kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Double track


Jumat, 04 Januari 2019 / 14:25 WIB
Double track


Reporter: Hendrika Yunapritta | Editor: Tri Adi

Skema double track sudah marak di dunia pendidikan. Di dalam negeri, sistem double track diterapkan di SMA, dengan menambahkan praktik keterampilan layaknya ekstrakurikuler. Nah, yang ramai dibicarakan belakangan adalah program double track di Taiwan untuk tingkat universitas, yang disinyalir menjadi ajang kerja paksa.

Sorotan ini bermula dari lontaran anggota legislatif Kuomintang, Ko Chih-en pada akhir Desember lalu. Ko mengatakan bahwa enam universitas yang masuk dalam program New Southbound Policy, telah mengirim mahasiswa asing mereka untuk bekerja di pabrik. Seperti dikutip dari Taiwan News, Ko bilang, dari 300 mahasiswa Indonesia di Hsing Wu University, hanya belajar dua hari seminggu dan satu hari libur. Hari-hari sisanya harus mereka habiskan di pabrik dengan jam kerja 10 jam per shift. Belum lagi, Ko menemukan bahwa para pelajar yang mayoritas muslim itu, mendapat jatah makan yang diduga tidak halal.

Masih dari Taiwan News, Ko menyampaikan bahwa para mahasiswa itu sudah mengajukan protes ke kampus, namun pihak universitas meminta mereka untuk bersabar. Pasalnya, pabrik tempat mereka bekerja, banyak menyokong universitas itu. Kantor Dagang dan Ekonomi Taiwan, sudah menerima keluhan dan melakukan investigasi. Buntutnya, Rabu (2/1) kemarin, Pemerintah Indonesia menghentikan sementara pengiriman pelajar untuk program New Southbound Policy ini.

New Southbound Policy diluncurkan oleh Presiden Tsai Ing-wen pada tahun 2016. Lewat program ini, pemerintah Taiwan membuka peluang bagi warga 18 negara Asia dan Australia yang mau kuliah, sekaligus bekerja di negara tersebut.

Ini bukan program beasiswa, karena mahasiswa yang bersangkutan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Masalahnya, menurut temuan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan, pelaksanaan program ini punya celah untuk yang ingin mengeruk laba. Misalnya, calon mahasiswa berangkat melalui agen yang mematok harga tinggi. Harga mahal dinilai wajar, lantaran si calon kuliah di luar negeri dengan beasiswa. Padahal, mereka masuk program ini.

Di lain pihak, sayang jika tawaran dari Taiwan ini harus pupus. Toh, sejatinya banyak siswa Indonesia yang ingin belajar sambil bekerja di sana. Jadi, ketimbang menghentikan program, sebaiknya pemerintah membenahi sistem pemberangkatan serta membuka kantor di sana untuk pendampingan.•

Hendrika Yunapritta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×