kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ekonomi bergantung pada nilai tukar


Senin, 08 Oktober 2018 / 14:02 WIB
Ekonomi bergantung pada nilai tukar


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Salah satu perbedaan antara perekonomian terbuka dan perekonomian tertutup terletak pada transaksi lintas negara. Kehadiran komponen ini dapat menjadi sumber pertumbuhan sekaligus sumber krisis. Lewat ekonomi terbuka, barang atau modal yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri terpenuhi. Saat yang sama, pangkal tekanan terhadap perekonomian domestik pun semakin terbuka lewat krisis yang bersumber dari faktor global.

Dalam dua dekade terakhir krisis menjadi sangat lumrah. Krisis tersebut memberikan tekanan bagi pertumbuhan ekonomi global maupun lalu lintas perdagangan. Jika diurai, ada tiga periode berat, yakni tahun 1998, 2008, dan 2018.

Tahun 1998, episentrum gejolak berada di Thailand dan menjalar ke negara lain di Asia termasuk ke Indonesia. Krisis moneter Asia saat itu membutuhkan biaya pemulihan yang sangat mahal. Thailand dan Indonesia menghabiskan lebih sepertiga dari produk domestik bruto (PDB). Meski demikian, krisis tersebut memberikan pijakan kokoh bagi Indonesia untuk merestrukturisasi sektor fiskal, moneter, dan perbankan.

Satu dekade sejak tahun 1998, Amerika Serikat (AS) yang menjadi sasaran amukan krisis. Persoalan bermula dari kegagalan pengelolaan kredit perumahan. Krisis kemudian merambat ke negara lain. Eropa mengalami krisis fiskal, karena lonjakan utang pemerintah akibat penurunan penerimaan negara. Hal itu tidak terlepas dari penurunan kinerja sektor pariwisata, sebagai salah satu industri utama di Eropa.

Indonesia turut tertekan di level minor. Pada tahun 2008, ekonomi nasional tumbuh 6% (yoy) dan 4,5% (yoy) pada 2009. Walaupun melambat, pertumbuhan ekonomi 2009 menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.

Tahun ini, sumbernya sangat kompleks, mulai lonjakan harga minyak, kebijakan moneter dan fiskal Amerika Serikat (AS). Krisis nilai tukar sudah menyeret Turki dan Argentina ke kubangan krisis. Tahun 2017, harga minyak dunia bergerak pada kisaran US$ 50 per barel, dan melonjak mendekati US$ 75 per barel pada 2018. Sementara, AS semakin agresif meninggalkan kebijakan suku bunga rendah, berkat dukungan makroekonomi yang membaik. Agar semakin baik, AS pun melancarkan perang dagang untuk memperbaiki neraca perdagangan.

Periode krisis tersebut menguji fundamental ekonomi Indonesia. Pertanyaannya, apakah fundamental ekonomi nasional betul-betul kokoh? Jika memang kokoh, kenapa Indonesia sempat dikategorikan sebagai salah satu perekonomian fragile di kelompok negara berkembang.

Rilis yang sudah banyak beredar menempatkan Turki, Argentina, Kolombia, Afrika Selatan, dan Meksiko sebagai lima besar negara emerging market paling rapuh. Celakanya, Turki dan Argentina sudah krisis.

Ada beberapa simpul yang dapat menggambarkan kondisi fundamental ekonomi kokoh saat kondisi nilai tukar tertekan. Pertama, struktur pertumbuhan ekonomi. Triwulan lalu, ekonomi tumbuh 5,27% (yoy). Konsumsi rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) cukup dominan. Hanya saja, konsumsi rumah tangga terutama di perkotaan semakin terkontaminasi oleh barang-barang impor. Lihat saja, dominasi produk asing yang dijual lewat e-commerce. Walaupun pembayaran bisa lewat rupiah, penyelesaian ke produsen menggunakan valas.

Ini membuat ketergantungan ekonomi nasional terhadap barang impor semakin tinggi, bukan hanya pada bahan baku/penolong, barang modal, melainkan juga pada barang konsumsi. Pada Januari-Agustus 2018 misalnya, impor barang konsumsi tumbuh hingga 27% (yoy); tertinggi kedua setelah pertumbuhan barang modal yang sebesar 29% (yoy).

Kedua, pengelolaan harga. Inflasi tahunan cukup rendah, di September sebesar 2,88%. Inflasi barang bergejolak bergerak 3,75%. Sayangnya, pengelolaan inflasi volatile food tidak menggunakan sumberdaya lokal. Misalnya impor beras bablas di tengah-tengah panen petani. Selain menyakitkan bagi petani, tentu impor ini membutuhkan valas. Impor yang tidak direncanakan sebelumnya tersebut akan diikuti dengan pemburuan dollar di pasar.

Ketiga, dari sektor perbankan, rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR) di atas 20% dari level minimal 8%; serta rasio kredit bermasalah atau non performing loans (NPL) yang hanya 2,76%; masih jauh dari alarm 5%. Akan tetapi, gejolak yang terjadi seperti sekarang akan mengekor ke bank-bank pemilik likuiditas cekak. Jika hipotesis tersebut terkonfirmasi, perlu mengawal dan memerhatikan likuiditas bank, terutama di kelompok Buku 1 dan 2. Saat nilai tukar tertekan kelompok Buku 3 dan 4 juga sensitif, karena sebagian besar merupakan bank devisa, yang memiliki keterkaitan langsung dengan nilai tukar.

Pertumbuhan kredit pun tidak menunjukkan lonjakan yang mengejutkan. Biasanya, krisis ditandai dengan pertumbuhan kredit tinggi. Sampai Juli 2018, kredit hanya tumbuh 11% (yoy), dimana kredit valas tumbuh di bawah 15% (yoy). Porsi penyaluran kredit valas masih cukup rendah, sekitar 17%. Catatannya, ada beberapa sektor yang sensitif terhadap nilai tukar, seperti sektor pertambangan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, NPL sektor pertambangan mencapai 4,34%.

Keempat, cadangan devisa mencapai US$ 117,9 miliar Agustus lalu yang setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor jika ditambah dengan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka tersebut masih jauh dari batas standar internasional sebesar 3 bulan impor. Masalahnya, porsi hot money di cadangan devisa cukup tinggi, yang berasal dari investasi portofolio. Mereka akan lari kalau ada shock.

Respons regulator

Satu kesamaan dari tiga periode yang disebutkan di atas adalah transmisinya lewat gejolak nilai tukar. Saat berbicara hal ini, maka porsi otoritas moneter dinilai lebih dominan dibandingkan pemerintah. Memang secara regulasi telah ditetapkan bahwa Bank Indonesia menjadi pemangku stabilitas rupiah. Akan tetapi, stabilitas nilai tukar juga bergantung dari aktivitas sektor riil, yang menjadi tanggungjawab pemerintah.

Bank Indonesia memiliki porsi pengelolaan nilai tukar lewat intervensi di pasar uang, maupun kenaikan suku bunga kebijakan. Namun demikian, langkah tersebut hanya dapat mengamankan kondisi jangka pendek, dan akan cenderung kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kenaikan suku bunga acuan akan bergerak ke suku bunga simpanan dan pinjaman. Saat permintaan kredit yang masih rendah dan kemudian dihadapkan pada kenaikan suku bunga, maka realisasi pembiayaan akan melambat.

Kinerja sektor industri pun diprediksi tertekan, menyusul langkah pemerintah mengenakan tarif pajak penghasilan (PPh) impor, untuk mengurangi tekanan terhadap defisit neraca transaksi berjalan. Tentu akan ada dampak pada penyerapan tenaga kerja di sektor industri serta pertumbuhan ekonomi lewat konsumsi rumah tangga. Pada bagian lain, timing dari serangkaian kebijakan ini kurang tepat, karena dilakukan saat ekonomi lagi tertekan.•

Abdul Manap Pulungan
Peneliti Indef

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×