| Editor: Tri Adi
Seperti para jagoan The Avengers yang akhirnya menyerah pada Thanos, bank sentral yang sejak September 2017 menahan suku bunga acuan di level 4,25% agaknya tak punya pilihan selain ikut menaikkan suku bunga acuan.
Tanda-tandanya sudah terlihat. Para pejabat yang tadinya yakin bunga bisa terus rendah, belakangan narasinya berubah. Akhir pekan lalu, Gubernur BI melempar sinyal kenaikan suku bunga untuk menstabilkan rupiah. Disusul, pada 2 Mei lalu, giliran Menko Perekonomian Darmin Nasution menyatakan suku bunga perlu disesuaikan untuk mengerem pelemahan rupiah.
Rupiah memang tengah dalam tekanan berat. Sejak menembus Rp 13.800-an per dollar AS pada 20 April lalu, harga rupiah terus turun mendekati Rp 14.000 per dollar AS.
Pelemahan rupiah utamanya dipicu tren kenaikan suku bunga AS. Dalam pertemuan FOMC 2 Mei lalu, meski tak ada kenaikan bunga, namun bank sentral AS memperkuat sinyal kenaikan suku bunga susulan. Setelah menaikkan bunga acuan Maret lalu, pasar yakin The Fed akan menaikkan suku bunganya 3 kali lagi tahun ini, yakni pada Juni, September dan Desember 2018.
Di tengah tren kenaikan suku bunga AS yang memberi energi sangat besar bagi penguatan dollar, sulit bagi BI terus menahan bunga acuan di 4,25%. Apa lagi, dengan inflasi April 3,4% (yoy) maka bunga riil hanya 0,85%. Dengan bunga riil setipis itu, kian minim insentif bagi investor memegang portofolio rupiah.
Ini bisa berbahaya. Jika orang ramai-ramai melepas rupiah lalu menyerbu dollar, rupiah bisa terkapar lebih dalam lagi. Maka, senjata jangka pendek BI untuk menopang rupiah adalah menaikkan suku bunga.
Masalahnya, menaikkan suku bunga juga bukan tanpa masalah. Gerak roda ekonomi yang seret masih membutuhkan pelumas berupa bunga rendah. Dengan bunga acuan 4,25% saja, penyaluran kredit per Februari lalu hanya tumbuh 8%, jauh lebih rendah dibanding target 12% tahun ini. Jika bunga naik, jangan-jangan dunia usaha terpukul dan pertumbuhan ekonomi menurun.
Ini dilema. Tapi bila gejolak rupiah diibaratkan kebakaran rumah, maka hal utama adalah memadamkan api. Sebab, jika rupiah terus bergejolak, dampaknya bisa lebih parah. Maka, pertama-tama, untuk jangka pendek, gejolak rupiah harus bisa dikendalikan dulu. Sementara itu, jangan melulu mengandalkan suku bunga rendah, pemerintah pun harus lebih kreatif dan cerdas menemukan cara lain merangsang dunia usaha agar bisa benar-benar berlari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News