kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Demokrasi 2.0?


Senin, 17 Desember 2018 / 12:35 WIB
Demokrasi 2.0?


Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Tri Adi

Saat orang di negara demokrasi mulai lebih memilih pemimpin otoriter yang senang menerapkan tribal politics untuk meraih dukungan seperti Donald Trump di Amerika atau menebarkan teror seperti Rodrigo Duterte di Filipina, banyak orang waswas. Apalagi gejala ini terus menyebar ke berbagai negara, contohnya kebangkitan partai ekstra kanan di Eropa.

Apakah bentuk demokrasi saat ini sudah sedemikian salah sehingga masyarakat seperti distimulasi mengekspos kemarahan, mengumbar kebencian kepada orang yang berbeda. Tak ada lagi liberte, egalite, fraternite sebagai prinsip dari masyarakat di negara demokrasi.

Di sisi dunia lain, China yang tidak pernah tertarik dengan sistem demokrasi barat tengah menciptakan sistem pemerintahan sendiri. Menurut MIT Technology Review, Presiden Xi Jinping bercita-cita membuat apa yang dinamakannya cyber sovereignty untuk mewujudkan negara sosialis yang modern.

Tidak seperti Hu Jintao, presiden China sebelumnya, Xi Jinping tidak pernah memberikan ruang sama sekali unjuk rasa, diskusi politik, atau aksi apapun yang bisa mengganggu para penguasa. Ia mencoba mengerti apa yang terjadi bukan dengan sistem yang kita kenal dalam demokrasi, tapi secara harfiah mendengarkan 1,4 miliar rakyat.

Xi merancang berbagai sistem pemantauan yang diperlengkapi AI, dan big data untuk memonitor kehidupan dan perilaku rakyatnya setiap menit. Memang masih belum jelas desain yang dijalankan, tapi Pemerintah China sangat ingin menangkap sentimen di masyarakat tanpa perlu melalui perdebatan panas dan kritik pedas kepada penguasa.

Ada beberapa inisiatif atau eksperimen pemerintah daerah atau perusahaan China dengan menggunakan nama social credit system, smart city, atau kebijakan berbasis teknologi yang diterapkan di Xinjiang. Salah satu eksperimen adalah reward dan punishment di utara Kota Rongcheng. Ada 740.000 penduduk yang diberi modal 1.000 poin, poin akan bertambah kalau mereka melakukan donasi atau kerjabakti.

Poin akan berkurang kalau mereka melanggar aturan lalu lintas atau mabuk. Orang yang memiliki skor bagus bisa mendapatkan diskon mesin penghangat atau bunga KPR lebih rendah. Sebaliknya orang dengan skor buruk bisa kehilangan akses ke perbankan, kehilangan kesempatan promosi jabatan.

Apakah ini sistem demokrasi kita di masa mendatang? Entahlah, tapi sistem ini sangat menggoda siapapun di tampuk pimpinan.•

Djumyati Partawidjaja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×