Reporter: Mesti Sinaga | Editor: Tri Adi
Benar saja. Sesuai dengan perkiraan pasar, pada pertemuannya pekan lalu, bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) kembali menaikkan suku bunga acuan untuk yang kedelapan kalinya sejak 2015. The Fed pun kembali melempar sinyal, rangkaian kenaikan bunga acuan akan berlanjut akhir tahun ini bahkan hingga tahun depan.
Pamor dollar AS pun semakin mencorong, dan ini akan memperpanjang tekanan bagi rupiah. Rasanya, untuk tahun ini semakin sulit bagi rupiah menguat ke posisi Rp 13.400 yang merupakan asumsi dasar ekonomi makro APBN 2018. Dus, pelemahan rupiah yang belakangan ini bermain di kisaran Rp 14.900 dan rentan menembus Rp 15.000 per dollar AS memberikan pukulan berat bagi fiskal kita.
Apa lagi, pada saat sama harga minyak juga mendaki. Memanasnya perseteruan AS vs Iran -yang merupakan salah satu eksportir terbesar minyak di dunia, membuat harga minyak Brent pekan lalu menembus US$ 80 per barel. Kini sebagian pelaku pasar memprediksi, harga si emas hitam itu akan menembus US$ 100 tahun ini. Harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) ikut terkerek. Agustus lalu, ICP mencapai US$ 69,36 per barel, jauh di atas asumsi APBN 2018 sebesar US$ 48 per barel.
Kondisi semakin buruk lantaran tingkat konsumsi minyak Indonesia terus naik dari tahun ke tahun. Berdasarkan BP Statistical Review of World Energy Juni 2018, konsumsi minyak Indonesia pada rentang 2006-2016 tumbuh 2,5% per tahun. Sementara dalam kurun waktu sama, pertumbuhan produksi minyak Indonesia justru minus 1,4% per tahun.
Di 2017 konsumsi minyak tumbuh 4,5% (yoy) jadi 1,652 juta barel per hari. Sementara produksi minyak kita hanya 949.000 barel per hari. Alhasil, untuk menutup kebutuhan tersebut, Indonesia harus mengimpor minyak sekitar 700.000 barel per hari.
Impor minyak di saat harganya meningkat dan kurs rupiah terpuruk, membuat keuangan negara kita terkikis menjadi defisit.
Di sepanjang Januari-Juli 2018, impor minyak mencapai US$ 14,992 miliar, sementara ekspornya hanya US$ 3,964 miliar. Alhasil neraca minyak defisit US$ 11,09 miliar. Defisit ini ‘menelan’ semua surplus gas yang pada periode itu sebesar US$ 4,45 miliar, sehingga neraca migas tekor US$ 6,65 miliar.
Tak sampai di situ, besarnya defisit minyak itu juga ‘menghanguskan’ semua surplus neraca non-migas pada periode sama yang nilainya US$ 3,56 miliar. Ujungnya, neraca perdagangan periode Januari-Juli 2018 menderita defisit US$ 3,088 miliar.
Di sisi lain, pelemahan rupiah dan lonjakan harga minyak juga memukul anggaran negara. Subsidi untuk energi membengkak, sebab pemerintah menyatakan tidak ada kenaikan harga BBM tahun ini. Untuk semester I-2018 subsidi energi sudah terkucur sebesar Rp 59,51 triliun dan di semester-II 2018 diperkirakan sebesar Rp 103,98 triliun, sehingga total sekitar Rp 163,5 triliun. Ini juga jauh di atas pagu APBN 2018 yang Rp 94,5 triliun.
Maka, pemerintah harus kembali mengotak-atik anggaran untuk menutup pembengkakakan subsidi energi. Lantaran Presiden Joko Widodo sudah menegaskan tidak akan ada perubahan pada APBN 2018, maka pemerintah menempuh cara berputar.
Awal bulan ini telah terbit Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 108 yang bisa menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk menambah anggaran subsidi dari windfall penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Maka, tak heran jika ada yang menilai langkah pemerintah menambah subsidi energi tanpa melakukan perubahan APBN kental nuansa politis. Namun, di tengah berbagai faktor eksternal yang membawa tekanan berat bagi ekonomi kita, yang penting, pemerintah harus memastikan daya beli masyarakat tidak semakin terpukul.•
Mesti Sinaga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News