kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dilema harga paksaan


Rabu, 01 Agustus 2018 / 11:17 WIB
Dilema harga paksaan


Reporter: Ardian Taufik Gesuri | Editor: Tri Adi

Ketidakpastian selalu ada. Itu sudah risiko yang acap harus dihadapi para pengusaha. Tapi jelas tidak lucu bila sumber ketidakpastian itu justru dari pemerintah yang tidak kompak dan ingin menggonta-ganti kebijakannya sendiri.

Satu contohnya, kebijakan harga batubara wajib pasok dalam negeri sebesar 25% produksi: akan direvisi, tak jadi revisi, dievaluasi entah apalagi. Padahal, peraturan menteri ESDM mematok harga US$ 70 per ton untuk batubara acuan 6.322 kkal ini baru diterapkan Maret lalu.

Sedari benih, beleid domestic market obligation (DMO) ini memang mengundang kritik. Para pengusaha emas hitam jelas keberatan, karena pendapatan mereka akan merosot sekitar 7,5%. Jual paksa harga murah ke PLN dinilai sebagai perlakuan yang tidak adil. Selain itu, lantaran bakal ribet di lapangan, mereka lebih memilih tambah royalti sekitar 2%–3% saat harga tinggi untuk memenuhi beleid ini.

Tak hanya pengusaha, negara pun berkurang pendapatannya akibat kebijakan ini. Ditaksir potensi penerimaan pajak maupun non-pajak berkurang sekitar Rp 7 triliun–Rp 9 triliun. Belum lagi ekses surutnya minat investasi di sektor batubara.

Sebaliknya, PLN jelas sukaria lantaran mendapat harga murah untuk bahan bakar pembangkit, sehingga tidak tekor walau harga pasar tinggi. Berkat tata niaga batubara ini, PLN bisa meraih harga miring karena pembangkitnya cuma butuh batubara 4.500 kkal–5.000 kkal. Dihitung-hitung bisa hemat biaya Rp 20 triliun lebih. Coba kalau harus beli batubara sebanyak 92 juta ton tahun ini dengan harga pasar yang kian mendaki, PLN bakal semaput bila tidak segera disuntik subsidi gede.

Akan tetapi terbuktilah beleid yang baru seumur jagung ini seret dalam penerapannya, terutama di kalangan perusahaan kecil. Padahal, pemerintah sudah membolehkan transfer kuota. Tambah pula memo menteri yang mengancam sanksi pengurangan besaran produksi bagi yang tidak patuh. Persoalan bertambah krusial ketika tren harga batubara terus mendaki. Dampaknya bisa diduga: kian besar pula potensi tergerusnya pendapatan pengusaha maupun penerimaan negara.

Nah, tak heran bila bergulir kembali niat merevisi beleid harga batubara DMO ini. Muncul usulan mengenakan pungutan dan pendirian badan pengelola dana batubara seperti usulan pengusaha. Tapi belakangan Menteri ESDM membantahnya. Sementara menteri lain tetap akan mengevaluasi beleid DMO.

Jadinya malah menimbulkan ketidakpastian lagi.•

Ardian Taufik Gesuri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×