Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Ketika banyak orang terkena pukulan telak efek pandemi korona, sebagian petani dan pebisnis sayuran justru menangguk berkah. Mereka menikmati lonjakan permintaan produk hortikultura.
Hendra, petani french bean atau baby buncis dari Desa Cibodas, Lembang, Bandung Barat, misalnya, termasuk yang mereguk kenikmatan itu. Yang ia rasakan, permintaan sayuran melonjak sejak pandemi korona merebak awal tahun ini.
Bukan hanya dari pasar lokal, buyer dari luar negeri juga menambah order. Maklum, selain memasarkan baby buncis ke Bandung dan Jakarta, ia juga memasok permintaan ekspor dari Singapura. "Gabungan permintaan pasar lokal dan ekspor naik sekitar 60% dari sebelumnya," kata pria 40 tahun itu.
Asal negara pemesannya pun bertambah. Bila sebelumnya hanya mengekspor buncis ke Singapura, kini pesanan sayuran datang dari Brunei Darussalam dan Arab Saudi.
Situasi mirip juga dirasakan oleh petani bawang di Brebes, Jawa Tengah, pekebun alpukat di Ambarawa hingga pekebun jahe dan empon-empon di Kalimantan. Juga petani buah pepaya, jambu, jeruk, pisang dan ragam buah lokal lainnya.
Ya, sejak wabah korona, sebagian petani di desa menikmati banjir order. Apalagi pasokan beberapa jenis buah dan sayuran impor merosot seturut pembatasan suplai dari negara produsen.
Secara umum, ada sinyal menarik dari situasi mutakhir geliat sektor agribisnis kita. Kini para pelaku usaha agribisnis makin banyak diisi oleh milenial. Mereka petani muda berusia kurang dari 35 tahun.
Fenomena petani milenial itu setidaknya tampak di Kelompok Tani Macakal Cibodas, Lembang. Ini adalah himpunan petani sayuran yang membawahi sekitar 40 anggota dan 200 mitra tani. "Dari total anggota kami, 80%-nya milenial," kata Triana Andri, Ketua Macakal.
Nah, yang tak kalah menariknya pula, dalam konteks efek pandemi korona, ekonomi desa kini menjadi sandaran penghidupan baru bagi sebagian korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketika perusahaan tempat bekerja bangkrut akibat korona, para korban PHK itu terpaksa berkemas dan pulang ke kampung halamannya. Profesi petani menjadi pilihan rasional karena minimnya lapangan kerja di desa.
Ada yang meneruskan usaha orang tuanya, ada pula yang membangun usaha pertanian mandiri dari nol. Pendek kata, ekonomi desa dan sektor pertanian berandil besar menampung orang-orang yang kehilangan pekerjaan di sektor formal.
Oleh karena itu, dalam konteks pemulihan ekonomi pasca Covid-19, potensi dan peran ekonomi desa tak boleh dipandang sebelah mata. Desa berpeluang menjadi masa depan ekonomi kita. Menempatkan kekuatan ekonomi desa sebagai basis ekonomi nasional menjadi strategi krusial demi menyambut era normal baru (new normal) ekonomi.
Penulis : Barly Halim Noe
Managing Editor
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News