kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.909   21,00   0,13%
  • IDX 7.211   70,15   0,98%
  • KOMPAS100 1.108   13,11   1,20%
  • LQ45 880   13,40   1,55%
  • ISSI 221   1,38   0,63%
  • IDX30 450   7,23   1,63%
  • IDXHIDIV20 541   6,43   1,20%
  • IDX80 127   1,62   1,29%
  • IDXV30 135   0,66   0,50%
  • IDXQ30 149   1,87   1,27%

E-taxpayer account dan kepatuhan pajak


Rabu, 27 Februari 2019 / 14:54 WIB
E-taxpayer account dan kepatuhan pajak


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Bayangkan sebagai nasabah sebuah bank dan memiliki rekening bank yang bersangkutan, Anda pasti mendapat sejumlah kemudahan hidup. Zaman modern sekarang ini fungsi rekening bank tak hanya untuk menyimpan uang tapi juga menunjang dalam berbagai aktivitas.

Beberapa aktivitas bisa dilakukan tanpa banyak buang waktu dengan rekening bank di tangan seperti belanja lewat internet atau online, bayar tagihan listrik dan telepon, memesan tiket perjalanan dan hotel, serta aktivitas keseharian lainnya. Nah, bagaimana halnya dengan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) apakah berarti Anda memiliki sejumlah kemudahan dalam bidang perpajakan?

NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak, sebagai sarana administrasi perpajakan yang akan digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Dalam sistem self assesment yang diterapkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak saat ini telah memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung/memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sementara, Ditjen Pajak hanya mengawasi kepatuhan Wajib Pajak saja.

Namun, dengan keterbatasan Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) dan belum terintegrasinya data yang ada saat ini, membuat Wajib Pajak yang memiliki NPWP tak otomatis mendapat kemudahan yang seharusnya didapat seperti jika mempunyai rekening di bank. Sebagai gambaran sederhana adalah Wajib Pajak baru mengetahui bahwa dia mempunyai utang pajak yang harus ditunaikan, telah ia mendapatkan pemberitahuan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar. Karena telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Setelah mengetahui utang pajak itu, Wajib Pajak itu tetap harus melakukan pembayaran pajaknya di bank. Baru kemudian melakukan pelaporan secara daring melalui situs Ditjen pajak.

Di sisi lain, Ditjen Pajak akan mengetahui apakah Wajib Pajak tersebut telah melakukan pembayaran, jika telah ada rekonsiliasi dari bank yang bersangkutan tempat Wajib Pajak melakukan pembayaran. Itu hanya sejumlah kecil permasalahan yang dimiliki Ditjen Pajak akibat keterbatasan sistem informasi dan belum terintegrasinya data yang ada saat ini.

Alhasil, dalam mengawasi kepatuhan perpajakan, terutama untuk mengetahui proses bisnis utama dari Wajib Pajak, seorang Account Representative di KPP yang mendapat tugas untuk membimbing Wajib Pajak yang menjadi kewenangannya, selama ini lebih banyak melakukan pekerjaannya secara manual. Hal ini mengurangi efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan tugas.

Masih rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama, dari 17,6 juta Wajib Pajak yang wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, hanya sekitar 10,5 juta Wajib Pajak yang baru melaporkan SPT Tahunan Tahun Pajak 2017.

Meskipun telah terjadi peningkatan pertumbuhan penyampaian SPT Tahunan secara elektronik sebesar 14% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut karena adanya kemudahan dalam penyampaian SPT Tahunan melalui e-filling.

Kedua, rasio pajak Indonesia masih rendah, berkisar di angka 11%-12% dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau hanya naik 0,1% saja dalam 2004-2014. Rasio pajak merupakan persentase penerimaan pajak terhadap PDB.

Untuk itu, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2018 tentang Pembauran Sistem Administrasi Perpajakan, Ditjen Pajak telah diberi legitimasi untuk melakukan pembaharuan sistem inti administrasi perpajakan (core tax administration system) yang ada saat ini. Sehingga seluruh data Wajib Pajak akan terintegrasi secara akurat.

Pembenahan sistem ini juga dilakukan dalam rangka mengimplementasikan pertukaran data keuangan otomatis antarnegara untuk keperluan perpajakan yang dikenal sebagai Automatic Exchange of Information (AEoI) yang telah disepakati pada 2018 lalu. AEoI ini merupakan komitmen dari negara-negara yang tergabung dalam The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), termasuk di dalamnya Indonesia.

Pembaharuan sistem inti administrasi perpajakan yang memungkinkan terintegrasinya basis data perpajakan tak hanya akan memberi kemudahan kepada Wajib Pajak dalam melakukan kewajibannya, juga memberi kemudahan kepada Ditjen Pajak dalam mempelajari proses bisnis utama yang dilakukan Wajib Pajak. Bahkan, pembaruan NPWP menggunakan e-taxpayer account dilakukan agar Wajib Pajak yang memiliki NPWP mendapat kemudahan seperti jika memiliki rekening di bank.

Namun, pembaruan sistem informasi di Ditjen Pajak juga harus didukung instansi dalam negeri lainnya agar tak sekedar menjadi pepesan kosong. Jika pertukaran informasi keuangan secara otomatis antarnegara memungkinkan Ditjen Pajak mengetahui data Wajib Pajak di negara lain, maka untuk memudahkan Ditjen Pajak mengakses data dalam negeri dukungan dari instansi lain mutlak diperlukan.

Tanpa dukungan data dari instansi lain, pembaharuan sistem informasi dan penggunaan e-taxpayer account menjadi tak bergigi. Untuk itu, pihak perbankan dan lembaga keuangan lainnya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Ditjen Perdagangan, Ditjen Imigrasi, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan instansi terkait lainnya harus ikut berkomitmen.

Dengan sistem informasi yang terintegrasi dan pembaharuan NPWP menggunakan e-taxpayer account Wajib Pajak nantinya akan mengetahui kewajiban perpajakan mereka secara langsung, lalu melakukan pembayaran pajak, dan melakukan kewajiban perpajakan lainnya secara daring.

Sementara Ditjen Pajak dapat mempelajari proses bisnis utama yang dilakukan Wajib Pajak dan menilai apakah Wajib Pajak telah melakukan kewajiban perpajakannya dengan benar. Integrasi data memungkin ketika Wajib Pajak melakukan transaksi melalui perbankan atau melakukan pembelian secara daring menggunakan kartu kredit misalnya, maka transaksinya akan langsung terpampang di sistem informasi Ditjen Pajak.

Sehingga ketika Wajib Pajak belum melakukan kewajibannya secara benar, maka Ditjen Pajak akan menerbitkan SKP secara langsung. Begitu SKP diterbitkan, Wajib Pajak juga bisa secara langsung mengetahui bahwa Wajib Pajak tersebut mempunyai utang pajak yang harus segera dia bayar.

Dewi Damayanti
Pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×