kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Efek krisis tanker dunia


Kamis, 19 September 2019 / 10:35 WIB
Efek krisis tanker dunia


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Bisnis tanker dunia masih berpusar di seputar dua kapal tanker, Stena Impero dan Adrian Darya 1. Keduanya menjadi dua kapal yang paling terkenal di dunia saat ini. Kalangan pelaku usaha dan pengamat sektor maritim membicarakan dua kapal ini terkait bagaimana minyak mentah sebanyak lebih dari 2,1 juta barel yang ada dalam perut Adrian Darya 1 bisa sampai ke tujuan akhirnya, yaitu Suriah.

Masalah yang membelit Stena Impero, kapal berbendera Inggris, dan Adrian Darya 1, berkebangsaan Iran, merupakan kelanjutan dari serentetan serangan sabotase yang ditujukan terhadap kapal pengangkut minyak di Timur Tengah mulai Juni tahun ini. Sampai saat ini tidak jelas siapa yang menyabot tanker Amjad, Al Marzoqah dan Kokuka Courageous di sekitar perairan pelabuhan Fujairah, Uni Emirat Arab, dan pada gilirannya membawa bisnis tanker masuk ke dalam krisis.

Krisis tanker "jilid II", yang melibatkan Stena Impero dan Adrian Darya 1, dipicu oleh penahanan Grace 1. Kapal berbendera Panama ini ditahan oleh pasukan marinir Kerajaan Inggris di wilayah yurisdiksi mereka di Selat Gibraltar. Pasukan komando negeri Shakespeare tersebut menahan kapal itu pada 4 Juli karena dicurigai akan mengirimkan muatan yang diangkutnya 2,1 juta barel minyak mentah ke Suriah, negara yang kena sanksi Uni Eropa.

Adrian Darya 1 (dari bahasa Persia yang berarti Laut Adrian) memang sebelumnya bernama Grace 1 dan berbendera Panama. Namun, otoritas negeri ini kemudian mencoret Grace 1 dari ship registry mereka, karena dinilai dipergunakan untuk membiayai aksi terorisme. Selanjutnya Grace 1 mengubah kebangsaannya menjadi bendera Iran dan mengganti nama menjadi Adrian Darya 1.

Adrian, sering juga dilafal Hadrian, adalah nama salah seorang kaisar Romawi yang dikenal karena membangun benteng pertahanan yang membentang dari Sungai Tyne hingga Solway Firth di selatan Inggris pada tahun 122 M.

Iran membalas tindakan Inggris dengan menahan tanker Stena Impero yang tengah berada di Selat Hormuz dan dikandangkan di kota pelabuhan bandar Abbas. Iran menahan kapal milik Stena Bulk, operator asal Swedia, itu dengan alasan pelanggaran aturan maritim internasional. Tidak seperti Adrian Darya 1, yang bermuatan 2 juta barel minyak, Stena Impero ditahan dalam keadaan kosong tanpa muatan.

Ketika tulisan ini diselesaikan, Adrian Darya 1 telah dilepas oleh otoritas Gibraltar dengan jaminan bahwa Iran tidak akan membongkar muatannya di Suriah. Sementara itu, Iran membebaskan 7 anak buah kapal (ABK) Stena Impero. Masih ada 16 pelaut lagi yang pembebasannya masih dirundingkan oleh manajemen Stena Bulk dengan otoritas Iran.

Unclos 1982

Lalu, masuklah Amerika Serikat dalam gesekan yang pada awalnya hanya antara Iran dan Barat (baca: Eropa) itu. Tetapi, perlu digarisbawahi, Negeri Paman Sam tidak sepenuhnya berada di luar krisis ini. Bahkan, polisi dunia tersebut boleh dibilang menjadi pemicu menyusul keluarnya negara itu dari kesepakatan perundingan nuklir Iran yang sudah dituntaskan pada 2015 dan kembali menjatuhkan sanksi atau boikot terhadap ekonomi Negeri Mullah.

Ketika Adrian Darya 1 dilepas oleh Gibraltar dan kapal dikabarkan akan berlayar menuju Yunani, AS memberikan peringatan Negeri Titan agar tidak mengizinkan kapal itu sandar di pelabuhan mereka. Tidak hanya Yunani, AS juga mewanti-wanti negara-negara di sekitar Laut Mediterania melakukan hal yang sama.

Keterlibatan AS dalam krisis tanker lebih dalam diwujudkan dengan membentuk koalisi yang diberi nama International Maritime Security Construct (IMSC) yang sebelumnya diusulkan bertajuk Operation Sentinel. Korea Selatan, Australia, Inggris dan Bahrain bergabung ke dalam koalisi sementara Jerman dan sekutu AS di Eropa lainnya dipastikan tidak akan terlibat. Mereka khawatir IMSC menjadi pintu masuk AS untuk menggulingkan pemerintah Iran, bukan sekadar untuk mengamankan jalur pelayaran internasional dan menegakkan prinsip freedom of navigation (FoN).

FoN adalah sebuah konsepsi yang diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (Unclos) 1982, Artikel 87, Poin 1. Secara umum, kebebasan navigasi adalah keleluasaan yang diberikan kepada kapal berbendera negara mana pun untuk berlayar, memasuki pelabuhan, bersandar dan membongkar barang atau penumpang serta aktivitas terkait lainnya tanpa diganggu negara mana pun kecuali ditentukan lain oleh aturan/hukum internasional.

Menariknya, AS merupakan salah satu negara yang tidak meratifikasi hukum laut internasional tersebut. Iran juga. Ada banyak negara lain yang belum meratifikasi Unclos yang dibahas mulai dari 1973 hingga diberlakukan pada 1982. Aturan ini versi ketiga. Ketika ditulis Unclos, seringkali diikuti dengan tahun 1982 sebagai pembeda dengan yang lainnya.

Versi pertama Unclos berlaku pada 1958 sementara yang kedua pada 1960. Dalam kedua Unclos sebelumnya luas laut teritorial sebuah negara bervariasi mulai dari 3 mil laut, 6 mil laut, hingga ada yang mengklaim 200 mil laut.

Unclos ketiga (1982) akhirnya menetapkan luas laut teritorial disepakati sepanjang 12 mil laut. Laut teritorial merupakan isu yang sudah diperdebatkan sejak lama oleh dua mazhab pemikiran, yaitu mare liberum dan mare closum, dan freedom of navigation adalah konsep kuncinya.

Kendati AS tidak meratifikasi Unclos 1982 bukan berarti Negeri Paman Sam tidak menerapkan kaidah yang ada di dalamnya. Dengan kebebasan navigasi yang dijamin oleh aturan internasional, negara adidaya ini justru paling aktif melakukan misi pengumpulan data intelijen (intelligence gathering) di perairan teritorial negara-negara pantai atau coastal state berkedok freedom of navigation dengan semua aset maritim yang dimilikinya. Hal ini tentu saja dikeluhkan oleh negara-negara yang dimata-matainya.

Iran, juga China, adalah beberapa negara yang sering mengkritik kelakuan AS di lautan. Bila Iran tidak meratifikasi Unclos 1982, maka China adalah satu dari ratusan negara yang meratifikasi hukum laut internasional. Kembali ke topik tulisan. Jika AS menyitir FoN dalam krisis tanker dunia, maka Iran menjalankan kaidah innocent passage yang juga termaktub dalam hukum laut internasional.

Stena Impero, kata Iran, tidak mempraktikkan innocent passage ketika mematikan AIS-nya dan mengambil arah yang salah/berlawanan dari skema TSS yang berlaku di Selat Hormuz. Stena Impero memasuki selat penting ini melalui pintu keluar yang berada di selatan. Padahal semua kapal yang melintas harus bergerak dari arah utara yang merupakan pintu masuknya.

Bagi Indonesia krisis tanker dunia jelas berdampak luas. Sebagai net oil importer yang membeli BBM dari Timur Tengah, gejolak yang ada berarti kita harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk penjualan dan pembelian BBM. Pasalnya, biaya charter tanker menjadi mahal, belum lagi biaya asuransi yang naik berlipat ganda karena owner khawatir kapalnya bisa jadi sasaran sabotase.♦

Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×