| Editor: Tri Adi
Bicara soal imbal hasil investasi, tahun ini tak ada instrumen yang pesonanya melebihi bitcoin. Bayangkan, pada 2 Januari 2017 lalu, setiap satuan bitcoin (BTC) masih bisa dibeli seharga Rp 12,35 juta. Namun, pada 28 Agustus 2017 lalu, harga BTC sudah meroket tinggi bak rudal antarbenua. Saat itu harga mata uang yang tergolong crypto currency ini sempat mencapai rekor harga tertinggi Rp 64,95 juta per BTC.
Artinya, hanya dalam kurun waktu sekitar delapan bulan kurs BTC terhadap rupiah sudah terbang hingga 425%! Jika Anda membeli bitcoin pada awal tahun, berarti Agustus lalu nilainya melonjak sampai lebih dari empat kali lipat. Nah, apa lagi, coba, instrumen investasi atau komoditi yang mengalami lonjakan harga setinggi itu?
Tapi, pesona itu mulai luntur. Beberapa hari terakhir harga bitcoin runtuh. Ketika tulisan ini diketik (Kamis, 14 September 2017) bitcoin sempat diperdagangkan pada harga Rp 44,1 juta. Lihat, ambrolnya harga tak kalah laju dari kenaikannya: 32% dalam tiga pekan!
Tentu saja para kolektor bitcoin mencoba menghibur diri dengan mengatakan bahwa penurunan harga kali ini semata-mata sekadar sentimen. Mereka berharap harga akan normal lagi. Bukan rahasia lagi, memang, harga bitcoin terhadap mata uang resmi beberapa negara-negara sangat fluktuatif. Namun, besar kemungkinan, harapan para kolektor bitcoin itu akan menemui pepesan kosong. Penurunan harga bitcoin kali ini bukan peristiwa biasa.
Sebuah perusahaan penyedia platform jual beli bitcoin terbesar di China, BTCC, telah mengumumkan diri bakal menutup semua transaksi bitcoin, mulai 30 September 2017 nanti. Kabar ini mengejutkan pasar bitcoin dunia, sekaligus memperparah nasib mata uang digital yang selama beberapa pekan terakhir sedang menghadapi tekanan berat Pemerintah China. Sejak beberapa hari lalu bank sentral China memang memerintahkan bursa-bursa jual beli bitcoin di China untuk tutup.
Bukan hanya itu, pekan lalu bank sentral China juga menganggap initial coin offering (ICO) di Negeri Panda adalah ilegal. Mirip dengan penjualan saham perdana di perusahaan publik, ICO merupakan mekanisme bagi startup di bidang mata uang digital untuk menghimpun modal, biasanya berupa bitcoin. Sebagai bukti andil memodali proyek tersebut, para investor akan mendapatkan token digital. Token ini diharapkan memiliki nilai di masa depan jika proyek yang dimodali tadi berhasil secara bisnis. Kelak, token bisa ditukar balik dengan bitcoin lagi, tentu dengan nilai lebih besar daripada bitcoin yang disetorkan sebagai partisipasi modal tadi.
Sementara Pemerintah Jepang sudah ikut menghimpun bitcoin dengan menerbitkan surat utang negara segala, regulator keuangan di Shanghai terus bersikap keras terhadapnya. Sejauh ini tidak ada keterangan detail tentang sikap itu, kecuali pemerintah lebih mementingkan aspek keamanan sistem keuangan.
Ketidakpastian akan masa depan bitcoin di China itulah yang membuat pasar terpuruk.Maklum, konon, 50% aktivitas penambangan bitcoin, istilah untuk menyebut mekanisme algoritma komputer yang memproduksi bitcoin, berlangsung di China.
Bagaimana dengan Indonesia? Meski ogah menganggap bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah, sejauh ini sikap Bank Indonesia masih sebatas pasang disclaimer: risiko ada pada para pengguna bitcoin sendiri. Mungkin itu sebabnya kian banyak orang Indonesia mengambil risiko “bermain-main” bitcoin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News