kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Deindustrialisasi Prematur


Jumat, 17 Januari 2020 / 12:18 WIB
Deindustrialisasi Prematur
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Kinerja industri manufaktur Indonesia dari waktu ke waktu memperlihatkan tren yang cukup mengkhawatirkan. Data Produk Domestik Bruto (PDB) lapangan usaha Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan sektor industri pengolahan rata-rata mencapai 4,4%.

Pencapaian tersebut lebih rendah daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di kisaran 5,4%. Kondisi ini tentu tidak ideal karena untuk menjadi negara industri maju, laju pertumbuhan industri manufaktur perlu selalu di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Sementara dari sisi distribusi, sektor industri manufaktur juga turun dari 24,7% terhadap PDB pada 2008 menjadi hanya 19,9% terhadap PDB pada 2018. Artinya, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah terjadi penurunan sebesar 4,9%.

Sejumlah pakar ekonomi pun menyebut Indonesia sedang mengalami gejala deindustrialisasi prematur karena proses penurunan kontribusi industri manufaktur terjadi lebih cepat sebelum Indonesia menyandang status sebagai negara berpendapatan tinggi. Namun, menurut Ha-Joon Chang, akademisi dari Universitas Cambridge, penurunan kontribusi industri manufaktur terhadap PDB tak selalu diasosiasikan sebagai fenomena deindustrialisasi.

Alasannya, penurunan andil industri manufaktur terhadap PDB tidak selalu berarti penurunan kapasitas produksi industri manufaktur. Penurunan tersebut sejatinya lumrah karena harga produk manufaktur memang cenderung turun lebih cepat daripada harga produk non-manufaktur imbas tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibanding sektor ekonomi lainnya (Chang, 2014).

Belum lagi praktik alih daya atau outsourching yang begitu masif di sektor industri manufaktur. Celakanya aktivitas tersebut justru cenderung tercatat sebagai kontribusi sektor jasa ketimbang sektor manufaktur (Chang, 2014). Implikasinya, kontribusi industri manufaktur secara statistik terlihat semakin menurun.

Di luar itu, daya saing industri manufaktur nasional yang rendah dan makin kuatnya dominasi produk manufaktur China di level global juga berperan di balik turunnya kontribusi industri manufaktur tersebut. Ironisnya, persoalan ini tidak hanya dialami oleh Indonesia.

Bahkan, hampir semua negara berkembang dengan tingkat pendapatan per kapita yang lebih rendah dari China juga tertinggal di belakang China dalam hal penguasaan teknologi. Akibatnya, negara tersebut kurang mampu bersaing dengan China dalam memproduksi produk-produk elektronik, mobil, dan lain-lain (Tregenna, 2015).

Sebagian besar negara berkembang juga kalah bersaing dengan China dalam hal biaya tenaga kerja per unit. Mereka pada akhirnya lebih memilih untuk mengimpor produk manufaktur berteknologi sederhana seperti pakaian dari China daripada mengembangkan industri manufaktur padat karya dalam negeri (Tregenna, 2015).

Imbas ke tenaga kerja

Alasan lain yang juga tak kalah pentingnya adalah perlunya mendeteksi gejala deindustrialisasi dari sisi penurunan penyerapan tenaga kerja sektor industri manufaktur. Alasannya, deindustrialisasi sejatinya merupakan fenomena penurunan kontribusi industri manufaktur secara berkelanjutan, baik dari sisi kontribusi industri manufaktur terhadap PDB maupun dari sisi porsi pekerja manufaktur terhadap total pekerja (Tregenna, 2009).

Hipotesis tersebut berdasarkan pada argumen bahwa industri manufaktur memainkan peran pentingnya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi bukan hanya melalui saluran hasil namun juga penciptaan lapangan kerja dan upah yang dapat dibelanjakan.

Sedangkan hipotesis lainnya, penurunan porsi tenaga kerja di sektor manufaktur juga jadi indikasi adanya pergeseran sumber daya dari sektor manufaktur padat karya ke sektor manufaktur padat teknologi dan inovasi.

Menariknya, tingkat penyerapan tenaga tenaga kerja di sektor manufaktur dalam negeri sejauh ini relatif masih terjaga. Hingga 2018, porsi tenaga kerja industri manufaktur tercatat sebesar 18.251.456 orang atau mencapai 14,72% dari total tenaga kerja (BPS, 2019).

Jika dibandingkan periode sebelumnya, jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor manufaktur pada 2018 tumbuh sebesar 20% (jika dibandingkan dengan 2014) dan 32% (jika dibandingkan dengan 2010). Menariknya lagi, hubungan antara PDB per kapita dengan kontribusi industri manufaktur Indonesia memperlihatkan kurva-U terbalik.

Sebaliknya, relasi antara PDB per kapita dengan proporsi tenaga kerja manufaktur dalam 20 tahun terakhir belum sepenuhnya mengikuti kurva-U terbalik.

Hal tersebut rasanya berbeda dengan hasil studi Palma (2005) yang menunjukkan bahwa gejala deindustrialisasi tercermin dari fenomena kurva-U terbalik sebagai indikasi terjadinya penurunan hasil dan tenaga kerja secara simultan pada sektor industri manufaktur.

Sementara itu, Rodrik (2016) menemukan pola deindustrialisasi yang sedikit berbeda di sejumlah negara Asia Tenggara (ASEAN) seperti Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Thailand. Penurunan kontribusi nilai tambah industri manufaktur ternyata tidak diikuti penurunan tenaga kerja imbas masih kuatnya kontribusi industri manufaktur berteknologi rendah dan menengah di kawasan ini (Rodrik, 2016).

Hal tersebut mengindikasikan bahwa pola deindustrialisasi di Indonesia cenderung berbeda dengan pola deindustrialisasi yang dialami dan terjadi pada negara maju dan juga negara berkembang lainnya. Hal ini karena penurunan hasil industri pengolahan tidak disertai penurunan penyerapan tenaga kerja.

Bahkan, tenaga kerja di sektor industri manufaktur dalam negeri masih menunjukkan tren peningkatan, baik dari sisi jumlah maupun persentase. Tingginya kontribusi industri manufaktur berteknologi rendah menjadi penyebabnya. Industri manufaktur berteknologi rendah masih menjadi penopang utama dalam sektor industri pengolahan dengan kontribusi rata-rata mencapai 60% dari total nilai tambah industri manufaktur.

Dengan demikian, argumen yang menyebut bahwa Indonesia sedang mengalami gejala deindustrialisasi prematur perlu ditelisik lebih mendalam lagi. Meskipun begitu, Indonesia tetap perlu memperkuat industri manufaktur dalam negeri, khususnya industri manufaktur berteknologi menengah seperti industri logam dasar dengan menjalankan program hilirisasi mineral pertambangan secara disiplin dan konsisten.

Pada saat yang sama, investasi yang serius di bidang sumber daya manusia dan pengarusutamaan riset dan inovasi dalam kebijakan pembangunan, baik di level nasional maupun di daerah juga menjadi suatu keniscayaan jika Indonesia benar-benar ingin menjauh dari penyakit deindustrialisasi prematur.

Penulis : Pihri Buhaerah

Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×