kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonomi hutan (hutannomic)


Jumat, 16 Agustus 2019 / 11:10 WIB
Ekonomi hutan (hutannomic)


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Banyak pihak yang beranggapan bahwa pembangunan tanpa deforestasi adalah hal yang mustahil. Keyakinan bahwa deforestasi adalah sebuah keniscayaan dalam pembangunan membuat pembangunan yang dilakukan kerap mengesampingkan kepentingan lingkungan, khususnya hutan itu sendiri. Padahal sejatinya, dengan minim atau bahkan tanpa deforestasi pembangunan tetap dapat berjalan dan kinerja ekonomi pun bisa tumbuh dengan penuh gairah.

Deforestasi itu sendiri adalah sebuah proses penghilangan hutan alam dengan cara penebangan untuk banyak kepentingan. Mulai dari kepentingan untuk mengambil hasil kayunya atau juga dengan mengalih fungsikan lahan hutan menjadi non-hutan.

Namun langkah untuk menuju nol deforestasi seperti yang didambakan masih harus menemui jalan terjal yang panjang. Benar bahwa dalam hal membangun infrastruktur, banyak yang beranggapan, bahkan membenarkan, pembabatan hutan untuk membangun konektivitas seperti jalan, jembatan, dan bangunan fisik lainnya adalah hal yang lumrah. Hal ini membuat banyak orang memakluminya, sehingga walau harus dengan mengorbankan hutan lindung sekalipun, pembangunan tetap diprioritaskan bahkan harus dikebut.

Dalam konteks ekonomi hijau, semakin kecil deforestasi maka semakin besar pula kualitas pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai. Pasalnya, pembangunan bersamaan dengan deforestasi memiliki efek jangka panjang yang tentu sangat mengkhawatirkan.

Menghilangkan hutan alam juga dapat diartikan bahwa kita sedang memiskinkan diri kita sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas juga mengartikan bahwa kekuatan ekonomi domestik akan lebih kuat, dan tentunya ini akan menjadi salah satu solusi atas rentannya pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan ancaman gejolak ekonomi global.

Banyaknya deforestasi tentu menjadi salah satu pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dalam kasus ini, tak sedikit masyarakat yang telah menjadi korban dan telah merasakan efek dari karhutla itu sendiri bersamaan dengan bencana kabut asap yang terus berlangsung hingga kini. Terparah, bencana kabut asap tersebut terjadi pada 2015 silam yang dampaknya begitu pahit bagi masyarakat sekitar.

Mendiang mantan Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho pernah mengungkap fakta bahwa luas area karhutla yang terjadi tahun 2015 sudah setara dengan 32 kali wilayah Provinsi DKI Jakarta atau empat kali Pulau Bali. Pernyataan tersebut berdasarkan pada data Terra Modis per 20 Oktober 2015 silam, dengan total hutan dan lahan yang terbakar yang mencapai 2.089.911 hektare.

Bukan hanya soal kabut asap, baru-baru ini ibukota juga dihebohkan dengan buruknya kualitas udara. Polusi udara yang begitu mengkhawatirkan, tentu salah satunya disebabkan oleh keberadaan lahan terbuka hijau yang berfungsi sebagai penetralisir emisi gas buang kendaraan, tak begitu diprioritaskan oleh pemerintah. Belum lagi persoalan satwa yang mulai terancam, kemudian ancaman terjadinya bencana alam, dan juga perubahan iklim yang cukup signifikan saat ini.

Hutan dan pembangunan

Ketua Himpunan Pemuda Maskona, Papua Barat, Piter Masakoda membagi pengalamannya bersama Madani Berkelanjutan dan juga menyatakan sikapnya melalui petisi di laman change.org. Dalam petisi tersebut, Piter mengungkapkan, salah satu agenda deforestasi berupa rencana ekspansi korporasi sawit di daerahnya sangat mengancam hutan maupun keberlangsungan hidup masyarakat yang semula ini bergantung pada hutan. Dengan petisi itu, Piter meminta kepada Presiden Jokowi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mempermanenkan perlindungan hutan alam Indonesia, agar hutan di tempatnya sekarang selamat dari deforestasi.

Hal ini tentu bukan hanya dialami Piter seorang diri, melainkan banyak orang yang bernasib sama yang sejak lahir, turun temurun, bergantung hidup pada hutan dan kekayaan di dalamnya di Indonesia.

Ekspansi bisnis maupun pembangunan konektivitas yang semakin masif saat ini, menurut hemat saya, sudah harus berbasis lingkungan. Oleh karena itu, gagasan dalam tulisan ini, saya sebut dengan hutannomic.

Hutannomic itu sendiri adalah sebuah pandangan, persepsi, dan juga cara kerja pembangunan menuju pertumbuhan ekonomi yang berlandaskan dengan kepentingan hutan dan alam. Berlandaskan konsep tersebut, saya yakin bahwa pembangunan di Indonesia akan lebih sehat dan juga lebih berkualitas.

Sederhananya saja, hutan-hutan lindung atau hutan primer adalah sebuah kekayaan alam yang tentunya memiliki nilai yang tinggi. Pasalnya, hutan beserta isinya yang sudah ada bertahun-tahun lamanya, bahkan telah melalui beberapa dekade, tidak tumbuh kembali dengan cepat ketika telah menjadi korban deforestasi. Dengan membabat hutan primer untuk melakukan pembangunan tanpa pertimbangan yang akurat tentu malah akan menjadi bom waktu di kemudian hari.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini, negara-negara yang masuk dalam kategori maju mulai memikirkan lingkungan, karena pada dasarnya, mereka mulai merasakan dampak dari perusakan lingkungan akibat pembangunan yang begitu masif tanpa analisis lingkungan yang mendalam. Oleh karena itu, cukup rasional jika mereka mendukung banyak negara berkembang untuk menjaga lingkungannya. Karena selain untuk mempertahankan bahkan memperbaiki kualitas iklim dunia, mereka juga memberikan sinyal dan pembelajaran bawah banyak negara maju mulai menyesal telah melakukan pembangunan tanpa analisis lingkungan yang mendalam.

Dalam kasus ini, banyak negara berkembang yang salah kaprah dan menganggap bahwa upaya dukungan dari banyak negara maju terkait pelestarian hutan dan alam tersebut adalah sikap egoistis. Dukungan untuk melarang deforestasi nyatanya malah diartikan sebagai salah satu upaya untuk menghambat pembangunan ekonomi negara berkembang yang katanya sudah tertinggal.

Sejatinya upaya nol deforestasi yang selama ini disuarakan bukan berarti tidak ada pembangunan di dalamnya. Melainkan, membangun dengan tetap memikirkan bahkan mempertimbangkan dampak yang akan terjadi nantinya. Oleh karena itu, analisis dampak lingkungan (amdal) dalam proyek pembangunan adalah bagian terpenting karena menyangkut kepentingan alam itu sendiri, yang artinya juga menyangkut hajat hidup orang banyak.♦

Delly Ferdian
Peneliti Madani Berkelanjutan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×