kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Efek perang dagang ke industri pelayaran


Sabtu, 13 Juli 2019 / 09:00 WIB
Efek perang dagang ke industri pelayaran


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Tensi perdagangan antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia, Amerika Serikat (AS) dan China belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda dalam waktu dekat. Hubungan yang kurang harmonis ini telah berjalan lebih dari setahun.

Pada bulan Februari 2018 lalu bisa disebut sebagai pelecut ketegangan antara kedua negara ketika AS secara sepihak memberlakukan 30% tarif pada impor panel surya dan peralatan elektronika dari China. Pada bulan Juli 2018, ketegangan ini semakin memuncak ketika AS menerapkan tarif sebesar 25% terhadap sejumlah 818 jenis komoditas impor dari negara Tirai Bambu tersebut.

Tensi ini sempat mereda selama perundingan KTT G20 di Buenos Aires, Argentina pada kuartal terakhir 2018. Namun demikian, kebijakan politik dan perdagangan AS yang kadang menyeruak lewat letupan pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di media sosial kembali memanas pada Mei 2019. Lewat akun Twitternya, Presiden Trump berencana akan menaikkan pungutan impor dari 10% menjadi 25% dari nilai impor China ke AS sebesar US$ 200 miliar. Alih-alih mereda, China justru memukul balik dengan menaikkan tarif hingga 25% terhadap barang-barang impor dari AS senilai US$ 60 miliar per Juni 2019.

Menarik untuk dicermati adalah bagaimana efek ketegangan perdagangan antar dua negara besar ini terhadap industri transportasi khususnya pelayaran dunia? Dalam industri transportasi dikenal istilah "ships follow the trade". Dengan demikian, sebagai industri yang menggerakkan barang dari satu tempat ke tempat yang lain, tensi perdagangan tentu berdampak langsung baik jangka pendek dan jangka panjang.

Secara fundamental, tensi perdagangan ini telah melemahkan kinerja perekonomian dunia, misalnya terlihat dari pergerakan Purchasing Manager Index (PMI). PMI adalah indeks yang menggambarkan prediksi ke depan dan tren yang akan terjadi di sektor manufaktur dan jasa.

Indeks ini dihitung menggunakan survei bulanan yang melibatkan 400 perusahaan dalam 19 industri di dunia, baik yang beroperasi dalam aktivitas hulu maupun hilir. Indeks ini ternormalisasi pada angka 50. Angka di atas 50 menunjukkan prediksi peningkatan kinerja perekonomian ke depan, sedangkan angka di bawah 50 menunjukkan prediksi penurunan kinerja perekonomian di masa mendatang.

Sejak awal 2018 ketika perang dagang antara AS dan China meletus, PMI sektor manufaktur dunia terus mengalami penurunan dari 53,3 di awal kuartal pertama tahun 2018 menjadi hanya 51,2 di kuartal kedua tahun 2019. Hal ini mengindikasikan keragu-raguan dari sektor manufaktur global terhadap tren ekonomi ke depan.

Fenomena ini juga muncul berbarengan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi global, khususnya di negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi di Asia menurun dari 6,3% di awal 2018 menjadi hanya 5,4% di kuartal pertama tahun 2019. Kontraksi perekonomian juga terjadi di negara yang tergabung dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Pertumbuhan ekonomi di negara-negara ini menurun dari 5,9% kuartal pertama tahun 2018 menjadi hanya 5,2% di kuartal pertama tahun 2019.

Salah satu efek langsung dari kecenderungan terjadinya kelesuan ekonomi global adalah perlambatan pertumbuhan volume perdagangan dunia. Volume perdagangan dunia hanya tumbuh sebesar 3,8% di tahun 2018 atau menurun 1,6% dari tahun 2017.

Bagaikan perang antara dua gajah, tensi ini juga tidak menghasilkan pemenang. Pertumbuhan nilai (value) perdagangan dunia (penjumlahan dari nilai ekspor dan impor) hanya sekitar 5% pada kuartal keempat tahun 2018 dibandingkan dengan 13% pada periode yang sama di tahun 2017. Pertumbuhan nilai perdagangan China dan AS juga menurun.

Masing-masing negara ini mencatat pertumbuhan sebesar 5% dan 7% pada kuartal keempat tahun 2018. Padahal pada periode yang sama di tahun 2017, keduanya mencatat pertumbuhan nilai perdagangan sebesar 13% dan 9%. Dari sini terlihat bahwa tensi perdagangan ini berdampak lebih besar di China daripada di AS.

Kelesuan industri pelayaran

Dari sisi industri, kelesuan ini juga mulai terasa dari operasi di beberapa pelabuhan utama di Asia, yaitu Singapura dan Hong Kong. Jumlah muatan kontainer di Hong Kong menurun dari 8,2 juta TEUs sepanjang Januari-Mei 2018 menjadi hanya 7,5 juta TEUs sepanjang Januari- Mei 2019. Penurunan ini setara dengan 9,3%. Di Singapura, jumlah kedatangan kapal di bulan Mei 2019 adalah sebesar 11.697 kedatangan dibandingkan dengan Mei 2018 sejumlah 12.225 kedatangan.

Meskipun demikian, dari sisi muatan, volume perdagangan masih terlihat stabil dengan jumlah muatan kontainer sampai dengan Mei 2019 berjumlah 15 juta TEUs, dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2018 sejumlah 14,9 juta TEUs.

Industri pelayaran global yang cenderung mengalami kelesuan dalam beberapa waktu terakhir mendapatkan imbas yang cukup besar. Dari tiga segmen utama industri pelayaran global: kontainer, curah kering (dry-bulk), dan tanker, segmen kontainer mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Total pendapatan segmen kontainer global menurun drastis dari US$ 79,5 miliar di tahun 2017 menjadi hanya US$ 56,6 miliar atau mengalami penurunan sebesar 29%. Segmen curah kering juga menurun dari US$ 12,8 miliar menjadi hanya US$ 9,4 miliar atau mengalami penurunan sebesar 26%. Hanya segmen tanker yang relatif berhasil menjaga pertumbuhan operasionalnya. Segmen ini mencetak pendapatan sebesar US$ 11,1 miliar di tahun 2017 dan US$ 11,4 miliar di tahun 2018 atau meningkat sebesar 3%.

Meskipun tidak serta merta teratribusi dengan tensi perdagangan yang sedang terjadi, container price index menurun cukup tajam dari 80 di tahun 2014 menjadi hanya 70 di tahun 2018. Indeks ini menggambarkan container freight rate dari beberapa jalur perdagangan utama dunia.

Senada dengan segmen kontainer, segmen curah kering mengalami pukulan yang cukup besar dari kecenderungan penurunan The Baltic Dry Index. Index ini menurun tajam dari 1175 pada kuartal pertama tahun 2018 menjadi hanya 797 pada kuartal pertama tahun 2019. Indeks ini menggambarkan biaya transportasi untuk membawa komoditas -komoditas curah seperti bijih besi dan batu bara berdasarkan perhitungan di 20 rute utama perdagangan dunia.

Komoditas curah kering menggambarkan tren perekonomian karena umumnya komoditas-komoditas ini digunakan dalam sektor industri inti seperti pembuatan baja dan pembangkit listrik, sehingga kemerosotannya berhubungan dengan melemahnya aktivitas perekonomian, khususnya manufaktur dan pembangunan infrastruktur.

Sebagai penutup, industri pelayaran global masih akan banyak berhadapan dengan berbagai ketidakpastian bersumber dari faktor eksternal yang sifatnya tidak terkontrol. Hal ini akan menambah variabel lain yang secara tradisional menjadi tantangan, misalnya fluktuasi harga komoditas.♦

Ibrahim Kholilul Rohman
Kepala Samudera Indonesia Research Initiative

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×