kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.739   21,00   0,13%
  • IDX 7.480   0,54   0,01%
  • KOMPAS100 1.157   2,51   0,22%
  • LQ45 918   4,40   0,48%
  • ISSI 226   -0,78   -0,35%
  • IDX30 474   2,88   0,61%
  • IDXHIDIV20 571   3,56   0,63%
  • IDX80 132   0,52   0,39%
  • IDXV30 140   1,17   0,84%
  • IDXQ30 158   0,64   0,41%

DPR dalam genggaman korupsi


Jumat, 09 November 2018 / 15:30 WIB
DPR dalam genggaman korupsi


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Skandal korupsi kembali menusuk saraf parlemen. Setelah Setya Novanto menghuni jeruji, kini giliran Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Ia diduga menerima fulus "1 ton" (kode yang digunakan untuk jumlah uang senilai Rp 1 miliar) dari bupati non aktif Kebumen Yahya Fuad. Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Taufik menerima sekurang-kurangnya Rp 3,65 milyar. Taufik menjadi anggota DPR yang ke-75 yang dijerat sepanjang sejarah KPK berdiri, pada tahun 2002 lalu.

Data KPK menyebutkan pelaku korupsi dari parlemen mencapai 205 dari 856 koruptor, terhitung daritahun 2004 sampai 2018. Sebanyak 13 anggota dewan yang korup atau 60%-nya ditangkap dalam kurun waktu tahun 2014-2018. Sampai Oktober tahun ini, sudah empat anggota DPR yang menjadi pesakitan dalam kasus korupsi.

Pada 29 Agustus 2018 lalu DPR merayakan HUT-nya yang ke-73. Bersamaan dengan itu Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) meluncurkan aplikasi "DPR dalam Genggaman Rakyat". Aplikasi ini bagian dari komitmen Bamsoet untuk memudahkan masyarakat memperoleh informasi yang jelas tentang kegiatan dan hasil-hasil kegiatan DPR.

Sayang, alih-alih dalam genggaman rakyat, yang terjadi justru DPR kini semakin berada dalam genggaman korupsi. Ini tak berlebihan. Saat Taufik ditetapkan menjadi tersangka, yang terdengar oleh publik bukan desakan mundur terhadapnya, justru sebaliknya yang tercium kuat malah aroma pembelaan dari Ketua DPR yang tidak sama sekali mempermasalahkan Taufik dengan status hukumnya tersebut. Menurut Ketua DPR, selama belum ada keputusan yang mengikat, Taufik tetap berhak menduduki kursi Wakil Ketua DPR.

Bayangkan, statemen itu bisa keluar dari para punggawa DPR yang bertanggungjawab penuh menjaga kehormatan lembaga tersebut. Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) di parlemen pun cuma diam seribu bahasa.

Kita tidak mendengar sama sekali inisiatif dari mereka untuk meminta Taufik mundur agar beliau lebih berkonsentrasi pada persoalan hukum yang dihadapinya. Nampaknya kepentingan kelompok kekuasaan lebih penting dari sekadar wibawa dan kredibilitas DPR.

Masih belum serius

Meski sudah lama bersentuhan kotoran korupsi, nampaknya parlemen tak kunjung serius membersihkan tubuh dan mengganti jubah. Peringkat sebagai lembaga terkorup seakan menyatu dalam tubuh parlemen dan dinikmati. Performa legislasi juga tak kunjung berubah.

Tahun ini dari 50 RUU Prolegnas hanya empat yang diselesaikan. Di tahun 2017 sama saja, dari 52 RUU Prolegnas yang ditetapkan DPR pada akhir tahun, dalam waktu satu tahun hanya bisa menyelesaikan enam RUU.

Dalam pelaksanaan fungsi penganggaran, DPR masih tetap menjadi ruang transaksional yang diwarnai lobi-lobi gelap dengan berbagai modus. Lobi-lobi DAK menjadi simpul hitam bagaimana para anggota dewan leluasa memainkan kuasa informasi soal penganggaran untuk membajak elite-elite di daerah yang berusaha melobi anggaran pembangunan melalui praktik suap-menyuap. Ini diakui sendiri oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu saat membuka rapat terbatas DAK di Kantor Presiden.

DPR hanya bisa sedikit bernafas lega dalam performa fungsi pengawasan. Berdasarkan hasil survei Charta Politika (23–26 Agustus 2018) sebanyak 44,8% responden di delapan kota besar (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Makasar) menyatakan fungsi pengawasan telah dilakukan dengan baik. Fungsi legislasi menjadi fungsi yang paling diingat masyarakat (52,5%).

Meskipun di sisi lain harus diakui aroma oposisi di parlemen masih terkunci oleh mayoritas fraksi yang mendukung pemerintah. Untuk mempertahankan politik perimbangan, mestinya pihak oposisi terpacu untuk lebih vokal dan berani menyuarakan kritiknya terhadap pelbagai program dan kebijakan kekuasaan.

Namun yang terlihat, kelompok oposan malah lebih sibuk dan asyik dengan agenda dan kepentingannya sendiri. Termasuk aksi heroik membela para eks napi koruptor yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2019.

Menggelar karpet merah terhadap caleg-caleg yang pernah tersandung kasus termasuk mereka yang terjerat kasus korupsi semakin menunjukkan rapuhnya pagar Senayan terhadap praktik amoral (korupsi). Ini memperlihatkan ambiguitas akut DPR.

Di satu sisi, di depan forum 18TH Inernational Anti-Corruption Conference di Kopenhagen Denmark (24/10/2018), pimpinan DPR (Fadli Zon) bersuara lantang soal perlunya kerjasama untuk melawan praktik korupsi sebagai ancaman terhadap demokrasi dan kehidupan sosial-ekonomi bangsa. Namun di sini yang terjadi, parlemen justru membiarkan dirinya dijamah oleh benih-benih kekuatan korupsi dengan alasan sumir demi hak asasi manusia (HAM) dan kesetaraan politik.

Sebuah adegan politik badut yang tak layak dipertontonkan oleh lembaga sesakral DPR. Disebut sakral karena lembaga ini sejatinya organ politik yang menyandang fungsi memperjuangkan kepentingan pemenuhan nilai-nilai politik bermartabat yang berbasis pada esensi demokrasi yaitu rakyat itu sendiri.

Mereka mestinya menjadi elite prominen yang merawat kepercayaan publik terhadap fungsi perwakilan dan demokrasi. Tidak heran jika Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya: Bukan Pasar Malam (1951) mengatakan, ...perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan aku tidak suka menjadi badut, sekalipun badut besar.

Sinisme Pramoedya itu nyatanya tetap kontekstual hingga kini. DPR masih diisi oleh manusia-manusia pembesar, manusia setengah dewa yang imun terhadap kritik moral publik dan perkembangan zaman. Perkembangan zaman, bahwa citra positif lembaga tidak bisa lagi diandalkan pada kekuasaan dengan tangan besi, tapi dengan sikap dan perilaku yang sensitif terhadap moralitas publik.

DPR belum menjadi rumah berlabuhnya aspirasi dan harapan rakyat karena lebih kentalnya karakter ego dan narsistik dalam diri mereka ketimbang jiwa humanis-altruistik. Maka ketika ada nyawa rakyatnya yang dieksekusi mati di Arab Saudi misalnya, DPR cuma membisu. DPR cuma berbunyi keras dan bising kalau terkait dengan dirinya: ketika meminta renovasi gedung atau ketika gedungnya terkena peluru nyasar.

Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×