kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Diksi, kepemimpinan, dan entrepreneur identitas


Jumat, 20 Oktober 2017 / 17:01 WIB
Diksi, kepemimpinan, dan entrepreneur identitas


| Editor: Tri Adi

Pidato politik perdana Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta menuai kecaman netizen karena menyebut kata pribumi. Jika kita cermati polanya, protes netizen setidaknya berakar pada dua alasan. Pertama, alasan historis. Diskursus tentang pribumi dan non-pribumi merupakan isu yang pekat dengan konflik identitas di masa lalu.

Oleh karena itu, memilih diksi pribumi sebagai kelompok yang seharusnya berkuasa memantik munculnya persepsi publik bahwa Anies tampak tidak peka narasi kelam ingatan kolektif masa lalu.  Padahal pada masa pemerintahan BJ Habibie lewat Instruksi Presiden No 26/1998 telah membuat aturan soal  penghapusan istilah pribumi dan non-pribumi.

Kedua, alasan inkonsistensi sikap. Publik melihat bahwa diksi pribumi dan isu penguasaan wilayah oleh pribumi adalah pandangan yang kentara berbeda dengan gagasan pro-multikulturalisme yang pernah diperkenalkan Anies di tahun-tahun sebelumnya.

Reaksi keras netizen terhadap pidato politik perdana Gubernur DKI Jakarta ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa tantangan terbesar seorang pemimpin publik sebenarnya adalah kemampuan mengkomunikasi ide kepemimpinan yang melampaui logika fanatisme kelompok, baik memandang kelompok sendiri sebagai kelompok terbaik atau kecenderungan untuk memandang kelompok lain sebagai kelompok yang buruk.

Ketika pemimpin publik gagal untuk menerapkan prinsip ini baik dalam retorika politik maupun kebijakan publiknya, ia akan rentan terjebak dalam narasi bias kognitif untuk membela kelompok tertentu dan menihilkan kelompok yang lain. Perspektif kepemimpinan publik saat ini perlu digeser dari pandangan karismatik jadi pandangan konsensus yang menempatkan pemimpin dan masyarakat terpimpin sebagai dua posisi yang bergerak bersama sebagai sebuah tim.

Ilmu psikologi dalam kacamata identitas sosial berpendapat, kepemimpinan publik dikatakan berhasil ketika pemimpin mampu secara efektif mempersuasi semua orang yang ia pimpin untuk berkontribusi aktif mencapai tujuan bersama. Artinya, ketika seseorang telah ditahbiskan menjadi pemimpin publik, sebenarnya ia tidak lagi mewakili kelompok, tetapi juga memimpin golongan yang tidak memilihnya.

Implikasi lainnya, seorang pemimpin publik juga memiliki tugas utama untuk mengusahakan terciptanya naluri kekitaan (sense of we-ness). Kata mengusahakan ini memegang peranan penting hingga Profesor Alexander Haslam dari Universitas Queensland dan Profesor Stephen Reicher dari Universitas St Andrews mengistilahkan bahwa pemimpin publik adalah seorang entrepreneur identitas. Istilah ini pertama kali muncul dari Yves Besson, seorang pakar kepemimpinan asal Prancis yang pada tahun 1990 menulis sebuah buku berjudul Identities et Conflits au Proche Orient, yang di dalamnya berisi adagium leaders are entrepreneurs of identity.

Untuk memahami entrepreneur identitas, kita dapat belajar pada Amerika Serikat. Pada 11 September 2001, saat gedung World Trade Center di Amerika Serikat mendapat serangan bom dari teroris, Presiden George W. Bush langsung mengeluarkan sebuah pernyataan politik bahwa kita semuanya sedang mengalami tragedi, dan ia berjanji akan mengusut pelaku agar situasi nasional membaik. Pidato ini sebenarnya bukanlah narasi yang luar biasa secara konten, tetapi dianggap penting oleh berbagai pengamat politik dunia. Bush dianggap menunjukkan kepiawaiannya dalam memimpin dengan cara yang subtil yakni  menggunakan kata kita.

Bush memilih untuk tidak menempatkan dirinya sebagai sosok pemimpin yang berdiri dalam posisi di atas para rakyatnya, tetapi menunjukkan bahwa dengan semangat egalitarian ia berada  untuk semua golongan yang ada di Amerika Serikat. Banyak pihak mempertanyakan siapa sebenarnya objek serangan teror saat itu: New York? Washington? Atau ideologi kapitalisme? Bush memilih diksi yang tepat, "Kita, Amerika Serikat, sedang diserang". Di awal pemerintahannya, Bush berhasil membentuk identitas kekitaan di negara yang ia pimpin.

Pandangan pemimpin publik sebagai entrepreneur identitas akan memberikan efek sosio-psikologis kepada semua masyarakat yang ia pimpin, bahwa pemimpin dan masyarakat adalah sebuah bagian dari tim besar. Dalam konteks kepemimpinan publik di DKI Jakarta, gubernur dan wakil gubernur perlu mempersatukan semua lapisan golongan dan bukan jadi bagian dari polarisasi sosial itu sendiri.                                     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×