Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Masyarakat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia dikejutkan dengan tertangkapnya Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II (AP II) (Persero) Andra Y Agussalam (AYA) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 1 Agustus 2019.
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) tersebut, KPK menyita uang tunai senilai Rp 1 miliar dalam pecahan dollar Singapura dari direksi AP II ini. Total ada lima orang ditangkap dalam OTT ini, antara lain AYA dan karyawan PT INTI (Persero) selaku pemberi uang untuk AYA.
Kisah tragis direksi BUMN di pusaran korupsi bukan hanya menimpa AYA. Sebelumnya, KPK pada 1 Juli 2019 juga sempat menetapkan Direktur Utama BUMN Perum Jasa Tirta II (PJT II) Djoko Saputro (DS) sebagai tersangka kasus korupsi.
Bila ditarik lebih jauh, penangkapan atas Bowo Sidik Pangarso (BSP) anggota DPR tersangka korupsi distribusi pupuk PT Inersia. Kasus BSP menyeret Dirut Pupuk Indonesia Logistik (Pilog) Achmadi Hassan (AH) dan menjadi tersangka pada akhir Maret 2019 lalu.
Sebelumnya juga pada 22 Maret 2019 Direktur Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) Wisnu Kuncoro (WK) juga terjerat OTT KPK beserta pegawainya dan empat orang swasta. WK sudah pasti menerima suap melalui perantara Alexander Muskitta (AM) atas pengadaan barang dengan nilai Rp 24 miliar dan Rp 2,4 miliar. Seperti praktik klasik dalam tubuh BUMN, AM menawarkan beberapa rekanan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut kepada WK dan disetujui. Sebagai gantinya AM menyepakati uang semir dengan rekanan yang disetujui PT Grand Kartech (PTGK) dan Group Tjokro (GT) senilai 10% dari nilai kontrak.
Sebagai penghubung, AM sudah menerima setoran awal Rp 50 juta dari PTGK melalui Kenneth Sutardja (KS) dan juga dari GT melalui Kurniawan Eddy Tjokro (KET) sebesar US$ 4.000 dan Rp 45 juta. Direktur WK sendiri baru menerima Rp 20 juta pada 22 Maret 2019 yang disetor AM dan kemudian dijaring OTT KPK.
Seperti inilah potret buram para pimpinan perusahaan BUMN kita. Sudah jelas bahwa insiden memalukan pada BUMN AP II, PJT II, Pilog, KRAS adalah kongkalikong masalah klasik, yakni pengadaan. Direktur sebagai pihak yang berkuasa dan beberapa pihak pemburu rente, hanya mencari remah-remah dari lemahnya sistem yang sudah akut dan sangat konvensional. Rekayasa para bos BUMN koruptor sebetulnya tidak sepadan dengan nilai uang haram yang diperolehnya.
Kepemimpinan lemah
Memang sudah ada hipotesis bahwa sudah terjadi politik transaksional dalam tubuh BUMN. Patron politik penguasa meminta mahar kepada direksi BUMN. Sementara direksi BUMN meminta mahar pula kepada pejabat eselon 1. Demikian berjenjang terus menerus dan akhirnya banyak sekali free rider yang mencari keuntungan. Sebetulnya tidak ada doktrin mahar, namun diada-adakan dengan mencatut nama-nama berpengaruh.
Penelitian Sergey (2017) di Rusia, masalah rendahnya governansi sektor industri bermula karena rendahnya visi kepemimpinan. Negara dengan governansi dan integritas rendah yang paling banyak melakukan malapraktik seperti kasus AP II, PJT II, KRAS terjadi di Nigeria (Abdullahi, 2018). Bahkan. yang mengejutkan China sebagai kekuatan ekonomi utama dunia pun melakukan hal yang sama (Wang & Liu, 2018).
Persoalannya tentu adalah kepentingan pribadi yang dicantolkan dalam strategi korporasi dan opsinya adalah memolitisasi korporasi atau BUMN.
Korporasi berpolitik sebetulnya bukan barang baru karena pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (2016) sejumlah korporasi memberikan donasi. Amazon, Uber, Yuengling Beer, MillerCoors, Hobby Lobby, Elder Beerman, Walmart, Sears, Zappos, Overstock.com, Hewlett-Packard, Pfizer, BAE Systems berada pada sisi Donald Trump (www.theguardian.com). Demikian pula Tyco International, ExxonMobil, Halliburton, CIGNA, Chevron, Ford, dan General Motors.
Sementara sisi Hillary Clinton pun menggandeng korporasi seperti Apple, The Gap, The Whole Food Market, Google, Starbucks, Nike.
Persoalan lainnya pada BUMN Indonesia, pasca-holdingisasi BUMN yang artinya penempatan direksi holding adalah kewenangan Kementerian BUMN, roadmap BUMN kian bercampur dan tak jelas. Ditambah komunikasi direksi ke karyawan yang semakin terbatas karena sentralisasi kantor di Ibukota Jakarta, maka informasi arah dan strategi BUMN menjadi sangat tidak pasti dan berubah setiap saat.
Sebagaimana teori prinsipal-agen (Gauld, 2016) maka direksi BUMN hanya berorientasi pada atasannya di Jakarta dan mengesampingkan pendapat para pemangku kepentingan lainnya seperti karyawan.
Aroma transaksional petinggi BUMN sebetulnya mudah diterka jika melihat mekanisme pemilihan direksi. Persoalannya tidak mudah untuk mengetahui tingkat kepakaran dari ratusan bank talent-pool Kementerian BUMN. Akhirnya berkembang sisi prakmatikal, yakni dengan metode asesmen dan fit and proper dan kemudian dibungkus dalam Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor PER-03/MBU/02/2015 tentang Persyaratan, Tata Cara Pengangkatan, dan Pemberhentian Anggota Direksi BUMN. Beleid ini diturunkan dalam Surat Edaran (SE) Nomor S-147/MBU/02/2016 tanggal 25 Februari 2016 tentang penunjukan enam lembaga profesional dalam Uji Kelayakan dan Kepatutan (UKK) untuk memilih bakal calon Direksi BUMN.
Metode ini memangkas jalur karyawan karier, sejarah, dan budaya BUMN dengan seketika. Pertimbangan keloyalan dan kesetiaan sama sekali tak dipertimbangkan karena berganti dengan standar matematika dan transaksional. Direktur AYA, DS, WK, dan direksi BUMN lainnya adalah produk mekanisme ini dan hasilnya tercantol KPK.
Pepatah mengatakan "Bagai guru kencing berdiri murid kencing berlari", fenomena yang terjadi pada tingkat direksi BUMN saat ini mulai menyebar ke pimpinan di bawahnya. Spirit lelang jabatan pun diimplementasikan pada BUMN dengan diksi rekrutmen profesional yang disebut dengan prohire. Cara ini sebetulnya mengakali Surat Edaran (SE) Menteri BUMN Nomor: SE-04/MBU/09/2017 tanggal 29 September 2017 tentang Larangan Mempekerjakan Staf Ahli, Staf Khusus, dan/atau Sejenisnya. Argumentasi yang dibangun bukan staf ahli namun karyawan organik dalam tubuh organisasi BUMN.
Fenomena rekrutmen prohire jabatan tinggi ini pun penuh dengan aroma Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang sangat transaksional. Karena secara teknis dan pengetahuan sebetulnya sangat jauh dari kriteria profesional. Faktanya masih saja ada BUMN yang merugi padahal sudah mempekerjakan puluhan prohire pada jabatan tinggi dan strategis. Tragisnya, kini para prohire ini menuntut menjadi karyawan tetap, padahal mekanisme rekrutmen awal berdasarkan sebuah diskresi.♦
Effnu Subiyanto
Direktur Eksekutif Koalisi Rakyat Indonesia Reformis (Koridor)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News