kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Elite maling dan politik kapital


Kamis, 12 April 2018 / 11:42 WIB
Elite maling dan politik kapital


| Editor: Tri Adi

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menuding elite Ibukota sebagai maling. Ia mengatakan adanya ketimpangan ekonomi dan kepemilikan lahan di Indonesia saat ini. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh kalangan elite yang rakus. "Jangan - jangan karena elite kita yang goblok atau menurut saya campuran. Sudah serakah, mental maling, hatinya beku, tidak setia pada rakyat, mereka hanya ingin kaya," ujarnya saat berpidato di Gedung Serbaguna Istana Kana Cikampek, Sabtu (31/3/2018).

Kritik pedas Prabowo di atas menuai respons beragam terutama dari kalangan politisi. Ada yang bertanya, siapa elite Ibukota yang dimaksudkannya? Apakah itu elite yang berlokus di legislatif, eksekutif atau yudikatif?

Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Gerindra, Ahmad Riza Patria (1/4), sentilan keras itu jelas bukan untuk Presiden Joko Widodo, melainkan menyasar pada elite yang tengah terlibat kasus korupsi, yang mengesampingkan kesejahteraan rakyat. Di sini poinnya!

Sejatinya statemen Prabowo dari segi konten sah-sah saja, mengingat hari-hari ini sejujurnya konotasi elite kian dikentalkan dengan adab destruktif koruptif mengekspansi ke berbagai level kekuasaan. Harus diakui, episentrum perilaku korupsi saat ini banyak berasal dari gerombolan politisi parpol zaman now yang makin cuek terhadap nilai etika dan moralitas publik. Mereka asyik-masyuk mereproduksi kerakusan dengan merampok brankas rakyat di pelbagai level jabatan demi menimbun pundi-pundi haramnya sembari meletakkan urusan perut rakyat pada prioritas paling buncit.

Di kita elite tidak lagi identik dengan sesuatu yang mulia, simbol transformasi. Mereka kebanyakan sudah beralih ke dalam gerbong politik koersif yang mendakukan dirinya sebagai elite yang senang bermain-main dengan posisi kekuasaan. Jabatan bukan digunakan untuk mengabdi pada kepentingan rakyat, mengurus dan membahagiakan rakyat dengan sepenuh hati, namun sebaliknya dijadikan sarana monolitik untuk membangun distansi atau jarak politik dengan rakyat.

Sebenarnya kebengalan elite tersebut sudah lama disitir sosiolog Robert Putnam, dimana ia menggambarkan elite dalam tiga proposisi: 1) secara eksternal elite bersifat homogen (memiliki latar belakang dan kepentingan yang mirip), bersatu dan memiliki kesadaran berkelompok; 2) kaum elite mengatur sendiri kelangsungan hidupnya (self perpetuating) dan keanggotaannya berasal dari lapisan masyarakat yang terbatas; 3) kaum elite pada dasarnya bersifat otonom, kebal gugatan dari luar.

Tiga watak elite politik itulah yang menyatu dalam karakter kekuasaan mereka. Yang membuat mereka senantiasa mengekslusifkan dirinya dari nilai kebangsaan dan bonum commune (kesejahteraan umum). Nilai sakral politik untuk memakmurkan rakyat, dengan mudah dikudeta oleh insting eksploitasi masif kekuasaan yang secara hidup-mati memberhalakan politik kapital sebagai panglima baru-nya dengan mengatasnamakan demokrasi.

Pada tahun 1914, hanya beberapa saat sebelum perang besar meletus, HG Wels, membuat prediksi yang dipengaruhi oleh fisikawan Frederic Soddy. Buku Wells, The World Set Free, mengemukakan suatu kisah tentang perang yang muncul di Eropa pada tahun 1958 di mana dari sana menyebar ke seluruh dunia. Dalam perang itu, suatu senjata yang mengerikan digunakan. Terbuat dari zat radioaktif yang disebut dengan carolonium yang kemudian disebut sebagai bom atom. Lantas dijatuhkan di kota-kota dunia dan menyebabkan kehancuran total yang menyebabkan lahirnya zaman penderitaan massal dan kekacauan politik.

Saat ini, bom atom tersebut nampaknya sudah diganti hegemoni politik berbasis kapital yang menciptakan ruang-ruang di mana praktik manipulasi, transaktif dan korup tumbuh sebagai budaya baru yang potensial membinasakan pikiran idealis, roh kepublikan dan demokrasi.

George Simmel dalam bukunya The Philosphy of Money (1978) mengatakan, kekuasaan uang memungkinkan pemilik dan hartanya terpisah jauh sehingga masing-masing mengikuti logikanya sendiri. Para elite politik kemudian muncul sebagai penjaga logika ekonomi destruktif yang memasung hak-hak ekonomi rakyat untuk mendapatkan kebahagiaan dan keadilan seperti yang tergambar dari kelakuan konspiratif para elite di DPR. Yang merusak kebijakan publik dalam skandal proyek e-KTP yang merugikan keuangan negara 2,3 triliun.

Yang lebih urgen

Jadi tudingan terhadap elite versi Prabowo di atas dapat dimaknai sebagai ekspresi kepisuhan yang diarahkan ke publik tatkala menyaksikan preseden korupsi yang kian eskalatif dan masif. Sehingga kritik Prabowo tersebut tak perlu direspons secara tendensius dan berlebihan. Toh, kalaupun hal tersebut diinterprestasi secara politis khususnya untuk mengonstruksi suatu sikap rivalitas politik, bisa dimaklumi. Berhubung pernyataan Prabowo berlangsung persis di saat para elite sedang bergeliat mengonsolidasikan diri menyongsong agenda politik pilkada serentak maupun pemilu 2019.

Maka yang lebih urgen saat ini adalah bagaimana membangun kesadaran sekaligus kewarasan elite untuk membalikkan total arah perjuangan politiknya. Dari kultur pagmatisme akut ke zona politik berintegritas pro-rakyat. Yang menjadikan kepentingan rakyat sebagai orientasi berpolitik yang mulia dan sakral sebagaimana wejangan Plato.

Para elite harus bertobat dan meninggalkan kebiasaan buruk menciptakan perang kata-kata yang tidak berfaedah bagi stabilitas nasional dan penguatan keberpihakan terhadap kepentingan rakyat. Ia hanya menyumbang kegaduhan atau kebisingan sosial-politik dan membuat energi politik untuk mengurus rakyat menjadi terkuras.

Terciptanya kewarasan elite tersebut bisa dikonstruksi lewat, Pertama, kekritisan dan kedewasaan rakyat dalam merespons ucapan dan perilaku elite, Tidak mudah terprovokasi serta arif dalam mengambil kesimpulan.

Kedua, keaktifan rakyat melakukan kontrol sosial-politik terhadap elitenya. Seperti tidak lagi memilih pemimpin yang track-record nya buruk, yang pernah atau berstatus tersangka korupsi, dalam pilkada maupun pemilu. Tidak memilih pemimpin yang pandai pencitraan tapi minus prestasi serta terus menggonggong para elite atau wakil rakyatnya agar stop mempermainkan kekuasaan dan hak daulat rakyat.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×