Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Eiger membuat geger jagat media sosial dalam dua hari terakhir. Kehebohan itu bermula dari sepucuk surat keberatan yang dilayangkan oleh PT Eigerindo Multi Produk Industri, perusahaan lokal pengusung brand Eiger Adventure, kepada seorang youtuber yang mengulas produk mereka.
Eiger merasa keberatan dengan review produk kacamata Kerato dari sang youtuber dengan nama akun duniadian. Ada tiga poin keberatan Eiger, yakni terkait kualitas video yang kurang bagus, adanya suara di luar video utama yang dapat mengganggu, serta setting lokasi yang kurang populer.
Di bagian akhir surat keberatan bernomor 19/Legal-Eigerindo/I/2021 tertanggal 23 Desember 2020, Eiger meminta kepada youtuber tadi untuk menghapus video berdurasi 10 menit tersebut.
Dian Widiyanarko, sang youtuber yang memilikilebih dari 42.000 subscriber, bereaksi. Pada 28 Januari 2021, lewat akun twitter @duniadian, dia menyesalkan surat keberatan Eiger. Alasan Dian masuk akal. Selain tone video tersebut memang positif, Eiger pun tidak mengendorse dia. Apalagi, produk itu dibeli dengan uang pribadi.
Dian kapok dan berjanji tidak lagi membeli produk Eiger, meski sudah lama menggandrunginya.
Sontak cuitan @duniadian viral. Hingga kemarin (29/1) cuitan Dian sudah direspons lebih dari 30.000 retweet, 14.300 tweet kutipan dan lebih dari 84.000 like.
Efek viral media sosial memang cukup ampuh. Akhirnya manajemen Eiger mengaku salah telah melayangkan surat keberatan tersebut. Eiger secara resmi meminta maaf kepada Dian.
Ada sederet pelajaran dari kasus ini. Pertama, korporasi harus sadar bahwa mereka tidak hidup di ruang hampa. Kita sudah memasuki era digital, transparan, dunia semakin sempit, ruang dan waktu kian dekat dan tak berjarak. Setiap perusahaan mesti peka dan mengantisipasi perkembangan dan dinamika zaman.
Kedua, pendekatan Eiger sangat kaku dan ketinggalan zaman. Belum apa-apa, tim legal maju, seperti menggertak publik. Padahal, video review tersebut cukup positif. Seharusnya korporasi berlaku hangat dan terbuka terhadap respons publik dan pelanggan. Bukalah ruang komunikasi yang sejajar.
Ketiga, membangun brand bisa bertahun-tahun lamanya, namun untuk menghancurkannya cukup membalikkan telapak tangan, begitu singkat. Maka jadikan kritik sebagai jamu dan obat, memang pahit rasanya, tapi menyehatkan.
Penulis : Sandy Baskoro
Redaktur Pelaksana
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News