadi salah satu kunci utama mengapa satu pelabuhan lebih ramai dibandingkan yang lain. Salah satu rujukannya lewat logistic performance index (LPI).
Dari enam komponen pembentuk LPI, indeks yang dibuat Bank Dunia berdasarkan rating penilaian 1-5, Indonesia memiliki nilai yang sedikit tertinggal dalam hal efisiensi bea cukai serta infrastruktur yang berkaitan dengan kualitas prasarana perdagangan dan transportasi. Untung aspek lainnya seperti kualitas servis logistik, international shipment berkaitan dengan pengaturan lalu lintas perkapalan, tracking and tracing terkait kemampuan melacak kiriman, serta timeliness yang berkaitan dengan frekuensi pengiriman mencapai penerima dalam waktu yang dijadwalkan, Indonesia punya kinerja cukup bersaing dengan negara lain di ASEAN.
Hal yang sama juga terkait dengan biaya logistik di Indonesia. Biaya per kontainer mencakup biaya dokumen, administrasi untuk bea cukai dan kontrol teknis, biaya pialang bea cukai, biaya penanganan terminal dan transportasi darat US$ 571 per kontainer. Meski termasuk murah di ASEAN, lebih mahal dari Malaysia (US$ 525 per kontainer) dan Singapura (US$ 475 per kontainer).
Justru biaya termahal itu untuk memenuhi persyaratan dokumen ekspor dan impor. Sebesar US$ 130 di Jakarta dan US$ 170 di Surabaya. Ini berdasarkan studi cost of doing business Bank Dunia pada 2018. Masih lebih mahal dari Singapura (US$ 37) dan Malaysia (US$ 45). Dus, eksportir membutuhkan 60 jam untuk penyelesaian dokumen (document compliance) di Indonesia. Sementara di Singapura cuma 2 jam, Malaysia 10 jam , Thailand 11 jam saja,
Di sini terlihat adanya celah yang membutuhkan penanganan serius dari pemerintah. Ini berkaitan dengan compliance cost karena core logistic indicator menunjukkan operator perdagangan sebenarnya telah melakukan efisiensi.
Lantas apakah penurunan biaya logistik akan dongkrak ekspor? Tentu ada mata rantai yang cukup panjang sehingga kebijakan ini akan merangsang peningkatan ekspor. Pengiriman barang ke luar negeri tentu membutuhkan market placement yang tidak terjadi secara instan. Sebagai kajian indikatif, studi Hoekman dan Nicita (2011) menunjukkan penurunan biaya logistik akan mendorong ekspor dari negara berkembang.
Studi lebih detail dilakukan Djankov (2006) di 126 negara menunjukkan, pada setiap satu hari tambahan keterlambatan akan mengurangi perdagangan satu persen. Efek ini akan lebih besar pada produk perdagangan hasil pertanian dan manufaktur yang rentan terhadap waktu. Untuk komoditas yang sensitif terhadap waktu, studi tersebut menunjukkan keterlambatan satu hari sebelum barang ini dibawa berlayar setara dengan defisit jarak ke mitra dagang sekitar 70 km.
Dengan analisa ini, pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus faktor eksternal sebagai penyebab defisit neraca perdagangan. Bahwa sebagai small and open economy, benar banyak aspek eksternal yang berada di luar kontrol kebijakan pemerintah. Faktor mahalnya transportasi domestik (hinterland) juga masih membutuhkan ketersediaan infrastruktur.
Namun demikian ada aspek yang mungkin bisa dilakukan misalnya strategi untuk memacu daya saing sektor logistik yang secara tidak langsung diharapkan berkontribusi membantu peningkatan ekspor. Terutama berkaitan dengan masih tingginya compliance cost di Indonesia.•
Ibrahim Kholilul Rohman
Kepala Riset Ekonomi Samudera Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News