kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Di Balik Badai PHK


Senin, 24 Februari 2020 / 12:51 WIB
Di Balik Badai PHK
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan karyawan di beberapa perusahaan menuai sorotan. Kabar mengejutkan itu mengemuka ketika usaha rintisan atau startup teknologi Bukalapak, OLX, hingga OYO mengungkapkan kebijakan pahit yang harus ditempuh, yakni memangkas jumlah pegawai.

Badai PHK mulai berembus sejak akhir tahun lalu. Kemudian baru-baru ini disusul oleh keputusan merumahkan ratusan karyawan Indosat yang merupakan salah satu operator seluler di tanah air. Selain itu, sebelumnya, pemberhentian lebih dari seribu tenaga kerja di lingkup BUMN Krakatau Steel juga menuai sorotan. Tak hanya korporasi besar, gelombang PHK rupanya juga terjadi di berbagai daerah, khususnya di daerah-daerah basis industri seperti Surabaya dan Batam.

Mencermati fenomena badai PHK, beberapa diagnosa mencuat secara kasuistik dengan latar belakang beragam. Pertama, indikasi situasi ekonomi memang sedang tidak baik-baik saja. Secara global, kondisi ekonomi sedang mengalami kontraksi. Imbas dari perang dagang China vs Amerika Serikat (AS).

Pukulan baru lantas muncul dari wabah Corona. Bagi Indonesia, wabah virus Korona (Covid-19) tak hanya membuat geger. Namun, juga punya implikasi ke roda ekonomi. Sektor perdagangan terganggu karena ekspor dan impor barang maupun jasa kena batunya.

Relasi ekonomi Indonesia dengan China sudah sangat dalam. China adalah mitra dagang andalan. Badan Pusat Statistik (BPS), dalam rilis teranyar kinerja ekspsor dan impor, sudah memberikan peringatan. Sinyal lampu kuning telah dinyalakan.

Mengutip Bank Dunia, setiap penurunan 1% ekonomi China berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3%. Ekonom pemerintah China sendiri bahkan sudah memperkirakan, pada kuartal pertama, pertumbuhan ekonomi akan turun dari 6,1% menjadi sekitar 5%.

Tekanan terhadap kinerja ekonomi China akibat Korona juga berdampak langsung bagi ekonomi digital Indonesia; terutama sektor perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce). Pasalnya, mayoritas produk di etalase e-commerce merupakan impor dari China. Belum lagi, posisi China sebagai mata rantai logistik bagi industri e-commerce.

Alibaba sendiri, sebagai raksasa e-commrece global, sudah mengakui bahwa Korona menggiring titan ekonomi digital itu memasuki babak suram. Panic buying memang memicu lonjakan permintaan. Namun, tidak bisa ditangani memadai, alih-alih meningkatkan penjualan.

Meski belum dapat dikuantifikasi, dampak Korona dan penurunan kinerja ekonomi China sulit dihindari pelaku bisnis di Indonesia. Fenomena PHK bisa jadi indikasi dari situasi tidak menguntungkan tersebut. Begitulah kontingensi dari relasi ekonomi yang semakin terkoneksi.

Kedua, selain dampak dinamika ekonomi global, keputusan melakukan PHK juga bisa jadi karena pertimbangan strategi bisnis. Seperti diungkapkan oleh startup Bukalapak. Sang e-commerce berstatus unikorn karya anak bangsa ini memberhentikan karyawan di sejumlah divisi sebagai strategi perampingan jangka panjang untuk mengejar profitabilitas.

Alasan senada juga dikemukakan oleh platform iklan baris OLX dan operator layanan virtual hotel OYO yang belum lama ini memecat puluhan karyawan. Bocoran PHK disampaikan seorang karyawan OLX yang terkena kebijakan pahit itu secara mendadak. Strategi penyelarasan jadi alasan singkat yang diajukan perusahaan-perusahaan berbasis teknologi tersebut.

Terkesan multitafsir dan bias makna. PHK yang dikemas dengan alasan strategi bisnis cenderung ditangkap sebagai sinyalemen bila ada dinamika tidak sehat di internal perusahaan. Situasi tidak menguntungkan, sehingga keputusan pahit harus dilakukan.

Iklim persaingan bisnis di berbagai segmen industri digital memang semakin sengit. Di sektor e-commerce misalnya, platform-platform masih fokus meningkatkan transaksi (gross merchandise value) dan akuisisi pengguna. Angka-angka ini yang jadi jurus untuk memikat investor menggelontorkan pendanaan. Membiayai aksi promosi yang menuntut konsekuensi bakar uang agar tetap bertahan di kancah persaingan.

Bagi yang tidak kuat terus membakar uang, efisiensi dengan merampingkan organisasi menjadi salah satu opsi. Keputusan itu, secara bisnis, sangat wajar, bahkan wajib dan logis ditempuh untuk kepentingan jangka panjang.

Keseimbangan baru

Ketiga, keputusan PHK sebagai respons terhadap perubahan di industri yang mempengaruhi tenaga kerja. Dewasa ini, industri mengalami perubahan drastis dan revolusioner. Perkembangan mutakhir sistem robotisasi, komputerisasi, dan digitalisasi berbasis aplikasi memungkinkan perampingan gelambir-gelambir organisasi yang dianggap tak lagi relevan.

Kita bisa melihat dan merasakan strategi ini mulai marak ditempuh industri yang ramah terhadap adopsi teknologi informasi. Industri perbankan misalnya. Dari komplain nasabah hingga pembukaan rekening bank, kini dapat diselesaikan tanpa bertatapan dengan sosok karyawan secara langsung.

Dunia yang digerakkan oleh teknologi telah mengisi kegiatan kita sehari-hari; mulai dari urusan keuangan, layanan kesehatan, belanja kebutuhan dapur hingga rutinitas sehari-hari dapat diprogram berbasis algoritma. Data-data yang dipersonalisasi terpendam dalam layanan komputasi awa serta diolah dengan kecepatan komputerisasi terkini. Semua ini kemudian tampil di layar gawai dalam bentuk rekomendasi.

Jika dulu layanan tersebut disampaikan oleh konsultan, kini dipendam oleh sistem big data yang dianalisa lewat kecerdasan buatan dan dalam sepersekian detik, tampil dengan analisis akurat. Pada situasi seperti itu, peran manusia semakin minim dan tergantikan oleh teknologi.

Maka, adopsi teknologi dengan segala efektivitas dan efisiensi yang ditawarkan merupakan ancaman bagi para karyawan. Mereka menjadi tidak relevan jika gagal menyesuaikan. Teknologi melindas tanpa pandang bulu serta mengeliminasi yang layak dikalahkan.

Laporan yang diterbitkan McKinsey Global Institute tentang era otomatisasi meramal 800 juta pekerjaan akan hilang ditelan teknologi. Kabar baiknya, pada saat yang sama muncul peluang lapangan kerja baru dalam jumlah yang lebih banyak. Tentu saja yang berbasis teknologi.

World Economic Forum (WEF) juga pernah merilis skills outlook yang senada. WEF menyusun klasifikasi sektor-sektor industri tenaga kerja yang mengalami deklinasi dan yang bertumbuh. Sektor yang mulai menciut umumnya terkait dengan operasi berbasis manual, analog, dan berbasis pada kecerdasan IQ (intelligence question). Kecerdasan yang kini dapat ditiru dengan teknologi melalui artificial intelligence (AI).

Sementara sektor yang bertumbuh dan diramalkan punya masa depan cerah berbasis pada kecerdasan emosional. Seperti kemampuan berpikir analitis, kreatif, kemampuan memimpin, desain, mempengaruhi, dan evaluasi.

Jusman Dalle

Praktisi Ekonomi Digital dan Direktur Eksektuif Tali Foundation

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×