| Editor: Tri Adi
Dua tahun berturut, pertumbuhan ekonomi Indonesia tak jauh-jauh dari kisaran 5%. Di pengujung pemerintahannya, Presiden Joko Widodo tentu tak ingin pertumbuhan ekonomi masih berkutat di level tersebut. Sebab, salah satu parameter untuk mengukur kinerja Kabinet Kerja, sudah pasti dari pencapaian pertumbuhan ekonomi.
Apalagi dalam kampanye pemilihan presiden tahun 2014 silam, pemerintahan ini mencanangkan target pertumbuhan ekonomi 7%. Melihat pencapaian hingga 2017 lalu, mustahil rasanya target itu dicapai di sisa masa pemerintahan. Tahun ini saja, pemerintah hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4%.
Memang tren kelesuan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir tidak hanya dialami Indonesia. Banyak negara menerapkan rumus yang sama untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi. Yakni melonggarkan kebijakan moneter dan mengguyur stimulus. Malah ada negara yang menjalankan kebijakan moneter super longgar dengan bunga minus yakni Jepang.
Sama dengan negara lain, Indonesia pun juga meracik resep yang serupa dengan melonggarkan kebijakan moneter. Sejak awal tahun 2016, Bank Indonesia sudah memangkas suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate sebanyak 175 basis poin (bps) menjadi 4,25%. Kebijakan ini berandil membawa ekonomi Indonesia tumbuh lebih baik di tahun lalu yakni 5,1%.
Persoalannya, pada tahun ini peluang melonggarkan lagi kebijakan moneter kian menyempit. Sedangkan, ekonomi masih butuh ruang gerak lebih longgar untuk memuluskan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%.
Kebijakan moneter pun menghadapi dilema. Satu sisi, BI juga harus berhitung dengan tren suku bunga global yang diperkirakan meningkat tahun ini. Sebab, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) kemungkinan menaikkan bunga lagi beberapa kali pada tahun ini.
Bila BI tak mengikuti arus ini, bisa berisiko menimbulkan capital outflow lantaran imbal hasil investasi di Indonesia menjadi tak menarik. Efek rentetannya bisa menjalar dan menekan rupiah.
Sisi lain mengetatkan kebijakan moneter dengan mengerek suku bunga juga pilihan pahit. Sebab, berarti pula membuka peluang lagi kenaikan suku bunga kredit perbankan. Padahal, ekonomi Indonesia masih butuh kebijakan moneter lebih lentur. Menyeimbangkan dua kutub ini menjadi pekerjaan besar Gubernur BI baru nanti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News