kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Dilema perwujudan ambisi dari JKN


Rabu, 08 November 2017 / 14:40 WIB
Dilema perwujudan ambisi dari JKN


| Editor: Tri Adi

Perubahan nama dan status PT Askes Indonesia jadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada awal 2014 lalu mengawali kehadiran jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kehadiran lembaga ini mendapat sambutan positif dari seluruh masyarakat. Warga yang dulunya takut saat berobat ke pelayanan kesehatan, termasuk rumahsakit, langsung berubah. Perasaan was-was karena tidak punya uang atau dana langsung sirna setelah kehadiran kartu BPJS Kesehatan di setiap dompet warga,

Sayangnya, sampai saat ini pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terkesan hanya sebagai pemenuhan syarat yang ditentukan oleh UUD 1945 dan belum sepenuhnya memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan layak kepada seluruh masyarakat Indonesia. Meski secara jumlah, peserta BPJS Kesehatan sudah melonjak signifikan.

Per Juli 2017, jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan telah mencapai 179 juta orang. Dengan jumlah peserta tersebut, target untuk bisa mencapai jumlah peserta program kesehatan itu sebanyak  seluruh masyarakat Indonesia pada 2019 nanti sangat mungkin untuk diwujudkan. Yang patut diapresiasi selanjutnya adalah tingginya tingkat kepuasan peserta BPJS Kesehatan. Berdasarkan hasil survei mengenai tingkat kepuasan para peserta BPJS, 81% peserta puas dengan pelayanan fasilitas-fasilitas kesehatan rekanan BPJS.

Namun, BPJS tetap mendapatkan tantangan-tantangan yang berasal dari para pemangku kepentingan. Dari sektor penyedia jasa kesehatan, masih banyak ditemukan keluhan mengenai sistem pembayaran yang diberlakukan BPJS yang dianggap membuat  rumah sakit, terutama yang dimiliki swasta, sulit untuk bertahan. Puncak dari keluhan ini adalah sempat terputusnya kerjasama lima rumah sakit swasta di Mataram dengan BPJS pada akhir tahun 2016, dikarenakan adanya kebijakan mengenai tarif pelayanan kesehatan yang dianggap memberatkan rumah sakit.

Selain itu, Bupati Gowa pada awal tahun 2017 menolak BPJS dan menggugat kewajiban pemerintah daerah untuk ikut serta di dalam penyelenggaraan JKN. Hal ini disebabkan karena pengeluaran daerah untuk pengobatan gratis menjadi bertambah setelah terintegrasi dengan BPJS, dibandingkan dengan program pengobatan gratis yang dijalankan oleh pemerintah kabupaten sendiri.

Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya perbedaan pelayanan yang didapatkan oleh pengguna kartu BPJS dengan apa yang didapat oleh pasien reguler. Hasil riset Perkumpulan Prakarsa (2017) menunjukkan bahwa pasien BPJS merasa tenaga kesehatan yang melayani pasien BPJS terkesan pilih kasih terhadap pasien non BPJS. Bahkan dalam beberapa kasus ditemukan penerapan kuota per hari oleh dokter terhadap jumlah pasien BPJS yang ditangani.

Perlu needs assesment

Saat ini jelas terlihat adanya perlombaan antara tujuan besar Jaminan Kesehatan Nasional  dengan kesiapan BPJS dan seluruh pihak yang terlibat dalam penyediaan Jaminan Kesehatan Nasional. Klasifikasi tarif Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) yang diterapkan dalam pelaksanaan JKN tersebut sampai saat ini masih sering mengundang keluhan dari rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena rumah sakit juga merupakan pelaku usaha yang bergerak di bisnis penyedia layanan kesehatan. Sehingga selain memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat, rumah sakit juga tidak bisa memungkiri statusnya sebagai pelaku bisnis yang harus mempertahankan kesinambungan usaha yang dijalani.

Penerapan tarif INA-CBGs yang bersifat prospektif, yang menuntut efisiensi dari tenaga kesehatan, memang dapat menghindari praktik overtreatment, namun juga membuka ruang untuk pengurangan kuantitas dan kualitas pelayanan kepada pasien. Langkah tersebut dilakukan untuk memperoleh marjin laba. Hal ini membuat kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pihak rumah sakit dalam beberapa kasus di mana rumah sakit  lebih memprioritaskan pasien yang tidak menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan.  

Sistem regionalisasi ke dalam lima wilayah yang berlaku dalam penetapan tarif INA-CBGs juga menciptakan kesulitan dalam menjalin kesepakatan antara BPJS dengan asosiasi fasilitas kesehatan (faskes) tingkat provinsi. Hal ini tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan di dalam Pasal 24 ayat (1) Undang Undang  Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Adanya perbedaan tarif berdasarkan tipe dan wilayah rumah sakit juga akan berdampak terhadap pelayanan rumah sakit. Padahal semua rumah sakit, baik di daerah terpencil maupun kota besar, seharusnya memberikan pelayanan kesehatan yang sama.

Pada titik ini, BPJS perlu melakukan needs assessment dan gap analysis yang fokus pada kebutuhan pelayanan kesehatan dan juga kemampuan dari fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada di tiap provinsi. Roger Kaufman (1999) menjelaskan bahwa needs assessment adalah sebuah  proses analisis yang dipakai untuk mengetahui kesenjangan antara tujuan dengan hasil yang didapat saat ini dan dituangkan ke dalam sebuah skala prioritas.  

Berdasarkan hasil needs assessment dan gap analysis tersebut, BPJS dapat merumuskan perencanaan strategis terkait dengan program-program yang dapat dilaksanakan di masa depan beserta alokasi sumber daya untuk mendapatkan dukungan serta keterlibatan penuh dari semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini adalah pemerintah pusat dan daerah, berbagai fasilitas kesehatan, serta tentunya seluruh masyarakat Indonesia. Sebuah perencanaan yang strategis dapat menjadi dasar bagi BPJS Kesehatan dan pemerintah dalam menentukan kebijakan terkait implementasi dari jaminan kesehatan nasional yang seharusnya lebih memperhatikan kualitas dari fasilitas-fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS daripada memaksakan peningkatan jumlah peserta program tersebut.

Ini penting, lantaran berdirinya BPJS jelas merupakan sebuah langkah besar dalam sejarah bangsa Indonesia. Namun tanpa perencanaan strategis serta keterlibatan dan dukungan penuh dari para pemangku kepentingan yang ada, BPJS Kesehatan hanya akan menimbulkan permasalahan baru di dalam pelaksanaan jaminan kesehatan nasional itu sendiri. Untuk itu, BPJS Kesehatan perlu kembali melihat  tujuan utama organisasi. Apakah hanya sekedar memberikan akses pelayanan kesehatan, atau memberikan kepastian pelayanan kesehatan layak dan bermutu untuk seluruh masyarakat Indonesia.                                          

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×