kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Eksplorasi potensi industri fesyen muslim


Senin, 13 November 2017 / 12:36 WIB
Eksplorasi potensi industri fesyen muslim


| Editor: Tri Adi

Di tengah polemik penutupan sejumlah gerai konvesional akibat pergeseran pola konsumsi masyarakat dari non-leisure economy ke leisure economy, industri kreatif hadir sebagai salah satu sektor industri yang dipercaya dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Hal ini terlihat dari mulai maraknya kegiatan ekonomi kreatif yang tengah berlangsung belakangan ini. Mulai dari industri fesyen, musik, film, kuliner, serta tak ketinggalan para usaha rintisan lokal yang terus bermunculan.

Survei Badan Ekonomi Kreatif  (Bekraf) dan BPS pada tahun 2016 kemarin menunjukkan industri kreatif mengalami rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 10,14% pada periode tahun 2010-2015. Pada tahun 2015 sektor ini berkontribusi sekitar 7,38% terhadap perekonomian nasional. Selain itu, nilai ekspor industri kreatif mencapai US$19,4 miliar, dengan tiga subsektor utama, yaitu fesyen (56%), kriya (37%) dan kuliner (6%).

Sebagai negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia, industri fesyen, utamanya busana muslim berpotensi menjadi branding utama industri kreatif Indonesia. Apalagi potensi pasarnya di tingkat global masih terbuka lebar.

Dalam laporan “The State of the Global Islamic Economy Report 2015/2016”, Thomson Reuters menyebutkan nilai penjualan busana muslim dunia tahun 2014 mencapai US$ 230 miliar. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga US$ 327 miliar atau tumbuh 42% pada tahun 2020. Thomson Reuters menempatkan Indonesia sebagai peringkat kelima negara dengan konsumsi busana muslim tertinggi tahun 2014 dengan pengeluaran sebesar US$ 12,69 miliar.

Pada tahun 2010 pemerintah telah mencanangkan Indonesia sebagai pusat busana muslim di tingkat Asia pada tahun 2018 dan tingkat dunia pada tahun 2020. Target tersebut tentu harus bisa terealisasi. Tujuh tahun telah berlalu, namun realisasi visi tersebut nampaknya masih jauh panggang dari api. Setidaknya terdapat tiga strategi yang harus dilakukan semua pihak, tidak cuma pemerintah tapi stakeholder  yang lain supaya bisa menggapai mimpi tersebut menjadi kenyataan.

Pertama, culture atau budaya. Potensi industri busana muslim dapat diwujudkan melalui perpaduan desain busana muslim dengan tenun khas daerah atau batik. Sebagai warisan budaya Indonesia, kombinasi keduanya akan melahirkan keunggulan mutlak yang hanya dimiliki Indonesia.

Busana muslim bermotif tenun/batik sebenarnya bukanlah hal yang baru. Beberapa ajang peragaan busana skala internasional dan nasional telah memamerkan koleksi busana tersebut. Panggung London Fashion Week, Jakarta Fashion Week dan Muslim Fashion Festival telah menjadi saksi bagaimana busana muslim bermotif tenun serta batik hasil kreasi anak bangsa mendapat apresiasi dari pecinta fesyen dunia.

Kawasan klaster busana muslim

Untuk memperkuat branding sebagai kearifan lokal milik Indonesia, budaya mengenakan busana muslim bermotif tenun dan batik dalam rutinitas sehari-hari harus mulai dibangun sejak dini. Misalnya, kebiasaan kaum hawa muslim mengenakan busana tersebut sebagai baju kerja atau seragam sekolah setiap hari tertentu.

Kedua, penerapan klaster. Istilah klaster dapat dimaknai sebagai kumpulan sejumlah industri sejenis dan saling terkait dalam satu wilayah yang sama. Alfred Marshall (1920) menyebutkan beberapa industri yang terpusat dalam satu area akan melahirkan limpahan pengetahuan di antara industri yang ada. Kumpulan industri ini dipercaya akan mempercepat terjadinya transfer informasi sehingga melahirkan pelaku industri baru di dalamnya.

Kawasan Silicon Valley merupakan contoh bagaimana sistem klaster industri berjalan. Di sinilah para raksasa teknologi, misal Google, Apple dan Facebook berkantor. Menariknya kesuksesan perusahaan piranti lunak di lokasi ini, telah mengundang minat banyak perusahaan piranti keras dan perusahaan rintisan untuk turut bergabung di dalamnya. Ibarat toko serba ada, Silicon Valley telah menjelma menjadi kawasan industri untuk hampir semua produk teknologi terbaik dunia.

Industri busana muslim tanah air juga memerlukan kawasan klaster serupa untuk berkembang lebih jauh. Saat ini belum ada daerah di Indonesia yang dinobatkan sebagai pusat busana muslim. Pelaku usaha pun nampak masih bergerak sporadis dan belum berpikir holistik untuk industrinya. Di sinilah peran pemerintah sebagai regulator untuk memetakan kawasan yang layak menyandang predikat tersebut.

Terkait strategi pertama, maka pemilihan kawasan klaster harus mempertimbangkan keterwakilan motif tenun dan batik yang ada di Indonesia. Bisa saja dibentuk dua kawasan klaster busana muslim yang mewakili corak Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Ketika kawasan sudah terbentuk, diharapkan desainer-desainer baru akan bermunculan, minat investor untuk mendirikan pabrik bahan baku tekstil makin bergeliat, serta terciptanya kemudahan akses pemasaran untuk pasar lokal dan global.

Ketiga, college atau perguruan tinggi. Mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert Blake pada suatu kesempatan menyatakan kesuksesan Silicon Valley tidak lepas dari dukungan sepuluh universitas terbaik di Amerika. Sebut saja Universitas Stanford yang berkontribusi atas berdirinya Silicon Valley pada tahun 1890. Universitas Stanford juga menjadi salah satu pemasok utama tenaga kerja terbaik di berbagai perusahaan di Silicon Valley.

Salah satu pekerjaan rumah yang harus dituntaskan ialah urgensi keberadaan perguruan tinggi atau sekolah kejuruan yang memiliki spesialisasi tata busana muslim. Saat ini Indonesia hanya memiliki beberapa lembaga kursus desain busana muslim yang tersebar di kota-kota besar saja. Rata-rata durasi pelatihan yang diberikan pun masih dalam hitungan bulan. Dengan jumlah yang terbatas, serta durasi yang singkat, tidak heran jika kuantitas dan kualitas calon desainer muda busana muslim yang dihasilkan masih belum optimal.

Ketiga strategi tersebut sejatinya merupakan perwujudan dari model Triple Helix, yaitu sinergi oleh pelaku usaha (culture), pemerintah (cluster) dan akademisi (college). Semua pihak memiliki peran masing-masing dan tidak saling berpangku tangan. Kolaborasi ketiganya niscaya akan mempercepat langkah Indonesia untuk mewujudkan asa menjadi pusat busana muslim terbesar, bahkan kiblat industri fesyen syariah di dunia.                                                

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×