Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Satu langkah lagi Indonesia terperosok ke jurang resesi. Jika kinerja ekonomi Triwulan III juga negatif. Rilis anyar Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Triwulan II 2020, ekonomi tumbuh -5,32%.
Yang menyedihkan, guncangan ekonomi ini terjadi ketika Indonesia baru saja meraih predikat sebagai negara berpendapatan menengah atas dari Bank Dunia. Gelar itu menandaskan bahwa Indonesia menjelma menjadi negara berbasis konsumsi yang diperhitungkan.
Hanya memang, predikat negara berpendapatan menengah atas tidak menjamin langkah pasti Indonesia meniti hari-hari ke depan. Terutama karena tiba-tiba diadang ujian realitas ekonomi tak bersahabat. Membeku akibat Covid-19.
Pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi dan dibayang-bayangi resesi, berpotensi menyeret Indonesia turun kasta lagi ke level negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income country). Lantaran predikat yang disematkan Bank Dunia tersebut, terpaut sangat tipis dengan ambang batas kelas di bawahnya.
Kini, pemerintah berjibaku memulihkan ekonomi. Bertumpu pada konsumsi, investasi, serta menggenjot belanja pemerintah yang serapannya baru berkisar 22%. Namun, agenda pemulihan itu semestinya juga simultan dengan upaya menyelesaikan tiga tantangan jangka panjang kita sebagai satu bangsa.
Pertama, kesenjangan. Bukan rahasia lagi, tingkat kesenjangan ekonomi dan sosial di Indonesia sangat curam. Indonesia bahkan menjadi negara dengan gap ekonomi tertinggi ketiga di dunia. Mengutip riset Credit Suisse tahun 2019, sebanyak 1% orang superkaya menguasai 45% kekayaan nasional di Indonesia. Konglomerasi dan oligarki ekonomi menguat, berpatron pada oligarki politik.
Kesenjangan merupakan potret kegagalan distribusi kesejahteraan dari hasil pembangunan. Di sisi yang lain, hal ini juga memperlihatkan kualitas kebijakan publik yang digelontorkan pemerintah untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas belum mumpuni.
Pandemi Covid-19 yang mengguncang sendi-sendi perekonomian berpotensi semakin memperlebar kesenjangan. Masyarakat bawah pekerja informasi yang tidak beraktivitas karena kebijakan pembatasan sosial kehilangan pendapatan.
Pemerintah memang sedang bekerja keras memastikan Anggaran Pemulihan Ekonomi menyentuh masyarakat bawah. Dana PEN dialokasikan sebesar Rp 123,4 triliun untuk sektor UMKM. Namun sejauh ini, penyerapan anggarannya baru 25,9%.
Kedua, kesenjangan spasial. Pembangunan terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Mengutip rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), 80,04% aktivitas ekonomi berada di wilayah ini. Sementara Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara dan Bali berbagi porsi mini 19,96%.
Kesenjangan antar wilayah tentu saja berakibat pada mobilitas sosial ekonomi masyarakat. Untungnya, enam tahun terakhir pemerintah menaruh perhatian besar pada sektor infrastruktur.
Salah satu yang termasuk digenjot adalah konektivitas. Pembangunan fasilitas-fasilitas vital urat nadi ekonomi berlangsung masif. Jalan, jembatan, pelabuhan dan bandara baru digenjot.
Ketiga, pembangunan sumber daya manusia. Terutama optimalisasi bonus demografi. Tahun 2030 adalah momentum puncak panen bonus demografi. Jumlah penduduk produktif di rentang usia 15 tahun - 64 tahun, lebih besar dibanding penduduk usia tidak produktif yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun.
Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64% dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. Penduduk produktif ini merupakan kekuatan dalam menghela ekonomi bangsa. Namun hal itu hanya dapat diwujudkan dengan kualitas SDM yang mumpuni SDM kompetitif.
Indonesia sebetulnya sudah berada di jalur yang tepat untuk pembangunan SDM. Kebijakan-kebijakan di sektor pendidikan dirancang menjawab tantangan zaman. Dengan sokongan kekuatan anggaran 20% dari APBN. Meski dalam praktiknya masih kerap kedodoran.
Misalnya, bongkar pasang kebijakan pendidikan. Akibatnya, sistem yang diterapkan tidak matang. SDM kita gagap ketika menghadapi realitas yang cepat berubah.
Transformasi digital
Di tengah keguncangan akibat pandemi Covid-19, ekonomi digital tampak berdiri kokoh. Tak beringsut menampakkan pesona. Laiknya gemuruh bertumbuh sebelum pandemi. Di sisi yang lain, Covid-19 mendorong laju ekonomi digital secara eksponensial.
Karenanya, tuntutan akselerasi transformasi digital tidak bisa dihindari untuk merespons pandemi. Pada rapat kabinet Senin (3/8), Presiden Joko Widodo bahkan mencanangkan lima langkah akselerasi digital.
Pertama, percepatan perluasan akses dan peningkatan infrastruktur digital. Kedua, menyiapkan road map transformasi digital di sektor-sektor strategis. Ketiga, percepatan integrasi pusat data nasional. Keempat, menyiapkan talenta digital (SDM). Kelima, menyiapkan perangkat regulasi ekonomi digital.
Di level global, World Economic Forum memprediksi akselerasi digital adalah satu mega tren yang dipicu Covid-19. Adopsi teknologi dan digitalisasi disinyalir bakal menciptakan dampak perubahan besar-besaran dalam tatanan kehidupan kita (great reset).
Di Indonesia, gejala itu juga amat terasa sejak lima bulan terakhir. Terjadi gerakan masif hijrah ke berbagai layanan digital. Seperti kebutuhan perbankan, belanja hingga telemedis, disokong oleh aplikasi. Termasuk yang dilakukan terpaksa karena tuntutan keadaan di tengah infrastruktur yang tidak siap. Pembelajaran daring misalnya.
Menurut Studi Boston Consulting Group bertajuk Internet Economy, adopsi digitalisasi UMKM mendorong kontribusi internet terhadap ekonomi nasional semakin solid. Saat ini, ekonomi digital berkontribusi 2,9% terhadap PDB. Angka itu bakal mencapai 16% pada tahun 2030. Menariknya, penetrasi internet di kancah ekonomi mampu menembus sekat-sekat spasial dan strata masyarakat.
Ekonomi digital menjadi harapan bagi pemerataan. Bahkan mulai dibuktikan dengan fenomena lahirnya miliarder-miliarder muda dari jalur startup. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, anak-anak muda berusia di bawah 20-30 tahun muncul sebagai orang terkaya dalam daftar Forbes. Mereka murni tumbuh dari ide, inovasi dan kemampuan mengoptimalkan ekonomi digital.
Apabila menengok ke 10 tahun-15 tahun yang lalu, miliarder dan triliuner di negeri ini umumnya lahir dari kalangan keluarga konglomerat. Kini, mulai muncul trend sebaliknya. Miliarder muda lahir dari masyarakat kebanyakan.
Ekonomi digital bahkan tampil sebagai penolong di tengah upaya menggenjot pemulihan ekonomi yang bertumpu pada sektor konsumsi. Kendati masyarakat masih membatasi diri beraktivitas di luar rumah, konsumsi tetap berpacu di platform-platform digital. Melampaui kontraksi, ekonomi digital membuktikan imunitas dan keampuhannya untuk menghela ekonomi bangsa.
Penulis : Jusman Dalle
Direktur Eksekutif Tali Foundation
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News